Part 19

8.5K 748 29
                                    

"Hund! Hund? Hund!?" Suara berat itu menggelegar di rumah besar yang ada di Virginia itu.

Ya, suara berat itu milik Duke Wellington. Pria kaku, keji dan dingin itu kini tengah mencari keberadaan anjing tersayangnya yang hilang seperti ditelan bumi. Bukan hanya anjing, istrinya juga hilang. Namun, saat ini ia hanya ingin mencari anjingnya, Hund.

Dibelakang Duke Wellington terdapat seorang wanita muda berpakaian sederhana-sangat sederhana-seperti seorang pelayan yang baik. Nama wanita muda itu adalah Caroline Ann Addington, yang direkrut Duke Wellington pagi ini untuk menjadi juru masak bagi dirinya dan istrinya, Wilhelmine untuk setahun.

Caroline, yang baru pertama kali bekerja merasa sangat gugup pada hari pertamanya. Ia sangat berharap bahwa nanti istri dari Duke Wellington memiliki sikap yang rendah hati dan tidak sombong. Caroline sangat tidak mau mendapat majikan yang sama dengan kakaknya-Barbara-yang melayani bangsawan keji dan sombong.

*****

Mata Wilhelmine terbuka lebar, cahaya menyapa pupil mata birunya. Ia meraba sampingnya, Hund menggeliat ketika tangan Wilhelmine menyentuh kepalanya. Wilhelmine tersenyum.

"Apa yang kau lakukan di kamar pelayan hina ini?" Suara itu mengejutkannya. Suara dari orang yang saat ini paling tidak disukainya. Duke Wellington, suaminya.

Wilhelmine segera mendudukkan badannya tegak, di kasur kecil itu. Caroline melihatnya, begitu juga Wilhelmine. Mereka bertatap, sampai Caroline menundukkan kepalanya. Ia merasa tidak layak bertatap mata begitu lama dengan seorang putri.

Wilhelmine berdiri, tidak memedulikan Duke Wellington yang menunggu pertanyaannya agar dijawab. Ia beralih kepada Caroline, tersenyum manis ke arah pelayan muda itu. Caroline menengadah secara perlahan, kembali menatap mata biru istri dari Duke Wellington.

"Selamat pagi. Siapa namamu, Nona?" sapa Wilhelmine ramah.

"Nama-"

"Jangan panggil dia Nona. Dia hanya seorang pelayan hina," Duke Wellington memotong perkenalan Caroline dengan kalimat yang sangat tidak sopan, dan menghina-masih tidak melihat Wilhelmine maupun Caroline. Caroline tidak marah, dia tidak bisa marah, dia tidak layak marah. Caroline hanya bisa menundukkan kepalanya seperti semula tadi, namun kali ini lebih dalam.

"Siapa namamu tadi, Nona?" Wilhelmine tersenyum kembali, sangat tidak memperdulikan kalimat larangan suaminya.

"Ca-"

"Ini kamarmu, Addington. Jangan pernah berbicara dengan kami, jika itu tidak berkaitan dengan kelangsungan hidup kami berdua," Untuk kedua kalinya, Duke Wellington memotong perkenalan diri seorang Caroline dengan kalimat kasar dan hina.

Dan untuk kedua kalinya juga, Caroline tidak bisa marah dan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap hinaan yang dibuat oleh majikan barunya yang sangat kejam dan kaku. Wilhelmine geram dengan sikap Duke Wellington yang diluar batas, namun agar terlihat seperti istri yang baik, ia menahan kemarahan dan emosinya.

"Cepat masukkan barang-barangmu dan jangan sampai kami menunggu lama agar sarapan kami dibuat," ucap Duke Wellington dengan dingin dan dengan nada keji yang dalam, sampai Caroline merinding mendengarnya. Duke Wellington membalikkan badannya yang tinggi dan yang kaku, dalam hitungan detik. Tidak memperdulikan kedua wanita yang ada di dekatnya.

Wilhelmine melirik Duke Wellington yang sudah beranjak dari depan kamar sekilas, lalu menoleh ke Caroline yang masih menunduk. Wilhelmine tidak bisa merasakan perasaan malu dan hina yang di rasakan Caroline sekarang. Dan lebih parahnya, Wilhelmine tidak akan pernah bisa merasakan perasaan tidak mampu membalas, yang ada pada diri Caroline.

"Hei, jangan tundukkan kepalamu, Nona. Angkat dagumu dan katakan dengan berani siapa namamu," ujar Wilhelmine sambil mengangkat dagu Caroline agar tidak menundukkan kepalanya lagi. Caroline yang sekarang sudah menatap jelas wajah cantik Wilhelmine, tersenyum kecil sambil membisikkan namanya.

"Caroline Addington, Your Grace," Wilhelmine tersenyum manis.

"Nama mu begitu indah, Caroline. Aku-"

"Putri Wilhelmine, jangan bicara dengannya dan ikut aku. Ini perintah." Duke Wellington mengucapkan kalimat yang mengagetkan Wilhelmine dan Caroline, dengan nada tinggi. Wilhelmine menoleh ke belakang, Caroline kembali menundukkan kepalanya. Kali ini ia benar-benar takut dengan Duke Wellington.

"Kita bisa berbicara nanti, Nona Caroline. Dan jangan lupa untuk menatap tegak dan lurus," dengan itu Wilhelmine pergi dari hadapan Caroline, berjalan mengikuti Duke Wellington yang menunggunya di ujung lorong.

Pelayan baru itu memasukkan barang-barang yang ia bawa dari panti asuhan, ke kamar sempit yang tadi pagi baru ditiduri oleh majikannya, Wilhelmine, Duchess of Wellington. Caroline terduduk, tangannya memangku kepalanya. Ada beribu pertanyaan yang menyangkut di benaknya. Mengapa sikap Duke Wellington dan Wilhelmine sangat berbanding terbalik? Apakah pernikahan mereka baik-baik saja? Apakah mereka sudah mempunyai buah hati? Oh, dan sudah jam berapa sekarang?

Caroline heran mengapa ia menanyakan jam kepada dirinya sendiri. Apakah tadi Duke Wellington menyuruhku untuk melakukan sesuatu? tanya Caroline pada dirinya.

Astaga, aku harus memasak sarapan secepatnya! Caroline berdiri dan segera keluar kamarnya menuju dapur, tidak membereskan barang bawaannya terlebih dahulu.

*******

Saat keluar dari bak mandi, Wilhelmine mencium bau hidangan lezat. Membuatnya dengan cepat, berjalan ke arah ruang ganti dan memakai gaun yang ia bawa dari Inggris bersamanya. Gaun yang Wilhelmine pilih hari ini sederhana. Gaun putih polos dengan tambahan selendang merah untuk memperlengkap penampilannya hari ini. Wilhelmine terlihat sangat sangat cantik, seperti biasanya.

Wilhelmine melangkah keluar kamar, menyusuri lorong panjang, melewati ruang tamu dan akhirnya sampai di ruang makan. Ruang makan di rumah baru mereka sangat sederhana, layaknya ruang makan keluarga kelas menengah.

Duke Wellington yang sudah memakan sarapannya, tidak sedikitpun menatap maupun melirik istrinya, seakan-akan Wilhelmine tidak nyata di ruangan itu. Dan, Wilhelmine sudah mulai terbiasa dengan sikap suaminya, yang dimatanya sangat aneh.

Caroline datang tak lama setelah Wilhelmine datang, membawa piring berisi beberapa potong kue.

Wilhelmine tersenyum, mengambil piring dari tangan Caroline dengan sopan.

"Terima kasih, Nona Caroline," ucap Wilhelmine, seketika membuat Duke Wellington mengangkat wajahnya, menatap istrinya dengan tatapan tertajam.

"Tidakkah kau mengerti bahasa? Jangan. Panggil. Dia. Nona," Duke Wellington menekankan, masih menatap tajam mata biru istrinya. Harus diakui, bagi Duke Wellington, mata biru Wilhelmine sangat berbeda dari mata-mata biru lainnya yang ia sudah pernah lihat seumur hidupnya. Tidak tau mengapa, mata biru Wilhelmine terlihat lebih... hidup, dari mata biru milik orang lain.

Duke Wellington kembali fokus ke sarapannya, setelah menyadari ia sudah menatap mata Wilhelmine cukup lama. Mungkin, jika ia menatap lebih lama, ia akan jatuh cinta.

Dan seperti semuanya tau, Duke Wellington tidak mau mencintai apa-apa selain perang dan Tuhan. Dua hal yang sangat berbeda.

Wilhelmine memutar kedua bola matanya kesal, setelah mendengar kalimat Duke Wellington. Ia tersenyum pada Caroline sebelum pelayan baru itu pergi ke dapur, dan tidak menunjukkan wajahnya lagi pagi itu.

Duke and Duchess of WellingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang