Ayat 3. Kuasa Ramalan

12.4K 775 117
                                    

dukung cerita ini dengan vote dan komen, juga follow akun @Jaya_Suporno dan JayaSuporno

______________________________________

Istighfar adalah kata yang pertama kali terucap dari bibir Kinanti ketika ia membuka mata. Ya Allah, bagaimana bisa saya terbangun dalam kondisi tanpa büsȧnȧ?!! Padahal jelas-jelas sebelum tidur dirinya masih mengenakan daster batik yang kini malah terlipat rapi di dekat kepala. Kinanti menggeragap terjaga, menutupi tübühnya dengan selimut jarik seadanya. Membayangkan ada 'sesuatu' yang diam-diam menelanjangi tübühnya dalam tidur rasanya terlalu mengerikan!

Barulah ketika mendengar suara pintu kamar Kirana yang terletak di sebelahnya terbuka, gadis itu melesat keluar dalam balutan pȧkȧïȧn ala kadar. Suara merdu Kirana yang sedang mengaji membuat Kinanti merasa memiliki sedikit keberanian untuk keluar dari tempat persembunyian.

Ini adalah yang ketujuh kalinya dalam minggu ini, batin Kinanti. Padahal bulan lalu, sėrȧngan ini hanya muncul pada hari-hari tertentu, tapi makin lama intensitas dari anomali ini terasa semakin kerap saja!

Kinanti membasuh rambut dan tübühnya banyak-banyak dengan air dingin. Cȧïrȧn lïcïn yang masih menetes dėrȧs dari pȧngkȧl pȧhȧnya membuat gadis tujuh belas tahun itu pȧhȧm betul bahwa dirinya telah berjunub dengan hal yang tak kasat. Ya Allah! Apa salah hambamu ini...? batin Kinanti lirih.

Seharian itu Kinanti lebih banyak termenung. Walaupun ingin, mengaku bahwa dirinya tertidur tanpa bėnȧng sėhėlȧïpun akan terdengar sedikit canggung. Kinanti selalu dididik untuk menjadi anak yang taat kepada anggah-ungguh budaya Jawa, dan tidur dalam kondisi tanpa büsȧnȧ sama halnya dengan menyerahkan diri kepada Syaitan untuk diduduki perutnya!

Kakaknya baru tiba sehari, dan menceritakan hal ini pada Kirana sama halnya dengan memulai pėrȧng sipil antara sang kakak dan keluarga besarnya yang masih taat memegang budaya Kejawen.

Kinanti pȧhȧm betul, semenjak berkuliah di kota besar, Kirana adalah orang yang paling acap untuk membawa 'ajaran pembaharu' di keluarga ini. Tentu saja Bapak dan Kanjeng Budhe adalah orang yang paling tidak setuju, karena 'memurnikan tauhid' berarti meninggalkan praktek turun temurun yang memuliakan pusaka keluarga dan arwah-arwah para leluhur.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =

"Dik Kinanti, nanti sore jangan lupa kamu ke tempat Budhe, ya... ambil sajen, karena malam ini Malam Sabtu Pahing," pesan sang ibunda ketika ia baru saja pulang sekolah.

"Inggih, bu," kata remaja itu sopan, sebelum mencium tangan ibunya.

Adalah R.A Roesmini, nama lahir kakak ayahnya yang paling tua, Budhe-nya. Kinanti biasa memanggil wanita berusia 60 tahun itu dengan sebutan Kanjeng Budhe, wanita yang paling dihormati dan disegani di keluarga itu, bahkan di desanya.

Kanjeng Budhe menempati rumah Joglo besar di dekat desa yang merupakan peninggalan kakek buyutnya. Memiliki puluhan pekerja dan abdi setia, Kanjeng Budhe memiliki usaha batik dan berhektar-hektar sawah. Kaya raya, cantik, cerdas, seharusnya sudah lebih dari cukup untuk membuat wanita berdȧrȧh biru itu digila-gilai oleh para Raden Mas dan Anak Bupati, tapi nyatanya menginjak menginjak usianya yang keenampuluhenam Kanjeng Budhe masih betah menyendiri.

'Mungkin belum ada jodohnya', gunjing Ibuk sambil berbisik, karena sungguh, tak ada satupun orang yang berani mengungkit-ungkit hal itu di depan Kanjeng Budhe. Lancang memasuki teritorinya berarti mengambil resiko gendang telingamu menerima rentetan kata-katanya yang pelan, tapi terasa menyakitkan. Kinanti pȧhȧm betul itu, meski Kirana, kakaknya adalah orang yang paling sering mendapatkan petuah yang lebih pahit dari jamu temuireng.

Semayam ™Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang