Dream vs Reality

5.9K 198 4
                                    

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam dan Sophia masih berada di ruang kerjanya. Kepalanya pusing memikirkan harus kemana lagi ia mencari dana yang jika dihitung dari targetnya di triwulan pertama ini masih kurang sekitar sepuluh milyar. Tadi siang ia sudah cukup mengomel pada semua anak buahnya yang menurun sekali pencapaiannya dua bulan ini. Dan sebagai seorang manajer, besok ia pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh kepala bagian.

Sudah sejak delapan tahun ini, ia bekerja di Bank Swasta khususnya di bagian Priority Banking. Ia memulai karirnya sebagai Priority Banking Officer dan membutuhkan waktu sekitar 5 tahun untuk menjadi Assistant Manajer dan sudah setahun ini ia menjabat sebagai Priority Banking Manajer. Ia memegang Priority Banking seluruh cabang di Jakarta. Tentu saja tidak mudah baginya untuk meraih posisinya itu. Setiap harinya, ia harus tidur selama 3 jam saja selebihnya ia menghabiskannya untuk bekerja, entah itu di kantor ataupun di rumah.

Sebuah ketukan di pintu membuatnya menoleh dan memintanya masuk. Seorang pria dengan kemeja yang sudah dilipat hingga separuh lengan masuk. Senyum merekah di bibirnya yang membuat Sophia tahu kalau itu adalah kabar bahagia.

"Kita dapat 5 milyar bu. Sudah terbuku di accountnya." Sophia menarik nafas lega mendengarnya. Meski, targetnya masih kurang 5 milyar lagi. Ia sudah menyiapkan jawaban untuk itu.

"Good Job. Kalian pulang saja sekarang. Sudah malam." Ucap Sophia yang dibalas dengan anggukan oleh Deni, Priority Banking Assistant.

Sophia menyandarkan punggungnya pada kursi. Ia akhirnya bisa melewati malam ini dengan tenang. Ia pun akhirnya membereskan barangnya bersiap pulang. Ia menenteng handbagnya dan berjalan keluar dari ruangannya saat jam menunjukkan pukul 11.30 malam.

Beberapa lampu sudah di matikan karena sebagian besar memang sudah pulang. Sepi dan hanya suara heels Sophia yang menyentuh lantai yang menimbulkan suara. Ia menekan tombol lift menuju ke lobby. Pintu lift terbuka beberapa detik kemudian dan Sophia berjalan keluar menuju ke pintu depan. Ia menghentikan langkah saat matanya menatap seorang pria yang tengah berdiri bersandar pada kaca di luar kantor. Ia mengenakan celana jeans, kaos putih dan jaket jeans. Tidak lupa boots hitam yang membalut kakinya. Sophia tersenyum melihat pria itu. Di dalam hatinya ia bertanya - tanya sudah berapa lama pria itu berdiri di depan menunggunya.

"Hai." Suara Sophia membuat pria itu kaget dan langsung mematikan rokok yang sedang dihisapnya.

"Hai." Sahut pria itu seraya tersenyum lebar. Senyum itu yang selalu Sophia rindukan dari pria ini. Ia selalu tersenyum dengan tulus.

"Sudah lama?" tanya Sophia. "Baru satu jam. Tadi ada undangan di deket sini, jadi mampir kesini." Jawabnya.

"Sudah makan?" tanya Sophia lagi yang dijawab dengan gelengan kepala. "Kita makan yuk." Ajak Sophia. Pria itu mengangguk lalu menggandeng Sophia menuju ke parkiran. Hanya tinggal mobil Sophia yang terparkir di halaman parkir kantor.

"Mau makan apa?" tanya pria bernama Renno seraya mengemudikan mobil Sophia.

"Terserah kamu, Ren. Aku capek." Sophia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dan memejamkan mata. Renno akhirnya diam. Ia tahu betul kalau setiap akhir bulan Sophia akan seperti ini dan itulah kenapa setelah manggung di Café tadi, ia memutuskan untuk datang ke kantor Sophia dengan taksi.

Renno menyetir mobil menuju ke warung soto langganan. Kuah hangat soto mungkin bisa mencegah Sophia masuk angin karena bekerja terlalu lelah, pikir Renno. Setengah jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di warung soto. Namun, ia tidak langsung turun karena ia melihat Sophia tertidur di mobil. Wajahnya tampak lelah sekali sehingga Renno enggan membangunkannya. Ia akhirnya menyalakan mesin mobil lagi dan menuju ke rumah Sophia yang hanya berjarak 2km dari sini.

A 1000 Miles To Marry You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang