Part 21

8.3K 829 26
                                        


"Kau.. cantik," puji Isabella dengan nada terpaksa. Dia tidak mau ada wanita yang menurutnya lebih cantik daripada dirinya sendiri. Dia benci tua, dia benci wanita yang terlihat muda. Semua mata sedang tertuju kearah Isabella dan Wilhelmine. Tidak ada suara sedikit pun dalam ruangan luas itu.

Melissa semakin memperkuat kepalan tangannya, dia merasa bahwa Wilhelmine direndahkan. Dan dia tidak terima akan itu. Abigail berkeringat panik melihat Isabella. Dia hanya berani membicarakannya, namun jika harus berhadapan dengan Isabella, dia tidak berani. Sedangkan Wilhelmine hanya membalas pujian paksa Isabella dengan senyuman–―sebuah senyuman tulus.

John, yang menyadari nada terpaksa pada istrinya, segera melakukan sesuatu.

"Tapi dia tidak secantik dirimu, sayangku," Pria tua itu menarik Isabella dalam pelukan, lalu mencium bibirnya. Sangat berlebihan. Ludah dimana-mana.

Abigail memalingkan wajahnya. Dia merasa jijik. Seumur hidupnya, Abigail tidak pernah menyaksikan sebuah ciuman seperti itu.

Sedangkan Wilhelmine sangat tersinggung dengan ucapan Duke of Warwick. John baru saja merendahkannya. Emosi Wilhelmine meletup. Pandangan berapi-apinya ditujukan kepada pasangan yang sedang menjilat wajah satu sama lain di depan banyak orang.

Duke Wellington yang menyadari ada kemarahan dalam diri Wilhelmine segera menuju tempat istrinya sedang berdiri.

Aku tidak mau kehilangan jabatanku hanya karena seorang wanita yang tidak mau menahan emosinya.

Duke Wellington melingkarkan tangan kaku dan kekarnya di pinggang ramping Wilhelmine. Istrinya tentu terkejut akan hal ini, namun sayang, emosinya tidak bisa diberhentikan hanya oleh karena tangan kekar dan kaku suaminya yang dilingkarkan di pinggangnya.

"Bisa kau ulang kalimatmu, Your Gr-,"

"Bagaimana kabar anda, Your Grace?" Wilhelmine menatap Duke Wellington tak percaya. Suaminya baru saja memotong kalimatnya. Duke Wellington tersenyum kaku ke arah pasangan yang masih saja menjilati wajah satu sama lain itu.

"Duke Wellington! Sejak kapan kau ada di sini?" Isabella menghentikan ciumannya dengan John ketika melihat Duke Wellington berdiri di samping Wilhelmine. Di sisi lain Abigail menghela nafas, akhirnya scene yang sangat tidak nyaman untuk disaksikan, berhenti juga.

"Ah, kalian tidak melihatku berjalan ke sini tadi,"

"Sepertinya begitu. Kabar kami baik. Kami hanya berbincang dengan istrimu tadi. Dia cantik, kuakui," John melirik istrinya yang memasang wajah kesal seperti tadi. Wilhelmine menggeram dalam hati, dia akan direndahkan lagi. Duke Wellington melirik istrinya. Wajah putih bersih Wilhelmine kini dihiasi dengan rona merah–―menandakan bahwa ia sedang sangat marah.

"Tapi tentu tidak secantik istriku," timpal John lantas tertawa bersama Isabella.

Melissa yang melihat ini semakin mengepalkan tangannya, hingga harus di tahan oleh Abigail yang berada di sampingnya. Wilhelmine, di sisi lain, semakin tidak tahan berhadapan dengan dua pasangan palsu yang ada di hadapannya.

Duke Wellington mempererat tangannya di pinggang Wilhelmine, mengkode Wilhelmine agar tidak meluapkan seluruh emosinya kepada Duke and Duchess of Warwick. Wilhelmine, yang mengerti maksud dari kode tersebut, menatap kesal Duke Wellington.

Wilhelmine sadar, perbuatan Duke Wellington yang seperti ini–―pura-pura baik, tersenyum palsu, bersikap sopan–―itu karena mempunyai hubungan dengan pekerjaannya. Ia melirik tangan kaku dan kekar milik suaminya yang sedang terletak di pinggang rampingnya, lalu memutar kedua bola matanya kesal.

"Bagaimana kalau kita berdansa?" Setelah tertawa panjang, John bertanya. Isabella menoleh ke arah Duke Wellington dengan tolehan menggoda. Sayang bagi Isabella, Duke Wellington bahkan tidak memperdulikan istrinya, bagaimana ia bisa tergoda oleh perempuan lain?

Wilhelmine tersenyum mendengar ajakan Duke of Warwick. Senyuman Wilhelmine membuat Isabella mendengus kesal. Lalu Isabella tersenyum licik. Ia menemukan mangsa barunya–―Duke of Wellington.

"Duke Wellington, mari kita berdansa," Isabella tersenyum, mencoba menggoda pria kaku yang di depannya.

Wilhelmine tertawa dalam hati. Bagaimana mungkin suaminya itu menerima ajakan Isabella? Wilhelmine bahkan ragu jika suaminya bisa berdansa.

"Aku sedang tidak dalam suasana hati untuk berdansa, Your Grace," Duke Wellington menatap dingin Isabella yang sedang menggodanya. 'Perempuan murahan,' batinnya.

John dan Isabella yang mendengar itu merasa tersinggung. Mereka tidak pernah ditolak saat mengajak orang lain untuk berdansa. Semua orang yang ada di pesta itu–―yang sedang mendengarkan mereka–―mulai berbisik-bisik. Sebagian lagi menertawakan Isabella dalam diam.

"Apa maksudmu, Duke Wellington? Apa kau baru saja menolak permintaan Istriku?" tanya John menyinggung Duke Wellington. John melirik ke Wilhelmine.

"Baiklah, jika suamimu tidak mau berdansa, maukah kau berdansa denganku, Duchess?" Isabella menatap tak percaya kepada John. Lalu menatap Wilhelmine dengan tatapan benci dan dendam. Bagaimana bisa suaminya mengajak wanita lain untuk berdansa? John tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Apakah dia secantik itu? tanya Isabella dalam hati.

"Tidak, John. Kau hanya akan berdansa denganku!" seru Isabella mempermalukan dirinya sendiri. Semua orang di pesta itu semakin berbisik–―membicarakan Isabella yang kian lama tidak tau diri.

Wilhelmine melirik Duke Wellington. Melirik dengan kesal.

Apakah dia gila? Dia yang tidak mau jabatannya hilang, lalu mengapa dia menolak tawaran dansa dari istri seseorang yang sangat berpengaruh terhadap jabatannya?

"Mari kita berdansa," ujar Wilhelmine. Membuat semua perhatian kepadanya.

"Dengan pasangan masing-masing,"lanjut Wilhelmine sebelum dipotong oleh Isabella. Duke Wellington membuka mulut, ingin mengucapkan protes terhadap usul istrinya.

"Tidak, aku tid-,"

Wilhelmine mencubit kuat tangan Duke Wellington, sambil tersenyum palsu ke arahnya. Duke Wellington yang mengerti kode ini, mendengus marah.

"Ayo, semua! Kita berdansa!" Pemain musik lalu memainkan alat mereka setelah mendengar instruksi dari Duchess of Wellington. Semua orang mengambil pasangan masing-masing, berdansa dengan riang. Melissa, yang selama ini geram, langsung terhibur ketika mendengar musik dan berlari menghampir David, suaminya untuk berdansa.

Di sisi lain, Duke Wellington yang sedang berdansa dengan istrinya, memarahi Wilhelmine karena sudah membuatnya berdansa.

"Mengapa kau mengusulkan untuk berdansa?!" bisiknya dengan nada tinggi.

Mata biru Wilhelmine bertemu dengan mata hijau Duke Wellington. "Apa maumu sebenarnya? Kau yang memulai semua ini. Lalu kau hampir saja mengacaukannya!"

Duke Wellington menarik pandangannya dari mata biru Wilhelmine. Dia tidak bisa menatapnya lama-lama. Alih-alih tidak menatap wajah istrinya lagi, pandangannya jatuh ke bibir merah Wilhelmine.

Sial.

Bibir merah itu sangat menggoda. Ingin rasanya Duke Wellington mengecup bibir istrinya selama yang dia mau. Namun, mungkin ia bisa mendapat tamparan dari Wilhelmine yang bahkan tidak mau sekamar dengannya.

Duke and Duchess of WellingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang