Part 15

8.7K 731 0
                                    

"Papa, kau tau kan bahwa aku baru saja siap berdansa dengan Adam?" Alice bertanya lembut dengan kekehan halus mengiringi pertanyaanya. Dia mengamati dua pria yang tampak tak asing dimatanya. Di hadapannya, kini berdiri seorang pria yang tersenyum, wajahnya menunjukkam bahwa ia sudah tua. Lalu di samping pria tua itu ada seorang pria yang tampaknya tidak senang berada di tempat ini.

Pria itu meminum banyak alkohol, mimik wajahnya menunjukkan ekspresi kemarahan yang tertahan. Namun, tampaknya ia sudah cukup tua. Perkiraan Alice ia sudah berumur sekitar 40 tahun.

"Adam Talbot, nikmati saja pestanya tanpa kami, anak muda. Bersenang-senanglah." Hubert dengan halus 'mengusir' Adam dari situ. Adam, yang sudah tau maksud Hubert terseyum canggung dan segera pergi.

"Alice, kau kenal mereka?" Hubert melihat ke arah Alice yang masih mengamati Henry dan Scott.

"Jika Papa mengingatkan ku akan mereka, mungkin aku akan ingat," Alice mengaku, tak mengenal mereka.

"Henry, Duke of Ireland dan Lord Scott Byron,"

"Ah, sekarang aku mengingatnya!" Alice tersenyum kecil.

Scott, masih tidak mau untuk bergabung dengan perbincangan yang sedang berlangsung tepat di depannya. Ia tidak ingin menikah, dan ia tidak ingin keinginannya di rusak oleh sang Ayah. Henry—yang cukup muak dengan sikap Scott yang menurutnya tak sopan—menarik tangan Scott, membuatnya menghadap Alice.

Mereka bertatap. Alice dan Scott. Pandangan dingin Scott bertemu dengan pandangan tajam Alice. Hati Scott harus mengakui, bahwa wanita yang didepannya ini sangat cantik.  Wig yang sederhana namun elegan dan gaun merah muda lembut yang dikenakannya, membuat Alice tampil mempesona di mata dingin Scott. Walaupun sebenarnya, Scott sangat-sangat enggan jika harus mengakui ini di depan Alice maupun semua orang.

Scott Duncan Byron, seumur hidupnya, tidak pernah sekalipun memuji wanita. Baik itu cara berpakaiannya ataupun kepribadiannya. Menurut Scott pribadi, harga dirinya akan segera merosot jika ia membiarkan bibir kaku dan dinginnya memuji wanita.

"Scott, kau mengenal Alice?" Henry menyikut tangan anaknya yang ia sudah tarik tadi.

Scott mengangguk dengan kaku, membuat Alice merasa sedikit.. aneh. Dirinya tidak pernah melihat seseorang begitu kaku. Dia juga tidak pernah melihat sesorang yang berlagak seperti tidak bisa mengangguk. Kini, baginya, Scott bukanlah sosok yang misterius namun sosok yang aneh.

"Aku harap kalian berdua bisa akrab dalam waktu yang cepat. Mengingat pernikahan kalian akan dilaksanakan tak lama lagi." Hubert mengingatkan Alice dan Scott, mendapat ekspresi terkejut dari Alice.

"Pernikahan? Secepat inikah, Papa?"

Alih-alih Hubert, sekarang Henry yang menjawab.

"Aku yakin kalian bisa mengakrabkan diri setelah menikah saja," Alice melirik Scott yang mimik wajahnya masih sama seperti tadi. Dingin, kaku, dan seperti sedang menahan amarah.

Alice tidak menolak. Tidak akan. Alice tidak menolak bukan karena tau bahwa dirinya akan menikahi Scott. Tetapi, karena ini adalah rencan yang dibuat oleh sang papa untuknya. Dirinya tidak akan mau melawan kehendak atau rencana Hubert. Dia terlalu sayang kepadanya, dan tak rela untuk berbuat seperti itu.

"Baiklah, jika Papa berkehendak dan Tuhan mengizinkan, aku tidak tau harus berbuat apa selain menuruti," Alice tersenyum pendek. Henry tersenyum puas. Dirinya sangat  beruntung mempunyai menantu seperti Alice; cantik, penurut dan murah senyum. Scott, tidak mengganti mimik wajahnya dari tadi, mengambil gelas berisi alkohol dan meneguknya. Alice meliriknya dengan pandangan yang tak bisa diartikan.

Hati kecilnya tidak ingin menikah secepat ini, dengan Scott yang dingin, kaku dan aneh. Tetapi, Alice tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti rencana dan kehendak sang ayah. Seperti pesan terakhir Elizabeth Howard, ibunya, sesaat sebelum ia meninggalkan Hubert dan Alice untuk pergi ke akhirat.

Hubert mengambil tangan Henry dan menyalamnya kuat. Sama seperti Henry, Hubert juga senang akan perjodohan ini. Dirinya bangga bisa menjadi mertua seorang anak dari Duke. Apalagi, Henry adalah salah satu kerabat dekat Raja, dan salah satu pimpinan militer terbaik, bisa membuat Hubert menjalin hubungan dengan Raja dan mungkin bisa berkunjung ke daerah koloni.

"Aku pikir bulan depan akan menjadi waktu yang sempurna untuk pernikahan kalian," Henry tersenyum.

******

"Scott, kau punya usul untuk nama bayi?" Alice mengusap-usap perutnya yang sekarang sudah besar, dan tampak seperti akan pecah kapan saja. Kehamilannya kini sudah menginjak usia 8 bulan, dokter memprediksi bahwa Alice akan melahirkan bulan depan. 

Pernikahan mereka berjalan dengan lancar dan meriah, bahkan keluarga kerajaan turut diundang. Dalam waktu 5 bulan, Alice hamil dengan anak pertama mereka. Walaupun begitu, sikap Scott tidak pernah berubah. Dingin, kaku, tak acuh selalu melekat pada diri Scott, walaupun dia sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah.

"Mengapa aku yang harus memikirkannya?" Scott menghisap cerutu favoritnya sambil membaca beberapa lembar berkas berisi tentang pengamatan perkembangan di daerah koloni Inggris. 

Alice menghembus nafasnya kesal, melihat kelakuan Scott yang bahkan tidak peduli dengan nama anaknya sendiri. 

"Bayi ini adalah anakmu, Scott. Jika kau tidak mau menamakannya, biar aku saja. Aku sangat berharap bahwa bayi ini adalah seorang laki-laki. Aku akan menamakannya Arthur," Alice tersenyum sambil mengusap perut besarnya lagi. Scott menatap istrinya dingin, mulutnya ingin mengucapkan sesuatu.

"Bagaimana jika bayinya adalah perempuan?"

*******

Scott Byron dengan enteng mengambil kursi dan duduk di depan kasur yang dimana istrinya, Alice sedang bersusah payah mengeluarkan bayi dari perutnya. Tangan Scott menulis dengan pasti, di sebuah kertas putih bersih yang nantinya ia akan kirim ke Henry, ayahnya yang sedang berada di Virginia. Dia melirik Alice yang wajahnya berkeringat, gerangan keluar dari mulutnya dan tangannya yang mencekram apapun yang ada di sekitarnya. Dokter James Fitwalter juga sedang berupaya keras untuk mengeluarkan bayi Scott dan Alice.

Scott terhentak setelah mendengar tangisan bayi. Kepalanya mendongak, melihat sang dokter yang tengah menggendong anaknya.

"Ini bayi perempuan, My Lord!" seru James dengan sedih. James juga tau bahwa Alice sangat menginginkan anak laki-laki dan sudah mempersiapkan namanya. Mendengar James berteriak, dan menangkap ada kalimat 'perempuan', wajah letih Alice berubah menjadi kecewa. Sangat kecewa. Dan Scott menyadarinya.

Ia beranjak dari kursinya dan mengambil alih gendongan bayinya dari dokter James Fitzwalter. Scott mendengar istrinya terisak kecewa, dan dirinya memutuskan untuk pergi keluar dari kamar itu. Dirinya tidak ingin melihat Alice yang kecewa menggendong bayi mereka secara terpaksa.

Malam berganti pagi, hari berganti hari, tahun berganti tahun. Scott semakin meyayangi putrinya yang ia beri nama Sophia, yang berarti bijaksana. Alice, masih memiliki perasaan kecewa, menumbuhkan hubungan yang penuh kasih sayang namun jauh, dengan Sophia.

Di masa depan, mereka benar-benar kecewa dan tidak menyetujui keputusan Sophia untuk menikahi Marco, Duca di Mantova, seorang duke dari Italia.  Meskipun begitu, Scott dan Alice setiap bulan mengunjungi Roma untuk memaksa Sophia menceraikan Marco. Mereka bahkan melewatkan upacara pernikahan putra mereka, Arthur, Duke of Wellington dengan putri Wilhelmine dari Mecklenburg-Schwerin, karena kunjungan bulanan ke kastil Sophia di Roma.

Duke and Duchess of WellingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang