Part 22

8.4K 764 23
                                    

"Terima kasih atas pesta yang menyenangkan ini, My Lord. Kami sangat terhibur dan senang," ujar Wilhelmine, berterimakasih kepada Archibald di luar rumah mereka.

"Suatu kerhormatan bagi kami, Your Grace." Archibald mengecup punggung tangan Wilhelmine.

Archibald beralih ke sahabat masa kecilnya, yang sedang menunggu mereka dengan raut wajah marah bercampur kesal. "Selamat malam, Arta,"

Duke Wellington mendengus marah. Dia tidak mau ada yang tau nama panggilan masa kecilnya. Wilhelmine melirik kedua pria yang ada di dekatnya–―kebingungan.

"Siapa Arta?" Archibald menahan tawa, mendapat tatapan tajam dari Duke Wellington yang sedang menahan malu. Archibald sedang mencari mati.

"Kita pulang. Selamat malam, Lord Normanby," tangan Wilhelmine ditarik oleh Duke Wellington ke arah kereta kuda yang sudah menunggu mereka. Archibald tertawa keras, "Hati-hati di jalan!"

Wilhelmine memutar kedua bola matanya. Dia bahkan belum mendapat jawaban dari pertanyaannya kepada Archibald. Mereka sudah di kereta kuda. Aura sunyi dan canggung meliputi pasangan itu. Suhu dingin perlahan merayap masuk.

Wilhelmine melirik Duke Wellington dengan bantuan cahaya remang. Dia ingin menanyakan sesuatu kepada suami kakunya itu. Namun, terbesit perasaan takut tidak di jawab, di hati kecil Wilhelmine.

Jika tidak dijawab, pendam saja malunya, batin Wilhelmine, bersiap menanyakan pertanyaannya kepada Duke Wellington.

"Your Grace?" Duke Wellington terkejut, tapi segera menepis kekejutan itu dan bersikap biasa. Dia tidak mau terlihat bodoh di depan istrinya.

"Apa?" jawabnya tanpa sedikitpun menoleh atau melirik istrinya yang sedang bertanya.

"Jika aku boleh tau, siapa itu Arta?"

Mata hijau tua Duke Wellington membulat. Duke Wellington tidak sadar bahwa Wilhelmine masih ingin jawabannya.

"Apakah Arta itu Your Grace?" Mata hijau Duke Wellington semakin membulat. Wilhelmine menatap suaminya yang belum menjawab apapun. Apakah aku harus memendam malu ini sekarang? tanya Wilhelmine dalam hati.

"Tidak. Normanby sedang mabuk," bohong Duke Wellington.

Wilhelmine tersenyum kecil. Dalam hatinya, ia baru sadar bahwa Arta adalah nama panggilan konyol Duke Wellington–―suaminya hanya terlalu malu untuk mengakuinya. Senyum kecil Wilhelmine juga disebabkan oleh Duke Wellington yang menjawab pertanyaan sepelenya.

Dia tidak sedingin itu rupanya.

"Oo," Wilhelmine mengangguk-anggukan kepalanya, yang membuat suami dinginnya terkekeh dalam diam.

Kau terlalu polos untuk dunia ini, Wilhelmine.

Senyum kecil, nyaris tidak bisa dilihat oleh siapapun terukir di wajah kaku Duke Wellington yang tidak pernah tersenyum tulus beberapa tahun ini. Dia terhibur–―geli–―mendengar kalimat yang diucapkan istrinya. Mata hijau Duke Wellington membulat untuk ketiga kalinya malam itu.

Tidak! Tarik senyuman kecil itu dari wajahmu! Mengapa kau tersenyum karena seorang wanita? Senyum hanya boleh ada karena kemenangan dalam perang, Tuhan maupun politik. Jangan lupakan itu, Arthur!

Duke Wellington mengangguk dalam gelap, setelah mendapat ceramah dari dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia melupakan tiga tujuan mulai dirinya? Dia tidak akan jatuh cinta dengan Wilhelmine. Seorang Duke Wellington tidak akan pernah jatuh cinta maupun mencintai seorang wanita. Dan itu akan berlaku sampai ia mati. Dia berjanji dengan dirinya sendiri bahwa jika ia sampai jatuh cinta dengan Wilhelmine, Duke Wellington tidak akan bisa memaafkan dirinya.

********

"Selamat Malam, Your Grace," Caroline menyambut majikannya di depan pintu. Membawa lentera, dengan Hund disampingnya. Wilhelmine tersenyum, berbanding terbalik dengan suaminya yang tak acuh terhadap Caroline dan langsung menuju kamar–―tidak mengucapkan sepatah katapun.

"Selamat malam, Nona Caroline," balas Wilhelmine, masih tidak patuh terhadap peraturan yang dibuat Duke Wellington pagi ini.

"His Grace Duke mungkin sudah letih. Pesta tadi menguras banyak tenaganya," ujar Wilhelmine, menjelaskan sikap dingin suaminya yang tak acuh pada pelayan baru di rumah itu.

Caroline mengangguk dan tersenyum. "Baiklah Your Grace. Selamat malam,"

Wilhelmine membalas senyum tulus Caroline, berjalan ke kamar. Tubuhnya sangat letih. Berdansa cukup menguras tenaganya. Dan yang membuat Wilhelmine sedikit terkejut hari ini adalah bahwa faktanya Duke Wellington bisa berdansa. Wilhelmine tidak pernah menyangka jika seorang yang sangat mencintai militer sedalam Duke Wellington bisa mengetahui cara berdansa.

Pintu jati itu terbuka, menunjukkan Duke Wellington yang sudah berbaring–―dengan baju militer kendor. Kelopak matanya tertutup, namun Wilhelmine yakin dia belum memasuki alam sadarnya.

Istri Duke of Wellington itu memasuki kamar ganti. Tidak seperti suaminya, Wilhelmine selalu memakai pakaian yang nyaman saat ingin tidur. Mereka memang sangat berbeda. Dari segi manapun.

Setelah kembali dengan baju tidur, Wilhelmine membaringkan tubuh letihnya di kasur yang sedang ditiduri oleh suaminya juga. Aneh, bukan? Sepertinya Wilhelmine tidak sadar akan hal ini.

Duke Wellington yang juga menyadari keanehan yang sedang terjadi di hadapan matanya, melirik Wilhelmine yang sedang membaca buku berjudul Love Story. Mata Duke Wellington lagi-lagi jatuh pada bibir merah milik istrinya. Dan lagi-lagi ia tergoda. Pikiran yang ada saat di pesta tadi datang lagi.

Pria itu teringat akan suatu hal. Suatu hal penting yang dituda olehnya dan Wilhelmine. Kewajiban seorang pasangan yang baru menikah. Mereka menundanya. Duke Wellington masih mengingat semuanya; ditolak, pemakian dan hal lainnya yang ia hampir lupakan.

Hati nakal yang bergairah nya berdetak–―seakan hidup kembali dari kematian. "Apakah aku akan mendapat jatahku malam ini?"

Wilhelmine mematung. Dia tidak bisa mencerna apa yang baru saja Duke Wellington ucapkan. Wilhelmine menoleh ke manusia yang di sampingnya. Pria yang juga merupakan suaminya itu sedang memejamkan mata.

Seketika semuanya jelas bagi Wilhelmine. Mengapa dia masuk ke kamar ini? Mengapa Ia sudi tidur di ranjang yang sama dengan Duke Wellington? Apa yang merasuki dirinya?

Mata biru Wilhelmine membulat–―seakan memelototi Duke Wellington yang sedang memejamkan mata. "AHG! YA TUHAN!" Kaki panjang nan mulusnya melompat dengan cepat keluar dari tempat tidur empuk itu. Dingin lantai menyerbu kaki telanjang Wilhelmine, namun ia tidak memperdulikannya dan tetap berlari menuju pintu dan keluar dari kamar.

Gelap. Wilhelmine tidak bisa melihat apa-apa. Kaki dan tangan telanjangnya merinding karena dinginnya cuaca. Dengan gaun tidur yang tipis, beraninya Wilhelmine keluar menentang cuaca dingin yang sedang berkuasa di malam hari. Dia tidak mau masuk ke kamar itu. Tidak akan.

"Hund? Hund!" teriak Wilhelmine, mencoba memanggil anjing yang sudah menjadi kawan favoritnya selama di rumah.

Tidak ada jawaban. Wilhelmine melangkah, namun tak lama menarik langkah yang tidak pasti itu. Angin menghembus kuat, menembus tulang tangan dan kaki Wilhelmine yang hanya terbungkus kulit. Sial.

Pintu kayu jati itu kembali terbuka. Menunjukkan seorang pria dengan seragam militer kendor yang sudah benar-benar tertidur pulas kali ini. Wilhelmine menghembus nafasnya–―pusing, bingung, letih dan sedikit amarah bercampur. Tubuhnya sangat letih, namun Wilhelmine tidak tau tempat untuk membaringkan tubuhnya. Tentu saja ia tidak mau tidur sekasur dengan Duke Wellington. Tidak akan!

Mata birunya melirik ke seluruh ruangan. Menganalisis mana yang bisa ia tiduri untuk malam ini. Hanya ada kursi tak empuk. Itu saja.

Tidak mungkin aku tidur di kursi itu!

Udara semakin dingin, Wilhelmine semakin menggigil. Dengan muka masam dan langkah terpaksa, Wilhelmine berjalan ke kursi merah tak berbusa itu. Mendudukkan dirinya, sudah merasakan tekstur tak nyaman yang akan diberikan kursi ini pada tubuh letih Wilhelmine. Sebuah selendang ditarik Wilhelmine dari kursi satu lagi–―untuk menutupi tangan nya yang sudah di terjang udara dingin. Dalam hati Wilhelmine memaki,

"Mengapa Duke Wellington tidak membeli rumah dengan tiga kamar?!"

Duke and Duchess of WellingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang