Robert Cromwell memijat-mijat pelipisnya pagi itu, di ruangan perpustakaan Manor Wellington, dengan Wilhelmine, Duchess of Wellington yang sedang duduk di hadapannya.
"Lord Cromwell, kita harus memikirkan jalan lain. Sepertinya ada yang sesuatu yang salah dengan His Grace Duke. Pria bangsawan mana yang tidak tertarik dengan godaan seorang pelacur?" ujar Wilhelmine, memecahkan keheningan diantara dirinya dengan Robert setelah mereka berdua tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
Masih memijat pelipisnya, Robert membalas sang Duchess, "Your Grace, jika rencana pelacur ini tidak berhasil, maka satu-satunya wanita yang bisa menolong nyawa-nyawa Aborigin adalah dirimu!"
Wilhelmine menggeleng kuat dan cepat. Kebenciannya pada suaminya sendiri masih tersimpan. Kejadian kemarin malam membuat rasa hormat Wilhelmine hilang kepada Duke Wellington. Bahkan sekarang, sang Duchess tidak tahan melihat wajah sang suami sendiri.
"Kau tau aku tidak mencintainya, Lord Cromwell. Begitu juga dengan dirinya," ucap Wilhelmine mencari alasan.
Mendengar ucapan Wilhelmine membuat Robert mendesah frustrasi. Pikirannya yang biasanya dengan mudah memikirkan rencana brilian mendadak menjadi buntu.
Dalam hatinya, Robert cukup bingung akan pasangan Duke dan Duchess of Wellington. Ia tidak mengerti bagaimana Wilhelmine tidak memiliki perasaaan apapun terhadap suaminya, juga ketidakmampuannya untuk menggoda sang Duke yang notabene adalah suaminya sendiri. Bahkan pikiran Robert terkadang bertanya-tanya apakah Duke Wellington adalah seorang pria yang diam-diam homoseksual.
"Your Grace, jika hubunganmu dengan His Grace Duke terus memburuk seperti ini, nyawa-nyawa masyarakat Aborigin akan sangat terancam," Robert menatap Wilhelmine dengan raut khawatir di wajahnya, menunjukkan perasaannya terhadap masa depan bangsa Aborigin sekarang.
Wilhelmine tersadar, namun ia tidak bisa memikirkan jalan keluar apapun. Ia mengedarkan pandangannya ke ruang perpustakaan, mencoba untuk mencari inspirasi, namun nihil.
Di sisi lain, Robert mengerang—ia sudah menghabiskan beberapa menit untuk berpikir, tetapi tidak ada satupun rencana atau ide yang muncul di pikirannya. Mendengar erangan Robert yang duduk di sebrangnya, Wilhelmine tersadar bahwa pikiran mereka berdua benar-benar buntu dan sepertinya duduk berdiam di perpustakaan tidak akan membuat mereka mendapat jalan keluarnya.
"Lord Cromwell, bagaimana jika kau pulang ke rumahmu dan memikirkan solusi untuk masalah kita ini? Aku rasa Manor ini tidak akan memberi mu sedikit pun inspirasi?" saran Wilhelmine yang ditanggapi anggukan oleh Robert.
"Ya, aku pikir aku harus melakukan itu, Your Grace. Baiklah," Robert berdiri dari tempat duduknya, dan berjalan ke arah pintu perpustakaan yang diikuti oleh Wilhelmine di belakang. Sang Duchess pun mengantar Robert Cromwell hingga depan Manor Wellington.
Wilhelmine tersenyum pada Robert sesaat ia menaiki kereta kudanya, "Kau harus kembali mengunjungiku besok, Lord Cromwell. Aku harap kau sudah mendapat jalan keluarnya."
Robert terkekeh, "Baiklah, Your Grace. Semoga harimu menyenangkan."
Sepasang mata sayu memperhatikan mereka berdua dari jendela atas, dengan kekesalan yang sangat.
***
Kaki Wilhelmine melangkah tangga Manor Wellington dengan malas. Hari-harinya di Australia Barat sangatlah membosankan. Ia tidak memiliki teman, tidak mengenal banyak orang, dan lebih parahnya ia harus berbagi rumah dan kamar dengan Duke Wellington. Hidup yang menyenangkan!
Tepat pada saat Wilhelmine meraih gagang pintu perpustakaan, sebuah suara milik manusia yang paling dia benci terdengar melalui telinganya.
"Duchess Wilhelmine,"
Sial, mengapa dia tidak bekerja? Wilhelmine membatin dan memutar kedua bola matanya, sebelum berbalik dan memasang wajah tidak berekspresi di hadapan Duke Wellington yang berdiri di depan pintu ruang kerjanya yang tak terletak jauh dari ruang perpustakaan.
Sang Duke—yang memutuskan untuk bekerja di rumah hari ini, dikarenakan dirinya yang letih akibat dari tidak tidur semalaman dan terlalu banyak meminum whiskey—merasa curiga ketika mendengar ada suara seperti sebuah percakapan yang berasal dari perpustakaan pada pagi hari. Dan dirinya juga merasa sangat terkejut ketika mengetahui bahwa Wilhelmine telah mengundang seorang pria sepagi ini ke Manor Wellington.
Duke Wellington berdeham sebelum menanyakan, "Siapa Pria tadi?"
Wilhelmine menggeleng, tanpa ekspresi. "Tidak penting."
"Siapa yang mengizinkan pria itu memasuki Manor ini? Manorku?" Duke Wellington melemparkan Wilhelmine sebuah tatapan yang mengintimidasi.
Wilhelmine yang berdiri di sebrangnya terdiam. Ia ingin menjawab, namun jawaban yang dimilikinya mungkin akan membawa mereka berdua dalam pertengkaran. Dan dirinya sedang tidak dalam situasi untuk bertengkar dengan seorangpun sekarang.
"Apakah kau bisu? Atau hanya bodoh, Duchess Wilhelmine?"
Lagi, Wilhelmine masih terdiam. Walaupun emosinya sudah mendidih di dalam, ketika mendengar kata 'bodoh' keluar dari mulut suaminya sendiri. Ia harus menahannya. Pertengkaran adalah hal terakhir yang ia inginkan untuk terjadi sekarang.
"Duchess Wi-,"
"Demi Tuhan, Duke Wellington! Mengapa kau tidak bisa membiarkanku mendapat ketenangan di pagi hari? Kau adalah manusia yang paling menjengkelkan, yang pernah kutemui dalam hidupku." Pintu perpustakaan itu tertutup dengan keras, meninggalkan Duke Wellington beridiri dengan amarah di sebrang sana.
Tak lama, Ia kemudian melangkah, memosisikan dirinya di hadapan pintu perpustakaan tersebut.
Bibirnya kemudian berbisik "Andaikan kau memiliki kesopanan dalam dirimu. Mungkin kita sudah menjadi pasangan terbahagia sekarang."
--
Maaf kalo update kali ini kurang memuaskan :(
Author lagi ga dapet inspirasi dari manapun dan sedang mencoba sebaik mungkin utk melanjutkan cerita Duke and Duchess of Wellington :)
Terima kasih, readers setia <3!
KAMU SEDANG MEMBACA
Duke and Duchess of Wellington
Ficción históricaWilhelmine Luise, Princess of Mecklenburg-Schwerin, putri minor asal Jerman dipaksa oleh keluarganya untuk menikah dengan Arthur Scott Byron, Duke of Wellington bangsawan Inggris yang kaku, dingin dan keji kesukaan raja George III. Sang putri menola...