🐿️ Part 7 🐿️

109 29 0
                                    

Unexpected Destiny

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Unexpected Destiny

Part 7

🐿🐿🐿🐿🐿🌵🌵🌵🐿🐿🐿🐿🐿

Aldrift memarkirkan motornya tepat di samping mobil yang ditumpangi kedua orang tuanya. Saat ia melepas helmnya, pasangan paruh baya yang telah merawatnya itu sudah tidak ada lagi di dalam mobil. Sepertinya tengah menunggu dirinya di dalam.

Mengembuskan napas berat karena tahu akan apa yang terjadi nanti, Aldrift melangkah menuju pintu kediaman Gautama. Benar saja, ketika ia memasuki rumah, tiga orang sudah duduk di ruang tamu menunggunya.

"Lihat itu. Anak berandalan yang baru saja memberikan masalah." Belum dua langkah ia memasuki ruang tamu, cibiran sudah kembali ia dapat.

"Pa, sudah. Biarkan Al istirahat dulu. Dia belum makan." Sang mama bangkit mendekatinya, memegang kedua bahu lalu menuntunnya melewati ruang tamu.

"Ya seperti itu kamu." Ucapan sang papa kembali terdengar. "Selalu saja membela anak tidak berguna ini. Akhirnya ... dia semakin membangkang, semakin membuat masalah." Kedua telapak tangan Aldrift mengepal di kedua sisi, melampiaskan gemuruh kemarahan yang tercipta di sudut hatinya. Hanya memandang tanpa melakukan apa-apa pada sosok laki-laki berusia kepala empat yang bangkit lalu keluar dari rumah.

"Sudah. Jangan kamu masukkan hati ucapan Papa." Aldrift mengalihkan pandangan, menatap wajah teduh sang mama yang kini tinggi badannya berada di bawahnya. "Lebih baik kamu mandi biar Mama siapkan sarapan untuk kamu." Aldrift mengangguk, ia melemparkan senyum tipis pada perempuan yang berlalu ke arah dapur.

Pandangannya bertemu dengan sang kakak laki-laki, menatap mimik wajah yang memandangnya iba. Sungguh. Ia benci tatapan itu, tak suka dikasihani. Tanpa kata, tubuh lelah itu pergi dari ruang tamu. Tak peduli jika Lucas ingin mengatakan sesuatu.

Kaki jenjangnya menapaki anak tangga satu persatu, berjalan lesu menuju kamarnya di lantai dua. Dibukanya pintu ruangan yang semalam tak ia masuki karena harus menginap di hotel jeruji besi, menghempaskan tubuhnya pada ranjang empuk yang selama ini menemani lelahnya.

Aldrift mengangkat tangan untuk menutupi mata dengan lengan. Di balik benak sana berkecamuk dengan segala rentetan kata pedas yang kembali didapat dari papanya. Bohong jika Aldrift tidak memikirkan itu semua. Meski itu adalah hal yang biasa baginya, tetap saja hatinya tak dapat menampik rasa sakit yang diakibatkan sebuah cemoohan dari seseorang yang sangat ia hormati.

Ponsel pada saku berdering, memaksa Aldrift untuk bangun dari baringnya. Meraih benda persegi dari saku celana, menatap layar yang menampilkan nama Driyan di sana.

Ah, ya. Mengapa ia bisa lupa jika ada janji dengan sahabatnya itu? Digesernya ke atas tombol berwarna hijau dan menerima panggilan. "Ya, Driyan." Ia mendengarkan dengan saksama suara sang sahabat yang ada di seberang sana."

Unexpected DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang