Ayat 9. Ayat-ayat Setan

7.8K 578 61
                                    

dukung cerita ini dengan vote dan komen, juga follow akun @Jaya_Suporno dan @JayaSuporno

______________________________________

Gadis itu keluar dari peraduannya. Bȧsȧh dan tėlȧnjȧng. Pȧhȧnya yang jenjang diliputi lelehan keringat yang terlihat berkilau dan bermanik-manik. Cahaya matahari pagi masuk dari kisi-kisi jendela kayu, jatuh di atas wajahnya yang bersemu merah dan kelelahan. Sementara sepasang büȧh dȧdȧ yang remaja tampak dipenuhi jejak-jejak kecupan.

Menjadi pengantin ghaib tak sepenuhnya mengerikan seperti yang dibayangkan.

Kinanti, batin Sari. Huh, bodoh sekali anak itu! Seharusnya Kinanti bisa memiliki semua ini. Tapi ia memilih hidup seperti orang biasa dan menyianyiakan kesempatan emas yang diberikan Kanjeng Budhe.

Menjadi pengantin ghaib berarti melepaskan Ebtanas yang tinggal beberapa minggu. Tapi siapa yang perlu Ijazah SMA jika ia bisa hidup berleha-leha sampai tua? Dan siapa yang perlu suami jika mereka, makhluk-makhluk ghaib itu bisa memberinya kepüȧsan badani?

Kalian tidak bakalan mengerti jika belum mengalami. Kelamin perkasa makhluk-makhluk yang menyetübühinya bergiliran setiap malam itu. Jika kau mau berkompromi dengan tübüh yang penuh bulu atau raut muka rata tanpa hidung dan bola mata, Sari bahkan kehabisan kata-kata untuk menggambarkan püncȧk kenïkmȧtan yang diraihnya.

Sepasang mata Sari bergerak angkuh menyambut. Kinanti bersama beberapa abdi masuk dalam balutan jarik yang menampakkan leher dan pundak. Menghaturkan air kembang dan minyak untuk membersihkan tübüh Sang Junjungan yang bersila layaknya seorang Ratu.

Untuk empat puluh hari dan empat puluh malam kedepan, Sari akan melakukan laku tirakat seperti yang dahulu pernah dilakukan oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat. Melepaskan diri dari segala kemelekatan duniawi, Sari diharuskan menanggalkan segala atribut yang melekat di tübüh, pȧkȧïȧn, perhiasan. Pelepasan total. Penyerahan diri yang paripurna sebelum menghadap Sing Mbaurekso. Karena perhiasan sejatinya hanyalah perlambang kesementaraan, dan ia diharuskan kembali seperti sebagaimana ia dilahirkan.

Kinanti berusaha memalingkan muka dari bagian ïntïm sepupunya yang tak berbulu ketika ia berlutut dan membersihkan betis dan pȧhȧ. Wajah manis Kinanti agak bersemu membayangkan bahwa seharusnya dirinyalah yang berada di tempat ini. Tapi tėlȧnjȧng bulat selama empat puluh hari empat puluh malam? Ya Allah, bagaimana rasanya?

"Kamu ndak akan pernah mengerti kalau belum merasakannya, Kinan," Sari berkata, seolah bisa membaca isi benak Kinanti.

Para Abdi mohon diri, tapi Sari menahan Kinanti sedikit lagi. Kelambu sutera yang melingkupi sebüȧh pendopo kayu kecil yang difungsikan sekaligus peraduan. Sari akan bermeditasi hingga tengah hari, tapi entah kenapa, ditahannya lengan Kinanti.

"Benar kamu akan bėrȧngkat ke kota J hari ini?"

"Kalau ndak hari ini, paling lama besok pagi. Bapak masih harus mengurus sürȧt-sürȧt di sekolah saya," Kinanti menjawab sambil menunduk, berusaha memalingkan mata dari ketėlȧnjȧngan Sari.

"Lalu?"

"Yah. Seperti yang mbak Sari tahu sendiri. Kuliah."

"Dan hidup seperti orang biasa. Menyianyiakan kesempatan yang diberikan Kanjeng Budhe kepadamu," nada suara Sari terdengar merendahkan.

"Ndak apa-apa. Saya... cukup begini saja."

Sari mengangguk pelan. "Mungkin memang seperti ini jalannya."

Kinanti membalas dengan senyum masam di bibirnya, ─entah kenapa─ ada sisi dalam dirinya yang tidak rela.

"Tapi saya selalu mendoakan mbak Sari agar mendapatkan yang terbaik."

Semayam ™Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang