Part 32

7.5K 758 34
                                    

Matahari terbit secara perlahan, menyinari Virginia pada hari itu. Caroline, sang pembantu keluarga Wellington, sudah dengan gesit mempersiapkan sarapan pagi bagi kedua majikannya; Duke dan Duchess of Wellington, yang masih berada dalam kamar mereka.

Di sisi lain, Duke Wellington membuka matanya. Rasa sakit tiba-tiba menyerang kepalanya. Mungkin ini efek dari wiskhey kemarin malam, pikirnya. Mata hijau gelapnya menyapu sekelilingnya. Dirinya mencari wanita yang ia ingin temui beberapa hari belakangan. Istrinya, Wilhelmine.

Pria itu mencoba untuk mendudukkan badan letihnya. "Wilhelmine?" panggilnya, berharap mendapat jawaban dari wanita yang ia cari.

"Aku disini," sebuah suara menyahut dari ruang ganti. Senyum tipis terukir di wajah kaku Duke Wellington.

Pintu ruang ganti itu terbuka, menampilkan seorang Duchess menawan dengan gaun putih handalannya. Wajah Duke Wellington kembali datar dan kaku, sesuai dengan ciri khasnya. Wilhelmine keluar dari ruang ganti, sambil memutar kedua bola matanya kesal—melihat wajah kaku dan datar milik suaminya.

Langkahnya menuju keluar kamar, tangannya membuka gagang pintu jati. "Kau tidak ingin sarapan?" Wilhelmine membalikkan badannya, bertanya kepada sang Duke sebelum ia keluar.

Duke Wellington bangkit dari tempat tidur, berjalan ke arah ruang ganti dengan kaku. "Aku akan menyusul."

***

"Yah, itu adalah tuntutan dari sang Pangeran, Your Grace," Theophilus, Count of Mansfield menghembuskan asap rokoknya setelah memberitahu Duke Wellington pemberitahuan penting yang diterimanya dari Pangeran George IV.

"Baiklah. Australia tampaknya menyenangkan," Duke Wellington menghisap rokoknya, membuang segala penat yang terkumpul di kepalanya yang masih sakit akibat efek whiskey.

"Tentu. Terutama posisimu adalah gubernur jenderal. Sangat menyenangkan," ucap Theophilus. Lantas, kedua pria itu tertawa. Duke Wellington menghisap rokoknya kembali, kini ia sedang berpikir. Apakah Wilhelmine akan senang?

***

Wilhelmine memutar balik halaman novel klasiknya. Sembari membaca, tangan satunya ia gunakan untuk mengelus-elus badan Hund, yang tertidur lelap di pangkuannya. Sesekali ia tersenyum ketika membaca sesuatu yang berbau romantis yang ada di buku tersebut. Ia baru saja menjamu Melissa, Duchess of Buckingham, yang kini sudah pulang.

Tak lama kemudian, ia merasa bosan. Ia selalu merasa bosan selama tinggal di Virginia. Tak ada kegiatan permanen yang ia bisa lakukan. Menjamu tamu, dan membaca buku novel adalah kegiatan yang Wilhelmine terus-menerus lakukan. Ia meletakkan buku novelnya di meja yang terletak di samping kirinya. Berusaha keras untuk tidak membangunkan Hund yang sedang tidur dengan damai.

Wilhelmine kembali mengelus anjing kesayangannya, sambil menatap langit-langit rumah. Pikirannya sedang memikirkan masa depannya—hal yang belakangan ini ia tidak pernah pikirkan.

Banyak hal yang Wilhelmine pertanyakan tentang masa depan. Akankah hubungannya dengan suaminya sendiri membaik? Akankah mereka memiliki anak? Wilhelmine sangat ingin tahu apa jawaban dari pertanyaannya sekarang. Sebuah ide tiba-tiba muncul di benak Wilhelmine.

Bagaimana jika ia menuliskan semua pertanyaannya di sebuah buku, dan menjawabnya di masa depan? Pemikiran yang aneh, namun masuk akal, batin Wilhelmine. Dengan sangat perlahan, Wilhelmine mengangkat Hund dan meletakkannya di sebuah sofa. Kemudian, ia mengambil buku jurnalnya dan menuliskan semua pertanyaan yang tadi datang ke kepalanya.

Ketika sedang terlarut dalam menulis buku jurnalnya, sebuah ketokan di pintu mengganggunya. Wilhelmine berpikir bahwa itu adalah Duke Wellington, sehingga ia menghiraukannya dan kembali menulis.

"Your Grace? Apakah kau ada di dalam?" suara Caroline membuat Wilhelmine berhenti menulis dan menyahut,

"Ya, Caroline. Masuklah,"

Caroline menampakkan setengah dari tubuh kecilnya dari pintu, "Your Grace, His Grace Duke ingin bertemu dengan Your Grace di ruang kerjanya,"

Wilhelmine menghembuskan nafasnya. Ia menoleh ke arah pembantunya, Caroline. Dan tersenyum hangat. "Baiklah, Caroline. Terimakasih."

Dengan malas, Wilhelmine bangkit berdiri dan berjalan ke arah ruang kerja suaminya.

***

"Australia? Kau akan menjadi Gubernur Jendral, di Australia?" Wilhelmine memijat pelipisnya. Bagus, sekarang mereka akan pindah lagi. Wilhelmine bahkan belum pergi ke semua tempat yang ada di Virginia. Dan belum bertemu dengan semua orang yang ada di Virginia. Dirinya belum puas tinggal di Virginia. Dan kini mereka akan pindah ke Australia.

"Aku tidak akan mengulangi perkataanku, Wilhelmine. Sebaiknya kau mulai menyusun barang-barangmu mulai dari sekarang. Kita akan pindah minggu depan," Duke Wellington mematikan rokok yang ia hisap. Tangannya meneguk segelas whiskey hingga habis.

Wilhelmine menatap Duke Wellington. "Apakah aku tidak bisa tinggal di Virginia? Abbie tentu akan memperbolehkanku tinggal di rumahnya," usul Wilhelmine, yang membangkitkan kekesalan Duke Wellington.

"Tidak. Apa yang orang akan katakan ketika mereka melihatku sampai di Australia seorang diri? Mereka akan mencaci kita. Itu akan memperburuk karirku." Wilhelmine menghembuskan nafasnya dan semakin memijat pelipisnya. Duke Wellington bangkit dari kursinya, sambil membawa botol Whiskey yang tersisa setengah lagi.

Wilhelmine memangku kepalanya dengan tangan kanannya. Ia tidak mau pindah dari Virginia. Namun, ia juga tidak mau dicap sebagai istri yang buruk, oleh orang-orang.

***

Gaun-gaun putih yang dimiliki Wilhelmine sekarang berada di luar ruang ganti, tengah dilipat oleh Caroline, yang diperintahkan Duke Wellington untuk membantu istrinya mempersiapkan perpindahan mereka ke Australia. Sang Duchess sendiri, tengah memastikan tidak ada gaunnya yang tertinggal di dalam ruang ganti. Mengingat mereka mungkin tidak akan pernah kembali lagi ke Virginia.

Wilhelmine melangkah keluar dari ruang ganti setelah memastikan semua gaun-gaunnya sudah berada di luar. Ia mendapati Caroline sedang melipati gaun-gaunnya yang jumlahnya cukup banyak.

"Sini, Caroline. Aku akan membantumu," tawar Wilhelmine membuat Caroline menggelengkan kepalanya dengan cepat. Duke Wellington bisa saja memecatnya jika ia mengetahui hal ini.

"Tidak apa-apa Caroline. Duke tidak akan tau," ujar Wilhelmine meyakinkan Caroline yang tidak yakin memperbolehkannya untuk melipat gaun-gaun.

Caroline mengangguk pasrah, memberi sang Duchess sebuah gaunnya yang belum terlipat rapi.

"Oh, Caroline, aku sangat tidak ingin pindah dari Virginia," ucap Wilhelmine sambil melipat gaunnya dan menaruhnya ke dalam koper besar. Caroline menoleh ke arah Wilhelmine sambil tersenyum.

"Aku pikir Your Grace tidak menyukai Virginia,"

Wilhelmine terkekeh, "Mengapa kau berpikir begitu?"

Gadis muda itu menggeleng, sambil mengambil sebuah gaun lagi. Wilhelmine kembali terkekeh melihat Caroline. "Aku harap Duke Wellington akan mengikutkanmu ke Australia,"

"Mengapa Your Grace berharap seperti itu?" Caroline bertanya sedikit kebingungan, sambil menaruh sebuah gaun di koper, lalu mengambil yang lain untuk dilipat.

Wilhelmine menoleh ke arah Caroline, "Karena kau penting,"

Caroline tersenyum malu, ia tidak pernah dianggap penting sebelumnya. Pelayan itu sangat terharu akan perlakuan sang Duchess kepadanya. Walaupun Duke Wellington sering membuat Caroline merasa tidak berharga, Wilhelmine selalu bisa membuat Caroline merasa spesial.

"Terima kasih, Your Grace. Aku sangat bersyukur bisa bekerja untuk Your Grace."

____________

Halo semua! Author kembali lagi di dunia oranye ini! Rindu ga nih??

Btw, ini gimana ceritanya? Alurnya bagus ga? Atau makin jelek dan bosan? Komen pendapat kalian yah. 

Sebagai hadiah permintamaafan author yang menghilang selama hampir sebulan, malam ini akan publish dua bab!

JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT

THANKYOU!!

Duke and Duchess of WellingtonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang