Rain doesn't Need Reason to Fall

539 51 0
                                    

Matahari bersinar cukup terik pagi ini, meski jam baru menunjukkan pukul 8 pagi. Sophia berjalan menyusuri pemakaman menuju ke makam kedua orang tuanya yang berjajar. Ia lalu berjongkok di samping makam ibunya setelah meletakkan sebuket bunga mawar putih kesukaan ibunya. Sophia meletakkan tangannya di papan nisan ibunya. Ia sangat merindukan Ibunya saat ini. Jika saja, ia masih bersama Ibunya, mungkin sekarang ia sudah menangis sembari memeluk Ibunya. Ia akan menceritakan semua hal yang dipendamnya pada Ibunya dan ia yakin Ibunya akan bisa membantunya dengan memberikan nasihat yang sangat obyektif.

"Sophia tidak tahu harus bagaimana, Ma? Semua ini salah Sophia, tetapi saat Sophia ingin mengakhirinya, Sophia justru takut kalau akan menyakitinya." Cerita Sophia dengan terisak.

Ingatannya membawanya pada peristiwa kemarin saat ia melihat Renno yang begitu terluka saat Ibunya menentang hubungannya, dan saat ia pergi dengan perasaan terluka karena Sophia menolaknya. Lalu, apa yang akan terjadi padanya jika ia sampai memilih untuk meninggalkannya?

Sophia menghapus airmatanya dengan ujung jarinya. Ia lalu beranjak dari makam setelah mencium nisan kedua orang tuanya. Ia harus segera berangkat ke Bandara karena ia harus take off pukul 11 siang nanti.

-00-

Langit sudah cukup gelap saat mobil yang dikemudikan Pak Budi sampai di halaman parkir kantor. Sejak pagi sampai sore, Sophia harus berkeliling ke semua cabang untuk mempresentasikan produk prioritas baru kepada semua pekerja di masing-masing cabang. Reward yang diberikan oleh perusahaan apabila satu pegawai bisa closing satu nasabah yang bersedia holding dana minimal seratus juta dan kelipatannya cukup menjanjikan. Cara Sophia dalam mempresentasikan kepada semua pegawai juga cukup memberikan kesan, sehingga sore ini Sophia sangat optimis kalau program ini akan dapat mendongkrak pencapaiannya pada triwulan kedua dan ketiga nanti. Ia bahkan berharap program yang dijadwalkan hingga akhir tahun ini akan membuatnya mempertahankan posisinya sebagai The Best Priority Banking Manager Of The Year.

Sophia menggenggam tablet di tangan kanannya sementara tangan kirinya membawa handbag warna putih yang senada dengan pump heels-nya. Ia berjalan cepat menuju ke ruangannya. Banyak hal yang harus dilakukan hari ini setelah ia meninggalkannya selama satu minggu penuh. Sophia duduk di kursinya dan menyalakan komputer. Ia harus menyiapkan laporan untuk kepala bagian yang akan datang besok. Entah kenapa kepala bagian satu ini sering sekali berkunjung ke kantor Sophia dan membuatnya harus membuat laporan berkali-kali.

Ponsel Sophia berdering saat ia tengah pusing membuat prognosa bulan ini. Sophia melirik ke layar ponsel dan terlihat nama Vanya. Ada apa tiba-tiba sahabat masa kuliah Sophia itu meneleponnya? Pikir Sophia. Ia lalu meraih ponselnya dan menggeser layar.

"Haii, sop."

Suara lantang terdengar dari seberang telepon. Memang hanya Vanya yang memanggil Sophia dengan tiga huruf depan "Sop".

"Ada angin apa tiba-tiba telepon?" sahut Sophia.

"Iih, jutek amat sih. Kangen tau sama sahabat terbaik." Vanya terdengar sedang cekikikan di seberang sana.

"Salah sendiri manggil nama orang seenaknya sendiri." Ucapan Sophia membuat cekikikan Vanya berubah menjadi tawa.

"Kamu telepon jauh-jauh dari Aussie cuma buat ngetawain aku?" tanya Sophia yang masih mengetik laporan. Ia menjepit ponselnya dengan telinga dan pundak karena ia tidak sempat memasang earphone bluetooth.

"Mahal kali telepon dari Aussie. Aku sudah di Indo sejak semalam. Ketemuan yuk."

"Ouwh, really? Kapan ketemuannya?" Sophia sangat antusias mendengar sahabatnya akhirnya pulang dari perantauannya selama bertahun-tahun di Australia.

A 1000 Miles To Marry You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang