🐿️ Part 14 🐿️

92 22 0
                                    

Unexpected Destiny

Part 14

🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🌵🌵🌵🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️



Aldrift menuruni mobil dengan perasaan bahagia. Dinginnya malam tak mampu meleburkan perasaan hangat yang baru saja ia dapat. Gelora yang meletup-letup dalam dada semakin membuncah, teringat sebuah pipi yang merona karena ungkapan cinta.

Ia bukan lelaki kemarin sore. Tak perlu menawarkan sebuah perasaan, karena yang ia ungkapkan adalah pernyataan. Memastikan bahwa dirinya kelas bisa menggenggam tangan di jalan halal.

Langkahnya terasa ringan memasuki kediaman Gautama. Tak biasanya yang merasa malas, kini laki-laki dengan luka di kepala itu berjalan penuh semangat. Tak memedulikan denyutan nyeri yang kadang kala singgah di kepala.

Bibir sedari tadi tak bisa diam, melantunkan senandung bertema cinta. Merentangkan tangan penuh suka cita, menyentuh halus pinggiran sofa di ruang utama.

Langkah sempat terhenti, memandang tiga orang yang saling duduk berbicara di ruang samping, tepatnya area kolam. Mereka adalah papa dan kakaknya. Sedangkan yang satu lagi, Aldrift merasa tidak kenal. Lagi pun, orang itu duduk membelakangi sehingga dirinya tak dapat melihat wajah si pemilik daksa.

Mengedikkan bahu, Aldrift kembali melanjutkan langkah, memasuki ruang keluarga untuk mecari sang mama. Tepat di sofa panjang, perempuan dengan dress hitam selutut tampak duduk elegan menonton televisi.

"Ma," panggilnya. Aldrift mempercepat langkah.

"Ya." Ia segera menerbitkan senyum saat sang mama menoleh. Namun, setelahnya bergidik saat mata berhias maskara itu melotot ke arahnya.

Istri papanya itu bangun dengan tiba-tiba. "Aldrift. Kamu kenapa, Sayang?" Tangan yang terangkat itu ia gapai, lalu mengikuti saat dirinya ditarik pelan untuk duduk.

"Kamu habis kecelakaan? Kok diperban gini?" Tangan yang selalu membelai pipinya sayang, kini begitu pelan meneliti luka di kepala.

Aldrift tersenyum, memperlihatkan bahwa dirinya tidak apa-apa. "Ada insiden tadi, Ma. Beranten sedikit," ucapnya dengan menyatukan jari telunjuk dan ibu jari mengisyaratkan kata sedikit.

Kali ini, iris yang tadi menatap khawatir berubah menjadi garang. Akan tetatapi, sebelum dimarahi Aldrift terlebih dulu menjelaskan. "Bukan beranten asal, Ma. Tadi nolongin orang dijalan. Karena main keroyokan, Al kena pukulan di kepala. Tapi udah nggak papa kok, Ma."

"Ya Tuhan. Lain kali hati-hati dong, Sayang. Kalau Papa lihat pasti kamu kena marah lagi."

Aldrift mengangkat jari telunjuknya di depan bibir. "Jangan bilang sama Papa, Ma." Hanya helaan napas dalam yang terdengar dari sang mama. "Ma. Al mau ngomong."

Kerutan kecil tercipta di kening perempuan yang telah melahirkannya. Aldrift tersenyum, ia meraih dan menggenggam tangan halus ke dalam pangkuannya. "Ada seorang gadis. Dia cantik sekali. Dan Al mencintainya." laki-laki yang masih memiliki jejak darah di baju mengelus tangan mamanya.

Seulas senyum ia lihat pada wajah menenangkan di hadapannya. Perasaan bahagia muncul kala mendapati respon itu. "Apa?" Namun, kekhawatiran melanda kala suara tegas mulai terdengar.

Aldrift menoleh, menatap papanya yang selalu diikuti sang kakak. Meski keduanya makam ini hanya mengenakan pakaian rumah biasa, ia akui auranya memang selalu berwibawa. Hanya saja, tidak pernah ia akui hal itu di depan mereka secara langsung.

Al hanya diam ketika sang papa mendekat, berdiri dengan melipat tangan di depan dada. "Kamu menyukai anak gadis orang?" Pertanyaan itu jelas sebuah ejekan untuknya. Lihatlah sang papa yang kini tertawa lebar.

Unexpected DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang