Part 12

8.6K 797 2
                                    

Marie terkejut saat menemukan Wilhelmine di kursi yang berada di pojok dapur—sedang membaca buku yang sejak tadi pagi dibacanya. Marie mendekati majikannya dengan langkah lambat.

"Your Grace? Apa yang sedang lady lakukan disini?" tanyanya pelan. 

"Ah, Marie. Aku sangat bosan berada di kastil, aku tidak tau harus melakukan apa selain membaca buku ini." Wilhelmine menutup buku bersampul hijau tua miliknya, sebelumnya ia melipat salah satu halaman buku sebagai penanda. Marie mengangguk paham maksud sang Duchess. Dirinya beranjak pergi meninggalkan Wilhelmine dengan sopan.

"Kau akan pergi, Marie? Ayolah, temani aku disini," Marie memutar balik badan pendeknya, menatap Wilhelmine dengan bingung. Mengapa seorang bangsawan seperti Wilhelmine ingin ditemani oleh seorang tukang masak yang bekerja di kastil suaminya? 

Wilhelmine tersenyum.

"Silahkan duduk, Marie. Meja ini mempunyai dua kursi," Marie tersenyum pendek—namun tulus. Dirinya melangkah—kini dengan pasti—ke arah Wilhelmine yang tidak terlalu jauh dari tempat ia berdiri.  

"Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Marie," Wilhelmine bertanya dengan sopan. Alis Marie terangkat,

"Selama aku tahu jawabannya, Your Grace. Dengan senang hati aku akan menjawab."

"Kau pasti akan tahu ini. Kupikir kau bekerja untuknya selama bertahun-tahun," Wilhelmine mengaitkan tangannya dengan erat, menggerakkan tubuhnya sedikit ke depan. Membawa Marie ke dalam kebingungan.

"Dia? Siapa dia dalam situasi ini, Your Grace?"

"Duke of Wellington," Wilhelmine menjawab singkat dan tersenyum.

"Aku bekerja untuknya selama 25 tahun, Your Grace. Mungkin, Your Grace bisa bertanya pada Fitzjames, untuk mengetahui lebih baik dan mendetail tentang His Grace." Marie menjelaskan dengan cepat tapi jelas.

"Yah, rupanya Fitzjames sedang sibuk sekarang." Wilhelmine berbohong. Dia melihat Fitzjames di taman tadi, berbicara dengan Jacob. Dia hanya ingin mendapatkan informasi tentang suaminya dari Marie.

"Apa hal yang ingin diketahui Your Grace tentang Duke Wellington?"

"Apakah orang tuanya masih hidup?" Wilhelmine mengarahkan tubuhnya ke arah Marie yang mulai menjelaskan semuanya.

"Baiklah, Your Grace.."

Kemudian mereka berbicara seolah tidak tahu jam berapa. Mereka berbicara seolah-olah mereka adalah teman baik sejak dalam kandungan ibu mereka. Mereka berbicara tentang yang buruk dan baik tetapi sebagian besar kekejaman dari suami Wilhelmine, Duke Wellington.

******

Tak banyak urusan yang ada di Istana membuatku pulang sedikit cepat dari waktu biasanya. Raja George mengingatkan ku tentang perpindahan ke Virginia—membuatku pusing. Istri—yang belum sah secara ranjang—bersikap sama denganku, dingin. Tapi aku tidak peduli. Lagipula aku disana untuk bekerja, bukan untuk berbulan madu dengannya. Kastil kakek akan kutinggalkan lagi. Aku tidak terlalu antusias untuk tugas dinas ku yang satu ini. 

Ketika aku melangkah masuk, tidak ada orang yang lalung-lalang. Aku baru menyadari bahwa setiap kali aku meninggalkan kastil untuk bekerja, aku juga meninggalkan kastil kakek dengan suasana yang sangat sepi—layaknya kuburan. Mana Wilhelmine? Apakah dia pergi?

Aku menuju ruang kerja ku. Kepalaku sangat pusing, mungkin karena pengaruh wiski yang kuteguk terlalu banyak kemarin malam. Saat ingin memasuki ruang kerja, aku mendengar ada perbincangan. Berasal dari bawah. Sepertinya dari dapur. Mungkin terdengar sampai ke telingaku karena suasana sunyi. Dan, ah, pasti itu wanita-wanita tua yang tidak mau bekerja. 

Namun, sesuatu menahanku untuk memasuki ruang kerja dan tidak memperdulikan perbincangan itu. Suara salah satu dari mereka terdengar sangat lembut—berbeda dengan suara pelayan-pelayan yang setiap hari mengucapkan terima kasih padaku. Perasaan aneh juga muncul dalam pikiranku. Mengapa mereka tidak berhenti berbicara ketika mendengar suara sepatu bootku yang kuat ini? Aku tidak bisa menahan kakiku untuk turun ke arah dapur. 

"Jadi dia punya seorang kakak perempuan? Apakah dia sudah menikah?" suara lembut itu menanyakan sesuatu. Aku tau suara ini milik siapa—Wilhelmine. Siapa yang ia maksud? Apakah aku? Tidak, tidak mungkin Wilhelmine dan siapapun itu yang ia ajak bicara, membicarakan tentangku. Aku sudah yakin jika Wilhelmine sangat membenciku. 

"Ya, Your Grace. Nama kakak perempuan Duke Wellington adalah Lady Sophia Elizabeth Byron," aku tercekat. Kaki dan seluruh tubuhku berhenti di tempat. Mendengarkan apa yang mereka bicarakan tentang diriku, walaupun sebenarnya aku tidak terlalu peduli. 

"Lady Sophia sudah menikah, Your Grace. Dengan bangsawan Italia," Watson. Suara itu milik Marie Watson. Pengasuh dan pelayan keluargaku sejak—hanya Tuhan yang tau—berapa lama. Tapi pastinya cukup lama untuk mengetahui semua dan memberi taunya kepada Wilhelmine. 

"Pernikahan mereka ditentang oleh keluarga Duke Wellington, Your Grace. Itu sebabnya, Duke Wellington tidak pernah menemui Lady Sophia sejak bertahun-tahun lamanya." Dasar Watson. Aku baru menemui Sophia pada akhir tahun lalu. Tampaknya dia tidak tau semua tentang keluargaku. Sepertinya aku harus memberhentikan percakapan omong kosong mereka dan memberi tau Wilhelmine tentang tugas dinas ku di Virginia, yang melibatkannya juga. 

Waktu yang tepat, Hund datang dan mengonggong kepadaku. 

Wilhelmine keluar dari dapur dan melihatku. Aku juga melihatnya. Dia seketika berubah menjadi dingin, dengan mimik wajah yang menunjukkan bahwa dia tidak peduli denganku. Sama seperti perasaanku dengannya. Watson juga turut keluar setelah mengetahui dan menyadari bahwa sejak tadi aku berdiri di sini, mendengarkan mereka membicarakan tentang kakak perempuanku. 

"Saya undur diri Your Grace," ujar Marie menundukkan kepalanya. Pada awalnya,  aku tidak mengerti mengapa dia begitu takut kepadaku dan selalu bersikap seperti aku adalah mahkluk yang paling ditakuti di seluruh dunia. Namun, lambat laun diriku mulai menyenangi dan menghargai perasaan semua orang terhadapku—terutama pelayan-pelayan—yaitu perasaan takut.

"Bukankah harusnya anda bekerja di ruang kerja anda, Your Grace?"  Pendengaranku bisa merasakan adanya nada sarkasme dalam pertanyaan tak tulus Wilhelmine. Aku melayangkan pandangan dinginku kepadanya.

"Bersiap. Kita pindah ke Virginia minggu depan." Tipikal diriku, aku kembali ke ruang kerja tanpa memedulikan reaksi ataupun tanggapan Wilhelmine tentang berita yang mungkin mengejutkannya itu. 







Duke and Duchess of WellingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang