19. Bagai Anak Kecil

52.6K 5.2K 192
                                    

"Ujan, An!"

"Tapi cuma ail."

Anak perempuan berusia empat tahun itu menunjuk ke langit, membuat sang anak lelaki mendongak mengikuti arah yang  ditunjuk.

"Memang ujan itu air!" kata anak lelaki berusia sembilan tahun tersebut.

"Yaudah, ayo main ke lumah An!" ajaknya, bersemangat, karena An memang sengaja menyusul ke rumah Dan agar main di rumahnya.

"Ujan, An. Kalo keujanan, nanti sakit!" peringatnya, yang tidak diterima oleh An.

Anak perempuan itu pun mengulurkan tangannya, membiarkan hujan membasahi telapak mungil miliknya. Kemudian, ia berujar, "ujannya gak sakit, Dan. Cuma ail."

Saat itu lah Dan sadar kalau sakit yang ia maksud, dan sakit yang An maksud memilik makna yang berbeda.

Dan melangkah maju, meraih tangan An agar tak terkena hujan lagi. Ia bahkan mengeringkan tangan An dengan kaus yang dipakainya.

"Kalau kena air ujan, emang gak sakit. Tapi kalau An ujan-ujanan, nanti kedingan, karena itu An bisa sakit. An bisa kena flu, atau demam. Nanti gak bisa main sama Dan," jelasnya, yang sepertinya, kalimat terakhir lah yang paling membuat An menurut untuk tidak hujan-hujanan. Bahkan, kini An mundur, menjauhi teras sampai ke ambang pintu rumah Dan.

Dan pun bertanya tak mengerti, "kenapa?"

"Takut kena ujan. Nanti gak bisa main sama Dan."

Dan tersenyum, lalu berjalan mendekat saat An memintanya.

"Sini, Dan! Jangan kena ujan! Nanti An suluh abi buat belentiin ujan, bial kita bisa main kelual."

Saat itu, An berpikir kalau abinya bisa melakukan apapun. Termasuk, menghentikan hujan. Menggelikan sekali.

***

Siang ini, Hanum masih memikirkan jawaban yang Abi berikan saat sarapan tadi pagi. Jawabannya memang ambigu, namun berhasil membuat Hanum diam dan tidak bertanya-tanya lagi.

Siapapun pasti tidak akan ada yang bisa menebak jawabannya. Karena memang, tak ada suara yang keluar dari mulut Abidzar. Pria itu, hanya tersenyum.

Ya, dia hanya tersenyum. Benar-benar hanya sebuah senyuman yang menghipnotis Hanum hingga membuatnya tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanum merasa kalau senyuman itu sudah lebih dari satu jawaban. Senyuman itu menjawab semua pertanyaan yang bahkan tak ia lontarkan.

Karena sejak pertama kali bertemu dengannya di depan pagar rumah kakek Ridho, baru kali ini lah Hanum melihatnya tersenyum begitu tulus. Maka siapa yang tidak akan terhipnotis?! Bahkan sampai kini Hanum masih memikirkannya.

"Num."

"Hanum."

"Kenapa sih dia? Gak biasanya ngelamun terus."

Mira bertanya, yang tentu dijawab gedikan bahu tak tahu oleh Putri dan Melva.

"Hanuuummm."

Barulah kini Hanum tersadar dari lamunannya. Tatapannya langsung tertuju pada Melva yang tadi memekik cukup keras memanggil namanya.

"Kamu kenapa, sih? Kok ngelamun terus dari tadi?"

"Sebentar lagi Hanum menikah."

"HAH?"

Siapapun tolong ajari Hanum bagaimana caranya untuk berbasa-basi. Hanum selalu saja mengatakan sesuatu tanpa pendahuluan lebih dulu, membuat orang lain yang mendengarnya hampir-hampir terkena serangan jantung.

Cinta Untuk Hanum [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang