Part 23

8.7K 762 18
                                    

*******

Wilhelmine menyuap croissant terakhir ke dalam mulutnya tanpa sedikit pun menoleh ke arah hidangan yang tengah di santapnya sebagai sarapan pagi itu. Mata birunya tengah fokus membaca cerita Love Story, cerita yang terpotong karena kalimat nakal–―menjijikkan bagi Wilhelmine–―yang diucapkan Duke Wellington kemarin malam. Kalimat itu merusak suasana hati Wilhelmine hingga sekarang. Juga sesekali tangannya memijat punggungnya yang terasa sakit, disebabkan oleh kursi yang sangat tak empuk yang menjadi alas tidurnya malam kemarin.

Sepatu Caroline terdengar, ia sedang berjalan ke arah ruang makan, membawa teko yang berisi teh untuk diminum majikannya. Wilhelmine tersenyum dan menoleh dari novel yang di bacanya, ke arah Caroline.

"Terimakasih, Nona Caroline."

Caroline tersenyum, menuangkan teh ke dalam cangkir putih bercorak emas yang berada di hadapan Wilhelmine. Mata coklat mudanya melirik bangku yang kosong. Mana Duke Wellington?

Pertanyaan dalam diam itu terjawab seketika, suara sepatu boot Duke Wellington yang menginjak lantai kayu bergema di seluruh rumah. Menandakan bahwa sang bos besar sudah bangun dan memulai harinya.

Wilhelmine mengangkat pandangannya dari buku, menoleh sebentar ke arah suaminya yang berdiri dengan kaku di pintu ruang makan. Wilhelmine bosan melihat raut wajah yang sama dari suaminya. Dia sudah mulai muak disuguhkan wajah kaku setiap harinya. Sementara di sisi lain, Duke Wellington tidak peduli dengan tampilan wajahnya. Sedikit pun ia tidak peduli. Yang ia pedulikan adalah tiga tujuan mulia–―yang sepertinya tidak perlu dijelaskan kembali.

"Selamat pagi, Your Grace," sapa Caroline dengan tulus. Mencoba untuk terlihat seperti pelayan yang baik di depan majikan kejamnya. Tipikal Duke Wellington, ia tidak memperdulikan perbuatan baik Caroline–―membuat pelayan muda yang polos itu mengira bahwa dirinya telah melakukan sesuatu yang salah di mata Duke Wellington. Wilhelmine tentu menyadarinya. Dan ia sudah muak akan hal ini.

"Duke Wellington, apakah kau mempunyai telinga?" Ruang makan yang tadinya hening, tambah hening ketika Wilhelmine menanyakan pertanyaan itu kepada suaminya.

"Nona Caroline tadi menyapamu. Apakah kau tidak ada niat untuk membalasnya?"

"Jangan panggil dia Nona!" Alih-alih menjawab pertanyaan Istrinya, Duke Wellington membentak Wilhelmine–―membuat Caroline kaget, hampir menumpahkan teh yang sedang dituangnya ke cangkir Duke Wellington.

"Aku akan selalu memanggilnya Nona. Dan aku tidak mau tau tentang pendapatmu atau laranganmu! Sekarang aku bertanya, apakah kau tidak ada niat untuk membalas sapaan Nona Caroline?!" Wajah Wilhelmine memerah. Duke Wellington semakin marah, mendengar ada kata Nona di kalimat Wilhelmine. Caroline, yang berada di tengah-tengah perdebatan, merasa bingung dan takut.

Apakah aku harus pergi dan membiarkan mereka berdebat berdua saja? Tidak, itu sangat tidak sopan.

"Wilhelmine, aku akan memperingatimu sekali lagi. Jangan panggil dia Nona. Jangan. Dengar kalimatku: Jangan!" Duke Wellington membentak Wilhelmine untuk kedua kalinya pagi itu–―kali ini sambil menunjuk Caroline yang sedang berdiri canggung dan merasa sangat takut.

"Dan tidak. Aku tidak akan pernah membalas sapaan seorang pelayan," Duke Wellington berdiri–―dengan kaku tentunya–―tanpa sedikitpun menyentuh sarapan yang telah dibuat untuknya.

Wilhelmine memijat pelan pelipisnya. Hebat, sekarang tidak hanya punggungnya yang terasa sakit–―kepalanya juga. Wanita itu menghembuskan nafas berat. Mengapa tiba-tiba hidupnya berantakan seperti ini? Wilhelmine kemudian melirik Caroline yang hendak pergi kembali ke dapur, lalu melirik sarapan Duke Wellington yang tak tersentuh.

Duke and Duchess of WellingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang