🐿️ part 5 🐿️

146 23 1
                                    

Part 5


Jika tidak bisa membantu kesalahan orang lain, setidaknya jangan sudutkan dia oleh kata-kata tak berguna yang keluar dati bibirmu.

🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🌵🌵🌵🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️



"Driyan?" Panggilan dari arah belakang menandakan sahabatnya yang lain mengikuti. Dari intonasinya saja, mereka pun tak percaya akan apa yang dilihat.


Aldrift memandang tajam pemuda dengan kaus hijau tua yang kini memandangnya dengan mata melotot, lalu turun dan jatuh pada tangan di mana sebuah bungkusan berwarna putih itu menggantung. Meski tangan itu bergetar, tetapi tak sedikit pun membuat barang itu jatuh.


Beralih kembali pada wajah ketakutan, ia menyorot dengan rasa kecewa. Memandang sayu seseorang yang cukup lama menemani haru perjuangan di pertemanan mereka.


"Apa yang kau lakukan, Yan?" Suaranya tercekat, bahkan tubuhnya terasa kaku akibat sesuatu yang baru saja ia lihat. Di depannya, sosok Driyan sang sahabat tengah memegang barang haram yang pantang untuk mereka sentuh.


Suara grasah-grusuh hanya membuatnya menoleh sekilas, rupanya teman-temannya menyekap orang lain. Seseorang yang berdiri berseberangan dengan Driyan.


Aldrift menuntut penjelasan dari mimik wajahnya meski kini Driyan hanya menunduk. "Yan," panggilnya. Berharap laki-laki di hadapannya menjawab.


"Ma—maafkan gue, Drift." Hanya itu yang ditangkap indra pendengarnya. Tak ada lagi kalimat, hanya bahu yang terguncang menandakan di empunya tubuh tengah menangis.


"Kenapa?" tanyanya lirih. "Kenapa lo sampai nyentuh barang itu. Lo tahu ini pantang bagi kita. Kita emang berandalan, kita emang urakan, tapi kita udah janji untuk nggak berurusan dengan narkoba. Kita uda—"


"Gue butuh uang!" Teriakan Driyan membuatnya menegang, bahkan matanya melotot saking terkejutnya. Memandang sosok yang kini mendongak dengan mata memerah. Napas memburu itu sangat kentara dari dada yang naik turun.


Baru kali inilah ia melihat Driyan yang bicara dengan keras. Selama ini, pemuda itu adalah sosok yang paling lemah lembut. Paling menyayangi keluarganya pun dengan teman yang lain. Jangan tanyakan bagaimana rasa terkejut Aldrift akan Driyan yang terjerumus dalam gelap terdasar.


"Gue butuh uang." Jari yang sebelumnya memegang bungkusan putih kini menunjuk dada, berucap lirih yang jelas ditujukan pada dirinya. "Keluarga gue butuh makan. Adek gue butuh uang buat sekolah. Sedangkan gue baru aja dipecat dari pekerjaan gue gara-gara bokap sialan yang sukanya main tangan dan mabuk-mabukan." Mata Aldrift semakin melebar mendengar penuturan dari Driyan, bahkan ia sempat menahan napas sepersekian detik. Bagaimana bisa ia tidak tahu kalau sahabatnya mengalami kesulitan sebesar ini?


Pemuda itu meremas kepalanya kasar, seolah penyesalan akan keterpaksaan yang diperbuat. Meninju udara seperti melampiaskan kekesalan. Setelahnya, pandangan mereka kembali terpaut.


"Gue miskin." Ucapan itu semakin terdengar lirih. "Dan karena gue miskin, gua nggak pengen adik gue bernasib sama kayak gue. Nggak punya pekerjaan yang layak dan selalu dihina di mana kita tinggal." Hati Aldrift berdenyut nyeri. Saat dirinya mengeluhkan akan kekurangan kasih sayang meski bergelimang harta, ada orang lain yang hidup dalam kekurangan tengah berjuang untuk keluarganya.


"Hanya ini yang bisa buat gue dapat banyak uang. Cuma dari kurir barang haram ini gue bisa wujutin impian adek gue." Aldrift cukup bersyukur saat Driyan mengatakan jika hanya menjadi kurir dan bukan pemakai. Akan tetapi, tetap saja. Ia menggeleng kala Driyan mengangkat narkoba itu seolah membanggakan.


Linangan air mata jatuh di pipi sang sahabat, tarikan napas dalam yang diambil seolah mengalirkan kesesakan yang sahabatnya rasa pada dirinya. Ya Tuhan, sesulit apa masalah sahabatnya ini? Dan ... kenapa Driyan tidak pernah bicara padanya?


Tanpa kata, ia mendekati Driyan, menarikya dalam pelukan erat, menumpahkan rasa sayang akan persahabatan yang ia persembahkan untuk laki-laki itu. Menepuk punggung menyalurkan kekuatan. Tangis sesak pun dapat ia rasakan di balik bahu.


"Apa salah kalau gue memperjuangkan masa depan adek gue? Apa salah gue yang miskin ini punya keinginan untuk merubah nasib?" Pertanyaan yang terucap di sela tangis semakin membuat hatinya teriris. Ini ... ini terasa lebih menyakitkan dari segala hinaan yang pernah didengar untuk dirinya. Semakin ia eratkan pelukan pada tubuh kurus Driyan. Tidak peduli jika yang lain memandang dirinya lelaki cengeng.


Melepaskan pelukan, ia memegang erat pundak Driyan. "Kenapa lo nggak pernah bilang sama kita kalau lo lagi kesusahan? Kenapa lo diam aja?" Diguncangkan tubuh itu pelan.


Bahu tegap itu semakin terguncang dalam cengkeramannya. Air asin tampak semakin deras berjatuhan. "Gu—gue. Gue udah banyak nyusahin kalian. Gue malu terus-terusan minta bantuan kalian sedangkan gue nggak pernah berbuat sesuatu yang berarti untuk kalian."


Refleks tangan Aldrift terangkat, menampar pipi Driyan cukup keras sembari berucap, "Bodoh. Kenapa lo bego banget jadi orang?" Suaranya menegaskan ia tengah kesal, merutuki diri bagaimana bisa ia mempunyai sahabat seperti Driyan.


Kini, tatapan tajam dari Driyan ia dapatkan. Pipi yang baru saja ia hadiahi pukulan kini diusap lembut oleh si pemilik tubuh. Melalui jari-jari itu ia bisa melihat cap merah hasil dari tamparannya. Akan tetapi, ia tidak peduli. Aldrift hanya ingin memberi pelajaran untuk sahabatnya ini.


"Gue lebih baik lo susahin daripada sahabat gue tersesat kayak gini!" teriaknya keras. Namun, kedua tangan di sisi tubuh mengepal kuat tanda ia masih ingin menahan emosi.


"Sekarang, lo buang barang itu dan berhenti jadi kurir." Ada harapan besar apa yang dia ucapkan dituruti oleh Driyan.


Namun, apa yang diharapkan pupus kala Driyan menggeleng. "Lo gila!" Teriakan itu jelas ia tahu dari Zidan. Bisa ia lihat sahabatnya yang lain juga tak habis pikir akan sosok Driyan.


“Lo pikir? Masa depan Adek Lo enggak terancam kalau Lo jadi kurir? Kalau Lo sampai ketangkep, siapa lagi yang akan sekolahin Adek lo. Makin hncur perasaan nyokap dan Adek lo.” Kali ini Candra turut bersuara, berusaha kata-katanya didengar.


Namun, lagi-lagi hanya ada gelengan kepal. "Gue nggak bisa." Kepala Driyan menunduk. "Gue nggak bisa berhenti jadi ku—"


Dengan gerakan kilat Aldrift meraih bungkusan di tangan Driyan, menjatuhkan lalu diinjaknya hingga hancur. Untuk terakhir, ia buang barang haram itu ke dalam kloset.


Beralih pada Driyan, ia mendaratkan pukulan pada wajah sang sahabat,  dibubuhkan kembali warna keunguan pada paras yang sebelumnya mencetak lima jari. Kali ini, pukulan bertubi-tubi. "Berhenti jadi kurir," ucapnya dengan wajah memburu di sela-sela ia memukul habis Driyan.


"Atau lebih baik lo mati." Tubuhnya terasa ditarik. Ia tahu keempat sahabatnya ingin menahan dirinya untuk tidak menghabisi Driyan.


"Lebih baik gue bunuh lo daripada gue punya sahabat seorang kurir narkoba." Saat itulah ia mendapat balasan dari Driyan.


"Gue nggak bisa berhenti.” Satu pukulan cukup membuat langkahnya mundur dan beberapa orang terpekik. “Gue nggak bisa. Kalau gue berhenti mereka akan bunuh keluarga gue."


Aldrift meludah saat merasakan nyeri di sudut bibir, bau anyir menyeruak seketika. Napasnya terengah saat yang lain berhasil memisahkan dirinya dengan Driyan.


Aldrift berusaha melepaskan cekalan pada tangannya, ia menatap meyakinkan pada dua orang yang berada di sisi kanan dan kiri yang menahan lengannya.


Berhasil terlepas, Aldrift menjatuhkan tubuhnya ke lantai, menyeret duduknya hingga menyandar pada dinding toilet. Memandang Driyan yang kini tampak tertunduk bertumpu pada lututnya.


"Siapa yang membayarmu, Yan?" Lelaki di hadapannya hanya menggeleng. "Siapa?" tanyanya lagi dengan sebuah teriakan. Hingga dua nama yang terucap membuat ia menahan napas. Benarkan? Dan dia juga bersumpah bahwa yang lain pun percaya tak percaya akan dua nama yang baru saja diucapkan oleh Driyan.


"Pergi, Yan. Pergi dari kota ini," ucap Aldrift kemudian. Ia tetap memandang lurus Driyan meski ia tahu semua kini menatapnya tak percaya.


"Tap—" Tanpa ingin mendengar bantahan dari Driyan, ia meraih ponsel dari saku celana. Membuka kontak dan mendial nomor seseorang.


"Halo, Diz. Gue perlu bantuan," ucapnya setelah panggilan itu terhubung. Tetap memandang tajam Driyan yang menatapnya penuh kebingungan. Bahkan masih tak ia hiraukan Toni yang kini duduk di sampingnya.


Seseorang di seberang sana berdecak. "Nggak pernah ada kabar, sekalinya ngubungin minta bantuan. Sepupu laknat." Aldrift tertawa, menahan nyeri saat bibirnya terbuka. "Apa?"


Sesaat kemudian, pandangannya kembali datar. "Satu pekerjaan dan satu rumah untuk tinggal tiga orang."


"Oke." Satu kata itu cukup membuatnya lega. Masalah satu teratasi.


"Salam untuk Syifa yang sedang lo perjuangin." Suara tawa di seberang sana terdengar.


"Salam untuk bokap diktator lo." Panggilan ia matikan begitu saja, tak memedulikan sepupunya Diaz yang di seberang sana akan marah.


Kembali memasukkan ponsel dan saku celana, ia memandang Driyan dengan tatapan persahabatan. Bangkit perlahan menahan nyeri, ia berjalan mendekati tubuh yang kini mendongak menatapnya butuh penjelasan.


Tangan kanan Aldrift terulur menepuk pundak Driyan. "Kemasi barang-batang lo, ibu dan juga adik lo. Besok gue antar ke tempat sepupu gue." Aldrift menggeleng ketika Driyan akan membantah. "Bukan keluar kota. Hanya sedikit jauh dari sini."


Sedikit terkejut kala mendapati gerakan tiba-tiba dari Driyan yang langsung memeluknya. "Terima kasih, Drift. Gue nggak tahu harus balas dengan apa." Aldrift hanya menepuk pelan punggung sang sahabat

.
Pemuda yang memiliki beberapa memar itu menoleh, menatap keempat temannya yang sedari tadi hanya diam. "Sekarang waktunya kita berangkat untuk membereskan satu hal lagi." Ada tatapan kebencian di sana, juga kemarahan yang berkobar sangat besar. Melangkah pasti, ia pergi meninggalkan cafe bersama keempat temannya. Menyisakan Driyan di mana ia sudah meminta bantuan Agus untuk mengobati luka akibat pukulannya.


🌵🌵🌵


Deru bising knalpot yang digeber menandakan sebuah balapan telah usai. Satu pemenang telah tercetus di mana nama Aldrift digaungkan begitu keras.


Melepas helm, menuruni motor dan mendekati musuhnya yang masih dalam keadaan kesal karena berhasil ia kalahkan.


Ditariknya kerah sang lawan, memberikan pukulan bertubi-tubi pada wajah itu sampai babak belur dan berdarah. Mendekatkan wajah, Aldrift berbisik sembari mendesis. "Jika kau ingin menjadi manusia tidak berguna, jangan pernah menyeret orang lain di kehidupanmu yang tidak ada artinya itu." Dilepaskannya kasar dengan pandangan kebencian.


"Sialan. Awas kau!" Teriakan itu mengiringi langkahnya yang berlalu. Tak peduli, ia pergi begitu saja dari arena balap. Melemparkan kunci motor sang lawan pada salah satu sahabatnya karena itu adalah barang taruhan dari balapan ini.


Sayangnya, suara sirene polisi membuat semua kalang kabut. Ingin berlari, namun Aldrift dan beberapa temannya berhasil tertangkap. Apa yang akan terjadi setelah ini?



🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🌵🌵🌵🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️


🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🌵🌵🌵🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hallo hai semua

Bagaimana kabar kalian?

Semoga sehat, ya
🤗🤗🤗🤗🤗


Unexpected DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang