8. Yang Hanum Tahu

53.5K 4.8K 98
                                    

Ig: @adelia_nurrahma

Orang-orang yang menyayangi kita akan melindungi kita dengan cara-cara yang bahkan sulit kita bayangkan.

Bahkan, mereka bisa mengorbankan hidupnya sendiri demi kita.

Ya, memang se-tidak masuk akal itulah cinta.

🌿

"An, maaf."

"An, ini aku."

"Aaan."

Pria itu terduduk dengan peluh di wajahnya. Napasnya memburu dengan setitik air hampir terjatuh dari sudut mata. Hingga akhirnya, suara alarm ponsel menyadarkannya kalau yang tadi hanyalah mimpi. Mimpi yang terus membayanginya selama beberapa tahun ini. Mimpi buruk yang membuatnya terus menyalahkan diri sendiri.

"Abi, udah bangun? Siap-siap ke masjid sama Opa."

Abi turun dari atas ranjangnya, menghampiri pintu untuk bicara pada sang nenek yang ia panggil Oma. "Opa suruh duluan aja. Nanti aku nyusul."

"Baru bangun?"

Abi mengangguk.

"Yaudah, buruan siap-siap, udah mau adzan."

Kembali ia mengangguk, lalu menutup pintu dan bersiap-siap untuk ke masjid.

***

Pagi ini hujan, padahal yang Hanum tahu, semalam langit tak tertutup awan. Bulan dan bintang-bintang pun unjuk gigi memamerkan keindahan. Tapi ternyata benar katanya, cuaca sulit ditebak.

Hujan sudah turun sejak abi dan abangnya berangkat ke masjid untuk shalat subuh. Namun sampai pukul setengah enam, belum ada tanda-tanda kalau hujan akan reda. Mungkin karena itulah uminya menyuruh sopir untuk menjemput abinya ke masjid. Tentunya dengan mengendarai sebuah mobil.

Sekarang Hanum berdiri di teras rumahnya, dengan segelas teh hangat yang ia genggam dengan kedua tangan. Sudah lima menit ia berdiri di sana, hingga akhirnya ia melihat mobil yang dibawa sopirnya untuk menjemput abinya melewati pagar rumah.

Tautan alis Hanum menandakan kalau ia terheran-heran mengapa mobilnya malah bablas ke sana. Namun beberapa detik kemudian, salah satu mobil ayahnya itu terlihat kembali, berjalan mundur hingga akhirnya memasuki gerbang rumahnya yang terbuka.

Hanum berjalan mendekat, tak sabar ingin bertanya mengapa tadi mobilnya kebablasan.

Nampak Hafizh keluar dari dalam mobil lalu disusul oleh Alan yang menyampirkan sajadah di pundak kanannya. Lalu ia melepas pecinya dan menyurai rambutnya yang hitam legam. Nampak keren seperti biasanya.

"Sok keren deh, Abi."

"Siapa yang sok keren?" Alan bertanya tak mengerti pada putrinya yang kini menatapnya geli.

"Abi, tuh, sok-sokan nyurai rambut biar keren."

"Hm, kamu gak tau yah?! Abi gak nyurai rambut pun udah keren. Jadi ngapain sok-sok keren?"

Hanum hanya terkekeh menanggapinya, terlebih lagi ketika ia melihat raut songong abinya itu, menggelikan sekali rasanya.

"Sarapan udah siap?" Hafizh bertanya sambil mengambil teh milik Hanum dan meminumnya. Hanum yang diberi pertanyaan pun menjawab, "gak tau. Hanum belum lihat."

Setelahnya Hafizh berlalu lebih dulu dengan membawa gelas berisi teh milik Hanum. Mungkin ingin melihat sendiri apakah sarapan sudah siap atau belum.

Alan pun berjalan hendak memasuki rumah. Hanum ikut berjalan bersamanya dan membuka suara kembali untuk bertanya, "Abi, tadi kok mobilnya bablas ke sana?"

"Iyah. Nganterin Abi dulu."

Hanum mengerjap. Kali ini tentu ia tidak merasa bingung Abi mana yang abinya ini bahas. Itu artinya, sudah dua kali Abi tetangga sebelah naik mobil bersama abinya ini.

"Abi?"

"Hm?"

"Abi kok baik banget sama Abang Abi?"

Entah mengapa, mendengar pertanyaan itu Alan langsung berhenti melangkah dan menatap Hanum dengan tatapan tak percaya.

"Kenapa?" Hanum bertanya keheranan.

"Kamu panggil Abi apa tadi?"

"Abang!"

Dan sekali lagi Hanum keheranan karena kini melihat abinya tertawa. Memang apa yang lucu, sih?

"Sejak kapan kamu panggil dia abang?"

"Emang kenapa? Dia kan kayaknya seumuran sama Bang Hafizh."

Alan meredakan tawanya dengan akhiran napas panjang.

"Bener juga sih. Emang harusnya kamu panggil dia abang."

Hanum pun mengangguk. "Terus?"

"Terus apa?"

"Abi belum jawab pertanyaan Hanum! Jadi kenapa Abi baik banget sama Abang Abi?"

"Emangnya Abi pernah jahat sama siapa, sih?" Alan seakan lupa ingatan. Dan dengan senang hati Hanum pun mengingatkan.

"Temen laki-laki Hanum semua Abi jahatin, kok! Mau ambil buku aja Abi introgasi. Chat Hanum nanyain tugas aja, Abi mata-matain. Ada yang mau kenalan sama Hanum aja Abi ancem. Terus—"

"Oke oke." Alan tak sanggup mendengarnya lagi. Rasanya ia terlalu posesif. Padahal memang itulah faktanya.

"Bener, 'kan?"

"Enggak. Itu bukan jahat! Abi cuma meminimalisir kejahatan dari mereka!"

Mendengar itu, sebelah alis Hanum otomatis terangkat, tak mengerti dengan penjelasan kurang masuk akal dari abinya. Abi yang melihat ekspresi itu pun menghela napas.

"Jadi gini, mereka itu jahat, abi baik. Titik!"

Hanum sampai tercengang mendengar kesimpulan yang baru saja abinya katakan. Benar-benar abinya ini. Hanum heran, bagaimana bisa uminya betah saat mengobrol dengannya. Bahkan sekarang abinya sudah berjalan tanpa mau bicara apapun lagi.

"Abiii?"

"Hmm?"

"Jadi Abang Abi juga jahat?"

Alan berhenti dan berbalik untuk bertanya, "emang dia deketin Hanum? Minta nomor Hanum? Ajak Hanum kenalan? Nanya tugas ke Hanum? Minjem buku Hanum?"

Hanum pun menggeleng sebagai jawaban dari semua pertanyaan itu. Bahkan Hanum sangat ingat kalau dia lah yang mengajak Abi kenalan di hari pertama mereka bertemu.

"Dia baik."

Sekian dari Alan. Karena setelahnya ia berlari menaiki tangga sambil memanggil kekasih halalnya yang ia rindukan karena hampir dua jam tidak bertemu. Ya, itulah Alan.

Sementara Hanum kini mencibikkan bibirnya, kurang suka dengan jawaban singkat dari abinya. Memang abinya itu sudah mengenal Abi berapa lama, sih? Kenapa mudah sekali menilainya sebagai laki-laki yang baik?

Padahal yang Hanum tahu, abinya tak mudah menilai orang begitu saja. Apalagi kalau orang itu adalah laki-laki. Tapi kali ini, sepertinya ada pengecualian untuk seorang laki-laki bernama Abi yang mana adalah tetangganya sejak beberapa hari yang lalu.

Ya, beberapa hari yang lalu.

Atau setidaknya, itulah yang Hanum tahu.

Cinta Untuk Hanum [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang