🐿️ part 3 🐿️

195 34 0
                                        

Part 3


Terbiasa dengan kehidupan yang kita miliki, terkadang membuat diri lupa bahwa masih banyak di luar sana yang jauh lebih kurang dari kita. Hanya saja, mereka menutupnya dengan senyuman.


🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🌵🌵🌵🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️



Tubuhnya masih tidak bergerak sedikit pun, pandangan tertuju pada sosok perempuan berhijab yang kini tampak kembali melihat dirinya. Bahkan, ia yang tadi sempat marah-marah kini hanya bisa mengatupkan bibir, tanpa ada satu kata pun yang terucap. Tatapan yang ia dapat dari perempuan berpipi chubby ini seolah membius, membekukan seluruh syaraf. Semilir angin yang menerbangkan kerudung itu, membuat Aldrift dapat mencium aroma mawar dari sana. Mata tajam itu kini terpejam, menikmati wangi yang masuk dalam Indera penciuman. Ya Tuhan. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Ada apa, ya?" Suara lembut itu kembali terdengar, segeralah Aldrift membuka mata. Menatap perempuan berhijab di depannya dengan senyum merekah. Ia mengalihkan pandangan pada anak-anak yang sebelumnya dimarahi, lalu berdehem untuk mengembalikan kesadaran yang dimiliki.

Tangan Aldrift terangkat, menunjuk satu persatu anak jalanan yang kini juga menatap dirinya polos. "Mereka. Mereka sedang mencuri di mobil ini. Untung saja aku memergokinya. Kalau tidak, mungkin semua barang yang ada di dalam mobil sudah raib mereka bawa." Pemuda itu bangga akan dirinya yang baru saja menangkap maling itu beralih menunjuk barang-barang di dalam mobil, lalu menatap perempuan manis yang ada di hadapannya.

"Apa kamu pemilik mobil ini?" tanyanya kemudian. Aldrift mengembangkan senyum kala perempuan di hadapannya mengangguk, merasa bangga dengan apa yang baru saja ia lakukan. Merasa menjadi penyelamat barang-barang milik perempuan yang baru saja ia temui. "Ah, untung saja aku menghentikan mereka."

Senyum manis yang didapat membuat Aldrift membusungkan dada, pasti setelah ini ia akan mendapat pujian. "Tapi mereka tidak mencuri. Mereka hanya membantuku untuk mengangkat buku-buku dan makanan untuk sekolah mereka nanti." Bagai jatuh tersungkur ke tana, dan dalam posisi memalukan, itulah keadaannya saat ini. Hanya menampakkan senyum canggung karena telah salah sangka pada anak-anak jalanan ini.

Namun, Aldrift berusaha mengenyahkan perasaan itu. Jangan salahkan dia yang berprasangka demikian melihat gelagat mereka. Berdehem sebentar, ia menatap perempuan dengan tas kecil di pundaknya sekilas, lalu menatap anak-anak jalanan yang sebelumnya sempat ia marahi. "Maafkan kakak, ya. Kakak tidak tahu. Maaf." Dia menatap kelima bocah itu penuh sesal, merasa bersalah akan tuduhan yang telah ia berikan pada mereka.

Kelima bocah itu mengangguk. "Iya, Kak." Senyum terbit di wajah Aldrift, merasa bersyukur jika anak jalanan itu mau memaafkannya.

Pemuda bermata sipit itu kembali mengalihkan pandangan pada perempuan yang masih berdiri dengan jarak dua meter darinya. "Maaf," ucapnya. Perempuan itu hanya mengangguk dan tersenyum singkat.

"Ayo anak-anak, segera dibawa bukunya. Yang lain sudah menunggu." Aldrift memperhatikan perempuan yang belum ia ketahui namanya itu menginstruksi kegiatan anak-anak yang sempat ia hentikan dengan tuduhannya pun kembali berlanjut.

“Kak Kay baru saja membeli permen kopi, ya?” Seorang anak perempuan yang memakai baju warna merah muda yang sudah tampak pudar bertanya pada perempuan itu, dengan ramah pertanyaannya dijawab.

Satu kata yang berhasil menarik perhatian Aldrift. Kay? Namanya Kay? Seperti Key di mana bisa diartikan sebagai kunci. Kunci hatinya.

Unexpected DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang