Sebuah Keputusan

10 0 0
                                    

Kata-kata Renata beberapa hari yang lalu ternyata bukan isapan jempol semata. Setelah mencoba mencari tau kebenarannya sejak malam itu, Kinara akhirnya bisa membuktikannya sendiri siang ini, tepat jam istirahat pertama, dikantin depan. Kinara menyaksikan sendiri Falco dan Nadia sedang makan berdua dikantin itu. Keduanya terlihat mesra, memang seperti orang yang sedang pacaran.

Kinara akhirnya mengerti, kenapa Falco jarang hadir dipertemuan, bahkan jarang menemuinya di waktu istirhat. Jadi karena memang dia sudah punya pacar. Kinara berusaha menguatkan hatinya, meskipun dia tau, saat ini dia ingin sekali berlari meninggalkan keduanya.

Lo bohong Fal. Lo pernah janji nggak akan berubah walau kita pisah. Tapi sekarang? Lo berubah Fal. Lo lupa janji lo. Lo lupa ama gue!

"Kinara." Kinara menoleh. Dewi berdiri dibelakangnya. Dewi menarik Kinara menjauh dari Falco. Dewi tau, Falco tau keberadaan Kinara di situ, tapi Falco membuatnya seolah-olah hanya orang yang tak penting.

Dewi membawa Kinara ke belakang kelas mereka yang dulu. Sepi, hanya ada mereka berdua sekarang.

"Lo boleh nangis kalo lo mau," kata Dewi tenang. Dia tau apa yang dirasakan Kinara. Sejak kelas XI lalu, dia tau Kinara menyayangi Falco. Hanya saja Kinara belum menyadarinya.

Kinara mengangkat wajahnya, lalu tersenyum kecut dan berkata. "Gue nggak bisa nangis Wi."

Dewi tersenyum geli. Benar kata Kinara, sejak tadi memang matanya berkaca-kaca, namun airmata yang ditunggu-tunggu itu tak pernah keluar dari matanya itu.

"Lo kuat Ra?"

"Nggak tau juga. Tapi sejak dulu sesedih apapun gue, tetap aja nggak akan sampai ngeluarin airmata," kata Kinara. "Bahkan waktu gue musuhan ama Arvi, gue tetap aja nggak bisa nangis."

Dewi menghampirinya, merangkul pundaknya erat, dia mengerti beban yang ditanggung Kinara. Airmata adalah salah satu cara melepaskan beban kita, terutama untuk cewek. Tangisan adalah cara terbaik mengekspresikan perasaan, baik senang maupun sedih. Tapi Kinara bahkan tak bisa melepaskan bebannya walau hanya dengan airmata, dan itu pasti sangat sulit.

Kinara bersandar di pundak Dewi. Dewi tau seberapa dalam perasaan Kinara pada Falco, mereka diam membisu. Tak lama Kinara menarik kepalanya dari pundak Dewi dan memandang Dewi yang duduk disampingnya dengan salah tingkah.

"Gue nggak tau kenapa harus sedih Wi."

Dewi tergelak. "Lo sayang dia, karena itu lo sedih."

"Sok tau lo," cibir Kinara.

"Kinara... Kinara, kan udah gue bilang, sejak dulu lo itu suka ama Falco. Hanya aja lo nggak nyadarin itu semua, mungkin karena ada Ariel dihati lo."

Kinara mengangguk pelan. Dia sekarang juga sadar, setelah melihat Falco bersama Nadia. Dia sadar betapa Falco berharga dalam hidupnya, melebihi Ariel, dan mungkin juga melebihi Arvi sahabatnya.

"Udah terlambat ya Wi."

Dewi mendesah pelan. "Iya, mungkin lo harus lupain Falco."

Kinara mengangguk paham, itu memang harus dilakukannya, karena dia tak mau merebut apa yang sudah menjadi milik orang lain.

"Reaksi lo masih lebih sabar dari pada Dinda dan Arista. Seenggaknya lo nggak nangis."

Kinara menoleh. "Maksud lo?"

"Dinda dan Arista juga suka ama Falco, dan mereka bahkan sampai nangis kemarin. Di tempat yang sama, disini."

Kinara melotot, kalo Dinda dia juga tau, tapi Arista? Mana mungkin teman dekatnya itu juga memiliki perasaan yang sama pada Falco? Bukannya Arista menyukai Viel?

OMOIDE (KENANGAN) ENDWhere stories live. Discover now