Pasangan yang baru saja melaksanakan upacara pernikahan itu tiba di rumah sangat malam. Lebih tepatnya kastil. Kastil St. Bartholomew, milik kakek sang duke. Mereka disambut hangat di tengah dinginnya malam oleh para pelayan dan penjaga kastil. Saat Duke dan Duchess Wellington masuk, mereka baru diperbolehkan masuk. Begitu etikanya.
Ini kali pertama Wilhelmine berada di kastil St. Bartholomew, rumah sang suami selama bertahun-tahun lamanya. Dirinya tidak tau jalan, membuatnya terpaksa mengikuti Duke Wellington layaknya orang bodoh.
Duke tampaknya sangat letih. Buktinya dia langsung menuju kamar tidurnya. Wilhelmine yang belum mengantuk pun harus mengalah. Kastil St. Bartholomew sangat luas, jika dia memutuskan untuk jalan-jalan dia bisa saja tersesat. Belum lagi suaminya yang belum tentu mau menolongnya. Kali ini Wilhelmine merasa di bawah kendali Duke Wellington.
Mereka berdua sudah di kamar.
Aura kecanggungan memasuki kamar itu sejak mereka memasuki kamar luas itu. Wilhelmine yang dari tadi berada di belakang suaminya segera mengambil langkah ke depan dan duduk di tepi ranjang. Dia lupa akan satu hal yang penting bagi pernikahannya.
Saat hendak merebahkan dirinya untuk tidur, suara berat yang kaku dan dingin mengejutkannya,
"Lepas gaunmu,"
Mata biru tua Wilhelmine melebar selebar apapun. Dia tidak percaya apa yang baru dikatakan orang itu. Walaupun memang itu kewajibannya, mengingat mereka baru saja menikah. Tetapi, Wilhelmine masih sangat terkejut.
Otak Wilhelmine berputar. Berusaha memikirkan cara untuk keluar dari sini.
Oke, ini akan menjadi kalimat terbodoh yang aku ucapkan, batinnya.
"Entschuldigung, ich spreche kein Englisch. (Maaf, aku tidak bisa berbahasa Inggris.)" ujar Wilhelmine menahan malu yang sangat besar dan dalam. Ia tau sejak tadi pagi, dia berbahasa inggris ketika berbicara dengan Earl atau Lord yang datang ke acara. Bahkan saat berteriak ke Xavier pun dalam bahasa Inggris. Wilhelmine tidak bodoh, dia hanya panik. Duke Wellington melepas sepatu bootnya yang ia sudah pakai seharian-masih tidak menatap Wilhelmine.
"Öffne dein Kleid (Lepaskan gaunmu)," suaranya makin mendingin.
Wilhelmine semakin merasa bodoh. Dia tak sadar bahwa suaminya bisa berbahasa bahasa ibunya. Putri yang sudah menjadi seorang duchess itu sangat bingung. Dia tidak mau kehilangan kesuciannya bersama Duke Wellington. Sampai sekarang, Wilhelmine masih mengira bahwa Duke Wellington adalah pria yang salah untuknya.
"Lepaskan gaunmu, aku sudah kehilangan kesabaran," kian lama suaranya semakin dingin. Layaknya suhu di luar sekarang. Wilhelmine masih tercekat, dia tidak mau melakukan apa yang di perintahkan oleh suami barunya. Tapi, dia tidak tau cara menolak agar hati suami barunya tidak terluka. Sekesal, sebenci apapun dia terhadap Duke Wellington, dia tidak ingin hatinya
"Lepas gaunmu," Duke Wellington menekan setiap kata dengan suara beratnya-masih tidak memandang istrinya. Seragam militernya sudah kendor. Tidak terlalu ketat seperti saat tadi.
"Tidak." Mata hijau tua Duke Wellington menengadah, bertemu dengan mata lautan dalam milik Wilhelmine.
Putri yang lahir di Schwerin itu berdiri menghadap tempat tidur besar yang terletak di kamar luas milik sang duke-suaminya.
Duke Wellington berjalan ke arahnya dengan langkah kaku. Mendekat ke arah Wilhelmine, membuatnya refleks untuk mundur-menjauh dari Duke Wellington.
"Itu sudah menjadi kewajibanmu. Mengapa kau berkata tidak?" setiap kata ditekan oleh Duke Wellington, menatap tajam Wilhelmine yang menjauh darinya. Dirinya mencoba untuk mendekat, alhasil Wilhelmine semakin mundur-mendekati dinding kamar.
"Jika aku tidak mau, kau tidak akan bisa melakukan apa-apa, Duke Wellington." ujar Wilhelmine tajam. Dirinya kesal dan memandang Duke Wellington sebagai sosok yang sangat egois.
"Bukankah itu sudah menjadi hak istri untuk menuruti suami?" Mata hijau tuanya menatap tajam mata biru tua milik Wilhelmine. Seketika, perasaan panik yang dimiliki Wilhelmine di awal, berubah menjadi perasaan kesal-sangat kesal.
"Ya, tapi suami juga harus menghargai keputusan sang istri. Dan suami harus memerhatikan apakah sang istri merasa nyaman atau aman dengan lingkungan atau situasi yang sedang terjadi." Wilhelmine memberi senyum sinis. Merasa kemenangan berpihak pada dirinya.
"Sebutkan alasan mengapa tindakanku ini salah di matamu. Sehingga membuatmu merasa tak nyaman dan tak aman?" Wajah datar pria itu semakin datar seraya dia mengucapkan kalimat yang mendiamkan istrinya untuk beberapa detik.
"Karena kau adalah pria yang salah. Pria yang sangat salah buatku." Duke Wellington terdiam. Dia tau Wilhelmine tidak bahagia dengan pernikahan ini. Sama halnya dengan dirinya. Tapi dia tidak pernah tau kalau Wilhelmine menganggapnya pria yang salah bagi diri nya.
Duke Wellington masih memasang wajah datarnya, berusaha membuat sang istri untuk menuruti kehendaknya yang satu ini. "Bagaimana jika aku adalah pria yang tepat, tapi kita hanya bertemu di waktu yang salah?" tanyanya dengan dingin. Tak bernada, tak berekspresi.
Wilhelmine tercekat, namun masih memasang wajah kesal.
"Tidak. Itu tidak akan membuatku menuruti kehendakmu. Terlebih yang satu itu," tolak Wilhelmine lagi.
Kaki panjang Duke Wellington mengambil langkah ke belakang. Dalam hitungan milidetik, pria itu membalikkan badan jangkungnya. Tidak mengucapkan satu kata pun ke istri yang baru dinikahinya beberapa jam yang lalu. Wilhelmine senang, tentunya. Akhirnya caranya berhasil untuk kabur dari situasi ini. Namun tidak ada cara baginya untuk kabur dari pernikahan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duke and Duchess of Wellington
Ficción históricaWilhelmine Luise, Princess of Mecklenburg-Schwerin, putri minor asal Jerman dipaksa oleh keluarganya untuk menikah dengan Arthur Scott Byron, Duke of Wellington bangsawan Inggris yang kaku, dingin dan keji kesukaan raja George III. Sang putri menola...