🐿️ Part 1 🐿️

290 56 7
                                    

Setiap pribadi mempunyai ciri tersendiri, tak ada hak untuk  membedakan karena itu bukan kuasa kita.


🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🌵🌵🌵🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️




Pemuda berkaus abu-abu yang dilapisi jaket bomber memasuki rumah dalam keadaan sudah gelap, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Pukul sepuluh? Ah, bahkan ini masih terlalu sore untuk berada di rumah baginya. Wah, sesuatu yang jarang sekali bagi seorang Aldrift pulang di jam-jam ini. Entahlah, hanya saja ia ingin cepat pulang dan merebahkan diri di kasur. Mungkin juga karena hari ini tidak ada balapan yang harus diikuti.


Ia putar kunci motor di jari tangan, bibirnya bersiul membentuk nada lagu kebahagiaan, tidak memedulikan keadaan rumah yang sudah gelap. Orang-orang rumah pasti sudah tidur, lebih baik ke kamar dan turut melelapkan diri pula. Namun, dugaannya salah. Tepat saat ia menginjakkan kaki di anak tangga pertama, ruangan yang sebelumnya gelap kini berubah menjadi terang. Langkah otomatis terhenti, mengedarkan pandangan dan mendapati seseorang yang berdiri di samping sakelar lampu sambil melipat tangan di dada. Darren Zakir Gautama, papanya.


Al menarik napas dalam, ia tahu apa yang akan terjadi, pun sudah siap dengan ini.


"Dari mana kamu, Al!" bentak sang papa.


Diam, hanya itu yang dilakukan. Karena jika menjawab pun, tidak akan banyak membantu. Papanya pasti masih tetap menuduh.


"Balapan lagi? Taruhan lagi? Bikin rusuh lagi?" Benar bukan? Memang selalu itu yang papanya hafal dari diri Aldrift. "Kapan kamu lurus, Al? Kapan kamu jadi anak yang bener?" Suara Darren semakin meninggi. Membuat mamanya dan sang kakak terbangun. Saat ini, Al sudah melihat keduanya berdiri tidak jauh dari sana.


Al hanya diam ketika papanya berjalan mendekat, aura kemarahan sangat terasa saat sang papa sudah berdiri tepat di depannya.


"Jawab kalau Papa bertanya!" Ya, memang apalagi yang akan diberikan jika bukan bentakan?


Al menghela napas dalam, ia menatap tepat pada mata papanya. "Al dari rumah teman, Pa," jawabnya dengan tenang.


Bisa ia lihat senyum sinis terukir di bibir papanya. "Dari rumah teman? Yang mana? Si Randy, Zidan, Bimo, atau Candra?" Satu sudut bibir papanya semakin tertarik. "Kalian memang komplotan. Komplotan sampah yang sukanya bikin onar. Enggak pernah ada gunanya!"


Kali ini, kedua tangan Al mengepal di kedua sisi tubuh, merasa tidak terima dengan sebutan yang diberikan untuk dia dan teman-temannya.


"Bisa enggak, jadi anak yang bener? Jadi anak yang berguna." Al menunduk, mencoba untuk menahan gemuruh emosi yang mulai membalut tubuhnya. "Contoh itu kakak kamu! Dia cerdas, berbakat, bisa membanggakan orang tua. Enggak seperti kamu, hidupnya cuma bikin susah orang tua."


Cukup! Al tidak bisa diam lagi. Papanya boleh menghina, merendahkan. Akan tetapi, jika harus dibanding-bandingkan, ia tidak suka. Memangnya siapa yang membuat semua ini terjadi?


Al mendongak, menatap tepat ke wajah papanya. Napas si pemuda berusia dua puluh lima tahun itu menderu.


Pria paruh baya yang mengenakan baju tidur itu melangkah maju dan kembali membentaknya dengan kedua mata  melebar "Apa?"


Namun, pemuda berjaket hitam itu bukannya takut malah semakin menatap tajam dan maju membalas argumen sang papa.


"Papa boleh menghinaku, papa boleh mencaciku. Tapi satu ...," Al mengangkat telunjuknya tepat di depan wajah. "Jangan pernah membanding-bandingkan aku dengan Kakak!" ucap Al dengan keras. Kali ini ia memberontak.


"Kakak, ya, Kakak. Aku, ya, aku. Jadi, jangan samakan aku dengan Kakak. Jangan memintaku untuk berubah menjadi Kakak, karena itu tidak akan pernah terjadi!" bentak Al tegas. Kali ini ia tidak peduli jika harus dicap sebagai anak pembangkang.


"Beraninya kamu!" Satu tamparan ia terima, membuatnya limbung dan jatuh, ia yakin, tamparan itu pasti meninggalkan bekas.


"Papa!" Teriakan terdengar, yang Al kenali itu suara mamanya. Tak lama, ia merasakan sentuhan lembut pada pipinya.


"Papa keterlaluan!" Teriakan mamanya terdengar serak, Al yakin pasti perempuan yang telah melahirkannya sedang menangis.


"Biar! Biarkan anak ini berpikir. Berpikir kalau dia memang tidak berguna!"


Melirik dengan ekor matanya, Al dapat melihat sebuah jari yang ditunjukkan padanya. Ia tersenyum miring tanpa orang lain tahu.


"Papa!" pekik perempuan yang kini memeluk Al.


"Ya ...." Perhatian Al dapat saat membuka suara, pandangan semuanya pun kini tertuju padanya.


Al bangkit, berdiri dengan bantuan mamanya. "Ya. Aku memang anak tidak berguna, Pa. Anak tidak tahu diri. Apa pun yang akan aku lakukan, tidak ada gunanya bagi Papa." Al tidak peduli saat melihat mata papanya yang melotot memerah. "Karena bagi Papa, anak Papa adalah Kakak. Revindra Latief Gautama." Ia tunjuk keberadaan sang kakak yang berdiri tidak jauh darinya.


"Al! Jaga sikap kamu!" teriak Revin membuat ia menoleh, memasang senyum miring kemudian.


Al tertawa. "Lihat!" Al menunjuk papanya dan sang kakak bergantian. "Bahkan untuk menyudutkan aku saja kalian begitu kompak." Tawanya semakin keras, tetapi sudut matanya terlihat menggenang.


Al bertepuk tangan. "Kalian memang pasangan papa dan anak yang sangat membanggakan. Kompak. Selamat." Setelahnya, Al berlari menaiki tangga. Tak memedulikan semua yang ada di sana memanggil namanya.


Memasuki kamar, menutup pintu dengan bantingan. Sehingga menimbulkan suara yang cukup keras. Al segera masuk kamar mandi. Menyiram tubuhnya dengan air tanpa melepas baju. Ia berusaha mendinginkan pikiran yang terasa kalut. Semua ini terasa menyakitkan, melelahkan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk membersihkan diri.


Saat keluar, ia mendapati keberadaan sang Kakak, tak ada yang dilakukan selain hanya mendengkus. "Ngapain lo ke sini?" tanya Al yang kembali mengeringkan rambutnya.


"Al, jangan pikirkan ucapan Papa. Lo tahu Papa orangnya kek apa."


Al tak memedulikan Revin yang berbicara di belakangnya.


Tanpa sepengetahuan Revin, Al menarik sudut bibirnya miris.

"Mending lo keluar, Kak. Gue cape. Gue mau istirahat"


"Al—"


"Kak, gue mohon."


Al mendengar langkan sang kakak, lalu pintu yang tertutup. Selepas kepergian Revin, lagi-lagi Al menarik sudut bibirnya. Merasa miris akan nasibnya yang tidak pernah diakui keberadaannya oleh sang papa.

***

Al meraih salah satu kaus polos dari beberapa tumpukan lipatan di lemari pakaian, warna biru menjadi pilihannya pagi ini. Warna yang cerah, cukup sesuai dengan cuaca di luar yang bisa ia lihat melalui jendela kamar. Namun, hal itu sangat berbanding dengan Susana hatinya saat ini. Menggeleng pelan, Ia mulai mengenakan kaos itu, lalu melengkapinya dengan jaket levis berwarna senada, sangat khas dengan gaya seorang Aldrift. Ia beralih pada cermin besar di kamarnya, mematut dirinya dan mulai membenahi penampilan.


Siluet pemuda dengan wajah tampan berahang tegas, ia dapati. Tubuhnya yang tinggi semampai cukup mampu memikat para kaum hawa di luaran sana, belum lagi hidung mancung seperti pelengkap parasnya.

Meskipun bekas luka di dahi sedikit mengganggu, itu tak sekalipun mengurangi kadar ketampanannya. Luka jahit itu ia dapatkan sejak dirinya berusia lima tahun. Itu kata mamanya. Entahlah. Ia pun tidak bisa mengingat kejadian sebenarnya.

Dipandangi lagi dengan saksama penampilannya, lalu terpaku pada mata tajam sipit dengan iris berwarna coklat yang tak lain juga miliknya, salah satu yang ia banggakan, hal ini juga menguatkan karisma yang ia punya. Meskipun kali ini kantung mata tampak samar menghiasi di bagian bawah, baginya tidak masalah. Kantung itu, didapat akibat semalam yang baru bisa tertidur saat larut malam.

Mengembuskan napas, Al segera menyisir rambutnya yang sudah mulai mengering. Menyemprotkan parfum pada tubuh, dan bersiap untuk menghadapi papanya. Al keluar dari kamar, menuruni tangga dengan santai. Ia bisa mendengar percakapan yang ia tahu dari mana asalnya. Ruang makan. Sepertinya, kedua orang tuanya dan juga sang kakak tengah menikmati sarapan. Ia mendengar pujian sang papa yang ditujukan pada Revin. Lagi-lagi, ia menarik sudut bibirnya. Se-bangga itulah papanya pada sang kakak.

Ia iri? Tidak, karena ia tahu, kemampuan orang berbeda-beda, pada bidang yang berbeda-beda pula. Senyum kembali ia ukir. Percakapan itu terdengar hangat di telinga Al, pujian yang dilontarkan papanya diiringi tawa kemudian oleh beberapa insan di meja makan yang katanya milik keluarga itu memang terlihat menggoda. Namun, percayalah. Itu sebenarnya memuakkan.

Dalam hati ia tertawa, merasa yakin kalau sebentar lagi senda gurau itu pasti berhenti ketika kehadirannya di sadari oleh orang-orang di sana.

Benar bukan? Kedatangannya menghentikan segala kehangatan yang ada. “Al. Makan?” Panggilan itu mau tak mau membuatnya menghentikan langkah dan menoleh.

Al memasang senyum sebelum menjawab,” Tidak, Ma. Terima kasih.” Ia lebih memilih segera berlalu dari sana, tak ingin lagi mendengar ucapan papanya yang bisa saja kembali dilontarkan untuk merendahkannya. Ia melangkah cepat keluar dari rumah, menahan rasa sesak yang semakin mengimpit.
Tepat saat ia berada di depan mobilnya, ia segera masuk dan menghempaskan tubuh pada sandaran kursi. Saat itulah, ia tidak lagi mampu menahannya. Kristal bening jatuh dari pelupuk mata, mengaliri pipi dan mengukir jejak air mata. Semua ini ... terasa melelahkan. Bolehkah ia menyerah?

Al mengusap pipinya kasar, menghapus bekas air asin di sana. Segera menyalakan mobil, memasukkan gigi dan segera menjalankannya. Mobil Pajero hitam itu mulai melaju meninggalkan rumah megah kediaman Gautama. Rumah yang kata orang adalah istana bagi mereka, tempat mereka melepas penat setelah lelah, tempat berbagi kehangatan kasih sayang bersama keluarga. Namun, tidak baginya. Semua kata itu, kehangatan dan kasih sayang hanyalah omong kosong. Ilusi belaka. Bolehkah ia menganggap itu hanya sebuah bangunan? Sebuah bangunan yang hanya berdiri berdasarkan bahan bangunan. Tempat ia berteduh hanya kala hujan dan panas. Bukan untuk tempatnya pulang.

Seiring deru angin yang ditinggalkan mobil Al yang melaju, suara deruman itu pula yang mengiringi kristal bening yang kembali jatuh dari pelupuk mata. Mata yang biasanya memandang tajam di depan orang lain. Kini menampakkan redupnya, berembun dengan jutaan mili air asin yang setia jatuh dari irisnya.


🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🌵🌵🌵🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️

Hello, haiiiii

Apa kabar kalian semua?

Mom harap baik, ya ☺️☺️☺️☺️

Oh, iya. Jangan lupa vote dan selalu dukung cerita ini, ya
Love you all the best.

 Jangan lupa vote dan selalu dukung cerita ini, yaLove you all the best

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Unexpected DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang