Part 6

9.6K 869 2
                                    

Ruang makan istana Buckhingham riuh. Dipenuhi dengan bangsawan Inggris dan Jerman yang bersukacita akan pernikahan kedua insan. Wilhelmine dan Arthur,Duke Wellington. Semua orang menikmati suasana yang sedang terjadi. Tidak ada satupun manusia yang memasang muka masam atau sedih. Semua tersenyum sumringah. Ya, semuanya. Semuanya kecuali Wilhelmine. Bibirnya tersenyum, namun hatinya tidak.

Arthur? Dia tidak pernah tersenyum dan orang-orang sudah wajar melihatnya seperti itu. Kesan angkuh sangat melekat pada diri Duke Wellington. Dan kesan angkuh itu lah yang malah membuat wanita tergila-gila akannya.

"Willie, ada apa denganmu?" Eleonore datang menghampiri adik perempuannya yang menurutnya tidak menikmati acara itu. Wilhelmine terkejut. Lamunannya buyar seketika.

"Aku baik-baik saja." ujarnya singkat, lalu kembali melamun seperti tadi.

"Hey, ayolah Willie. Bersenang-senanglah. Apakah kau lupa ini juga hari ulang tahunmu?" Eleonore memukul pelan lengan mulus milik sang adik. Mencoba membuyarkan lamunannya.

Mendengar kata ulang tahun, mata biru tua Wilhelmine membesar, menatap Eleonore yang ada di sampingnya. Ulang tahun? Bagaimana bisa aku melupakan hari favoritku ini? batinnya bertanya. Akan tetapi hatinya berubah menjadi sedih. Dia tidak ada satupun merasakan perasaan bahagia di hari yang dulu menjadi favoritnya. Wilhelmine menatap Eleonore sendu, membuat Eleonore sedikit kebingungan karena tatapannya.

"Ada apa, Willie?"

"Ah, tidak." Wilhelmine berusaha menyembunyikan kesedihannya dari kakak sulungnya. 'Cukup aku saja yang bersedih hari ini. Orang lain tidak perlu.' pikirnya.

"Sayang, kita harus berdansa!" Friedrich August, Putra Mahkota Hesse menghampiri mereka berdua dengan segelas anggur ditangannya. Menandakan dirinya sudah setengah mabuk. Eleonore mengecup pelipis Wilhelmine sebelum dia pergi. Pergi bersenang-senang layaknya orang lain yang ada di ruangan itu.

Wilhelmine kembali merasa sendiri. Diantara kerumunan, dia merasa sendirian.

Jangan tanyakan Arthur sedang apa. Dia sedang berbicara panjang lebar dengan sesama perwira dan Raja George. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang cukup penting. Mimik wajah yang mereka pasang adalah mimik wajah serius. Wilhelmine melirik para pria yang sedang berbincang-bincang. Ada pangeran George, putra sang Raja, juga di situ. Dia pun tak lupa memasang wajah serius. Pandangan Wilhelmine menemui mata Raja George. Saat itu juga Raja George seperti teringat akan tujuan utama makan malam ini. Yaitu untuk merayakan pernikahan Duke and Duchess of Wellington, bukan malah berbincang tentang ke-militer-an.

"Wilhelmine, kau bersenang-senang bukan?" ujar Raja George sambil tersenyum ke arah Wilhelmine yang gugup.

"Iya, Yang Mulia. Aku bersenang-senang," ujarnya sedikit canggung, berusaha untuk sopan.

Raja George tersenyum kembali. Tangannya mengambil gelas disampingnya yang sudah berisi anggur merah berkualitas. Tiba-tiba dia terbatuk, matanya melebar. Charlotte, istrinya terkaget dan menepuk-nepuk punggung George. Semua orang yang di dekatnya terheran.

"Oh, aku hampir lupa! Kalian harus dilukis! Cepat pergi ke ruang musik. Sudah ada Xavier di situ." Wilhelmine menganga. Dia tidak mau dilukis bersama dengan Duke Wellington. Dia sangat tidak mau!

Setelah mendengar perintah Raja George, Duke Wellington dengan tegap berdiri. Seakan-akan menyuruh Wilhelmine untuk mengikutinya segera.

"Wilhelmine, apa yang kau tunggu, sayang? Cepat ikuti suamimu!" ujar Charlotte, istri Raja George yang juga berasal dari Jerman. Wilhelmine tersenyum palsu. Lalu dengan enggan melangkahkan kakinya, berjalan menyusuri Istana Buckingham yang luas, mengikuti suaminya.

*****

Pintu ruang musik istana Buckingham terbuka, dibuka oleh penjaga saat melihat Duke Wellington berjalan ke arahnya. Tampak seorang laki-laki yang sedang sibuk mempersiapkan alat-alatnya untuk melukis dua insan yang baru menikah. Namanya Xavier Petrovich, pelukis asal Prancis keturunan Rusia. Xavier tersenyum ketika melihat Duke Wellington masuk. Dan semakin tersenyum ketika melihat sosok Wilhelmine. Betul ucapan orang-orang, Wilhelmine sangat-sangat cantik dan elok untuk dipandang.

"Selamat atas pernikahan kalian, Your Grace. Sekarang, mari, kita mulai saja!" ujar Xavier, mengarahkan mereka untuk bersiap.

Sekarang hanya proses penggambaran. Proses pengecatan akan sangat memakan waktu lama. Xavier adalah pelukis handal yang sangat terkenal pada jamannya. Lukisan-lukisannya yang sangat realistik membuat para penguasa-penguasa di seluruh Eropa memintanya untuk melukis mereka. Raja George tidak salah memilihnya.

"Berposelah! Mari kita buat lukisan ini menjadi lukisan yang epik!" perintah Xavier yang sudah memegang alatnya.

Wilhelmine meragu, melirik Duke Wellington yang masih saja berdiri tegap. Leher jenjangnya menengadah sempurna. Dirinya fokus tapi entah pada apa. Wilhelmine mendengus kesal. 'Apakah harus dia yang menjadi suamiku?' gerutunya dalam hati.

"Aku tidak tau harus berpose apa, Xavier!" teriak Wilhelmine.

Tiba-tiba, dengan sangat tak disangka, Duke Wellington mengambil tangan Wilhelmine. Menggengamnya, tapi tak kuat lalu menaruhnya di depan hadapan mereka berdua. Seperti yang tadi di altar gereja. Xavier tersenyum, Wilhelmine mendengus makin kesal.

"Tampilkan wajah cantikmu, Your Grace!" seru Xavier saat melihat Wilhelmine mendengus. Wilhelmine mengubah pose dirinya. Kepalanya sedikit melihat kesamping, senyum tipis diberinya. Sempurna.

"Nah, itu dia!" teriak Xavier puas.

Wilhelmine menggerutu dalam hati. Dia harus tetap seperti itu selama 20 menit. Senyumnya harus terjaga dan tangannya masih digenggam oleh suaminya yang angkuh dan tidak mau tau. Wilhelmine tidak pernah meminta hal-hal seperti ini pada Tuhan. Namun ia heran, mengapa Tuhan memberinya. Penantian lama pasti ada akhirnya, 20 menit yang menurut Wilhelmine bagaikan neraka berlalu. Dengan cepat dia mengambil tangannya dari genggaman Duke Wellington. Tetapi tidak ada reaksi yang ditunjukkan oleh Duke Wellington. Dia masih berdiri tegap dan lehernya yang jenjang masih melihat lurus ke depan.

Wilhelmine lalu mengucapkan selamat tinggal pada Xavier, dan mendahului Arthur pergi ke ruang makan.

'Hari ulang tahun terburuk sepanjang masa!' gumamnya.

Duke and Duchess of WellingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang