CHAPTER EIGHT

22.1K 1.1K 55
                                    

Raefal pulang ke rumah tepat pukul 6 sore. Dia bersikap seolah tak terjadi apa pun. Aku tak mengatakan apa pun selama ada Raffa di samping kami karena aku tidak ingin anak itu mendengar pertengkaran orang tuanya. Meski pikiranku sudah dipenuhi berbagai pertanyaan yang ingin aku utarakan padanya. Harus ku tahan keinginan ini mati-matian.

Hingga akhirnya setelah Raffa tertidur tepat pukul 9 malam, aku yang baru saja selesai membacakan buku dongeng untuk Raffa berniat untuk menghampiri Raefal yang sedang menonton televisi sendirian di ruang tengah.

Aku berdiri mematung di belakangnya yang tengah duduk di atas karpet. Sedikit berdeham agar dia menyadari kehadiranku.

Sesuai yang ku harapkan, dia menoleh padaku. Dia tersenyum sembari memberi isyarat dengan tangannya agar aku menghampirinya.

Jika biasanya aku menolak bergabung untuk menonton bersamanya, tidak demikian dengan kali ini. Aku menghampirinya tanpa protes sedikit pun. Inilah saat yang tepat untuk menanyakan semua kegundahan di dalam hatiku.

" Tunggu disini sebentar." Katanya tiba-tiba begitu aku mendudukan diriku di atas karpet.

Tatapanku tanpa sadar mengikuti pergerakan Raefal. Bagaimana dia bangun dari duduknya, lalu melangkah menaiki tangga. Sosoknya menghilang di balik pintu kamar kami, entah apa yang akan dia lakukan, di sini aku menunggu dengan penuh antisipasi.

Lima menit kemudian, dia kembali menuruni tangga dengan menenteng sebuah paperbag di tangannya. Aku mengernyitkan dahi saat melihat paperbag itu, sempat berpikir mungkinkah dia membelikanku sesuatu?

" Ini titipan dari Susi." Katanya seraya mengulurkan paperbag di tangannya padaku.

Aku menerima paperbag itu, mengintip ke dalam untuk melihat isinya. Rupanya Susi mengembalikan kotak makanan yang tadi ku berikan padanya, tentu saja dalam keadaan kosong dan sudah bersih.

Ku letakan paperbag itu di atas meja, sebelum melirik ke arah Raefal yang kini tengah menatapku datar.

" Tadi kamu ke kantor?" tanyanya, aku mengangguk.

" Niatnya sih pengen makan siang bareng kamu. Tapi kamunya udah makan siang duluan."

" Kenapa kamu gak bilang dulu kalau mau ke kantor?"

" Tadinya mau ngasih kejutan, udah lama juga kan aku gak bawain makanan buat kamu ke kantor." Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapanku. " Tapi ada untungnya juga aku datang tanpa ngasih tahu kamu dulu. Kebohongan kamu jadi terbongkar sekarang." tambahku.

Ku lihat dia mengernyitkan dahinya, tampak tak suka mendengar kata-kataku barusan. Aku tak peduli lagi meskipun ucapanku berpotensi membuatnya marah. Tak ada lagi yang akan aku pendam. Rasa sakit yang ku rasakan dalam hatiku ini harus ku ungkapkan sekarang juga.

" Aku nyusul kamu ke restoran tempat kamu makan siang tadi." ujarku.

" Oh ya? terus kenapa aku gak lihat kamu?" dia bertanya balik padaku. Aku cukup terkejut melihat ekspresi wajahnya yang tampak biasa-biasa saja. Tak ada raut terkejut atau panik yang menari-nari di wajahnya.

" Karena aku emang gak masuk ke dalam restoran."

" Kenapa? kenapa kamu gak masuk ke dalam? Katanya kamu mau nyusulin aku kan kesana, harusnya kamu masuk ke dalam restoran."

Aku kembali menghela napas panjang. Harusnya aku yang mengintimidasi dia dengan berbagai pertanyaan yang ku lontarkan padanya. Tak ku sangka keadaannya berbalik, sekarang justru dia yang mengintimidasiku dengan berbagai pertanyaannya.

Aku tak heran sama sekali, memang seperti inilah Raefal. Dia selalu mampu membuat lawan bicaranya tersudutkan, apalagi jika dia dalam posisi bersalah. Pasti dia akan mencari berbagai cara agar dirinya tetap dianggap benar.

GENIUS LIAR [SUDAH TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang