CHAPTER SIXTEEN

25.4K 1.2K 134
                                    

Selama dua minggu liburan kami di Bali, kami bertiga bersenang-senang di sini. Tiada hari tanpa jalan-jalan, mengelilingi semua tempat wisata yang terkenal di Bali. Raffa terlihat begitu bahagia, tawa riangnya senantiasa meluncur mulus dari bibir mungilnya. Membuatku ikut bahagia menyaksikannya. Setelah ini aku berjanji pada diriku sendiri akan lebih sering mengajak Raffa liburan.

Aku dan Raefal pun ikut bersenang-senang seperti Raffa dengan cara kami sendiri. Tak jarang kami menyelinap diam-diam di saat Raffa tertidur karena kelelahan. Kami menghabiskan waktu berdua yang cukup romantis, serasa seperti kami kembali ke masa lalu. Ke masa-masa dimana kami masih berstatus sebagai sepasang kekasih.

Ku akui dua minggu ini merupakan saat-saat paling membahagiakan bagi keluarga kecil kami. Terkadang pikiran konyol dimana aku tak ingin kembali ke Bandung dan menjalani aktivitas sehari-hari, sempat terlintas di pikiranku. Rasanya aku ingin waktu kebersamaan kami ini, tak cepat berlalu.

Selain itu, tanpa sepengetahuan Raefal, aku melakukan penyelidikan diam-diam selama berada di Bali. Aku sempat menelepon pabrik milik perusahaan Raefal untuk membuktikan ucapannya tempo hari yang mengatakan dirinya setiap pagi pergi mengunjungi pabrik.

Aku menanyai dua orang pegawai pabrik melalui jaringan telepon, dan hasilnya ... ya, keduanya mengatakan hal yang sama. Raefal tak berbohong, setiap pagi dia memang pergi ke pabrik.

Kendati demikian, bukan berarti kepercayaanku padanya kembali sepenuhnya, karena fakta aku memergoki dirinya mendatangi rumah wanita sialan itu tak akan pernah mungkin bisa dipungkiri. Setidaknya aku lega karena alasan dirinya tak langsung berangkat ke kantornya, memang benar karena dia selalu mendatangi pabrik terlebih dahulu.

Sebuah kesimpulan pun aku tarik, sepertinya dia mendatangi rumah wanita itu hanya sesekali, tidak setiap hari seperti yang ku pikirkan sebelumnya.

Hal lain yang membuatku lega selama berada di Bali ini, Raefal sangat jarang memegang ponselnya. Dia lebih memilih menghabiskan waktunya untuk bermain bersama Raffa maupun menemaniku di saat aku merasa suntuk dan ingin berjalan-jalan keluar. Ketika ada telepon masuk pun, dia tak menerimanya secara sembunyi-sembunyi lagi. Dia berbicara dengan lawan bicaranya di telepon, tepat di sampingku.

Ketakutanku yang sempat berpikir mungkin Raefal dan wanita bernama Zanna akan mengobrol diam-diam melalui ponsel, sepertinya sia-sia. Raefal tak melakukan satu pun tindakan yang membuatku mencurigainya.

OK, sejauh ini dia tak membuatku kecewa sedikit pun. Sempat membuatku berpikir keputusanku memberinya kesempatan memang sebuah keputusan yang tepat.

Dua minggu yang penuh kebahagiaan ini berlalu dengan cepatnya tanpa terasa. Esok hari, hari senin pagi tepatnya, kami akan kembali ke Bandung. Tiket penerbangan sudah disiapkan Raefal. Kami akan berangkat tepat pukul 9 pagi.

Meski enggan, tapi aku harus menerima kenyataan ini. Sebuah kenyataan bahwa kami akan kembali ke Bandung dan meninggalkan kota yang indah ini.

Di sinilah aku berada sekarang, di dalam kamar tengah sibuk mengemas pakaian kami ke dalam koper. Raffa dan Raefal tengah nonton bersama di ruang tengah. Tak masalah karena aku lebih senang melakukan pekerjaan ini tanpa ada gangguan dari siapa pun. Pekerjaan ini akan lebih cepat selesai jika aku mengerjakannya sendiri tanpa bantuan dari Raefal yang akan berakhir membuatku semakin repot.

Di tengah-tengah fokusku mengemasi pakaian kami, aku dikejutkan oleh sosok Raefal yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar.

" Sayang." Katanya, memanggilku.

Aku mengangkat kepalaku, kini tatapanku tertuju sepenuhnya pada suamiku yang sedang berdiri di dekat pintu kamar.

" Aku keluar sebentar ya?"

GENIUS LIAR [SUDAH TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang