Part 8

9.5K 895 5
                                    

Suara pintu terbuka membangunkanku pada pagi itu. Aku membuka mataku yang masih mau tertutup, melihat sosok perempuan. Perempuan yang baru masuk itu memakai baju pelayan. Aku mengusap mataku untuk bisa melihat dengan lebih jelas lagi. Dia berambut pirang, tidak terlalu tinggi. Dia mirip dengan... Rike. Friederike Beck, pelayan muda yang lebih tua dua tahun daripadaku. Kami bertumbuh bersama. Dia adalah putri bungsu Bibi Helena.

"Rike?" tanyaku memastikan.

"Selamat pagi tuan putri Wilhelmine." sapanya sopan, sambil mendekati tempat tidurku.

Aku bangun, dan sedikit tersadar bahwa aku tidak di Jerman. Di Schwerin, lebih tepatnya. Aku berada di rumah suamiku. St. Bartholomew. Duke Wellington tidak menampakan wajah kaku dan datarnya semenjak kejadian kemarin malam.

Apakah aku membuatnya marah padaku?

Apakah hati dinginnya terluka karena sikapku?

Aku tidak tau dan tidak akan pernah tau.

Ketika aku berdiri dan meninggalkan tempat tidur, mata coklat muda Rike refleks melirik tempat tidur besar itu. Dia mengernyitkan dahinya. Dia kebingungan. Apakah dia tau? Apakah dia tau kami tidak 'melakukannya'?

"Tuan putri.." Rike memanggilku dengan ragu. Pasti dia ingin menanyakan perihal itu. "Maafkan aku, jika kau menganggapku lancang..." dia berhenti lagi, membuatku memutar bola mataku cepat. "Kalian tidak 'melakukannya'?" tanyanya.

"Tidak."

"Aku tidak mau melakukannya dengan pria yang salah." lanjutku dengan mengulangi kalimat yang kuucapkan kepada Duke Wellington kemarin malam.

"Baiklah, tuan Putri. Sekarang waktunya untuk mandi." ujarnya sambil mulai melepas gaun tidurku. Aku pasrah, padahal keinginanku bukan untuk mandi sepagi ini.

******

Rike membantuku untuk memakai gaun berwarna biru muda. Setelah itu dia menuntunku ke ruang makan. Arthur sudah ada disana, sejak lama. Aku berpikir, dimana dia tidur kemarin malam. Apakah dia bisa tidur. Dan aku membenci diriku untuk berpikir seperti itu. Berpikir tentang dia yang merusak segalanya.

Ruang makan yang sangat indah. Aku jatuh cinta dengan dekorasi dan tampilan ruang makan itu pada pandangan pertama. Sungguh sangat detail. Sedikit kuno, namun tetap menawan. Aku tidak yakin Duke Wellington yang mendesain segalanya. Aku yakin dia menyewa seseorang untuk melakukan hal ini. Dirinya pasti tidak mau memusingkan hal lain selain negaranya atau ke-militer-annya.

Dia ada di situ. Duduk di kursi makan dengan kaku. Berpakain seragam militer seperti biasanya. Berbeda dengan kemarin, seragam militernya kali ini berwarna hitam. Sewarna dengan rambut hitam legamnya. Kontras dengan mata hijau tuanya yang tajam. Duke Wellington sibuk mengunyah sarapan paginya, tidak menyadari bahwa aku ada di ruangan ini.

Aku mengambil tempat duduk jauh di hadapan nya. Masih tidak membagi fokus dari sarapannya yang tampaknya merupakan menu favoritnya.

"Selamat pagi, Duke Wellington." sapaku mencoba untuk bersikap sopan padanya.

Duke Wellington melirikku cepat, lalu kembali fokus dengan sarapannya. Aku menggelengkan kepalaku. Tidak bisa membayangkan bahwa aku terjebak dengan seorang pria yang tidak mau tau, seumur hidupku.

Meja mewah itu memperlihatkanku banyak hidangan. Roti manis, Pudding, Omelet, Keju dan beberapa buah. Aku tidak memiliki niat untuk memakan banyak makanan pada sarapan-pilihanku jatuh pada roti manis.

Seraya aku makan, aku juga merasakan kekosongan yang sangat. Duke Wellington tidak mengucapkan satu katapun padaku ataupun pada pelayan. Aura disini sangat dingin. Padahal cuaca diluar tampaknya panas-mungkin hangat.

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi takut akan dianggap oleh Duke Wellington sebagai perusak paginya.

Tidak lama setelah piringnya tidak menyisakan satupun makanan, Duke Wellington berdiri-masih dengan postur kakunya. Dan tidak mengucapkan satu pun kata pada pelayan-pelayan, maupun padaku. Aku tidak memperdulikannya. Makanan di piringku masih banyak dan aku memilih untuk menyelesaikannya daripada mengurusi kemana perginya Duke Wellington-suamiku.

Ketika roti manisku tinggal tersisa setengah potong lagi, aku mendengar suara kereta kuda berjalan. Menandakan bahwa dia sudah pergi untuk bekerja. Juga menandakan bahwa aku akan sendirian di kastil yang besar ini seharian-hanya ditemani pelayan-pelayan.

Aku sudah selesai sarapan dan seorang wanita yang tak terlalu tua menghampiriku. Lebih tepatnya menghampiri meja makan mewah milik suamiku. Dia mengambil makanan yang tersisa dan membawanya ke dapur. Begitu dia kembali untuk mengambil piring terakhir, aku memberhentikannya.

"Akan kalian apakan makanan yang tersisa ini?" tanyaku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.

"Ini akan dibuang, Your Grace." jawab wanita yang aku belum tau namanya itu. Aku sangat terkejut, dan juga sangat marah. Aku tau pasti Duke Wellington yang menyuruh mereka untuk melakukan seperti ini. Begitu kejinya dia di mataku sekarang. Wanita ini tampaknya sedih.

"Siapa namamu, jika aku boleh tau?"

"Marie Watson, Your Grace," tangannya kembali memungut piring berisi makanan mewah.

Mataku memerhatikan wajah letihnya untuk sesaat.

"Marie, ambillah makanan yang ada di piring ini. Bagikan ke pelayan-pelayan yang lain." Mata coklat gelapnya melebar-tidak mempercayai apa yang baru saja aku ucapkan.

"T-tapi Your Grace..."

"Aku tau Duke Wellington yang memerintah kalian untuk melakukan itu. Tapi, aku sekarang adalah istrinya, bukan?" ujarku enteng. Marie tersenyum sumringah. Raut wajahnya lebih menunjukkan dia sedang mendapat berlian. Mungkin pelayan-pelayan menganggap makanan kami-makanan bangsawan-seperti berlian.

"Terima kasih, Your Grace. Aku tau kehadiran Your Grace di rumah ini akan membawa kebaikan bagi kami semua." Marie membungkuk kan badan pendeknya di hadapanku. Lalu kembali ke dapur membawa 'berlian'nya. Senyuman melekat di wajahnya.

Membuatku juga tersenyum, tentunya.

Namun jauh di lubuk hatiku, aku tau. Duke Wellington tidak akan senang dengan keputusanku yang satu ini.

Duke and Duchess of WellingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang