Ayat 10. Malam Jahanam

8.8K 562 54
                                    

dukung cerita ini dengan vote dan komen, juga follow akun @Jaya_Suporno dan JayaSuporno

______________________________________

"Sudah kukatakan, Mas. Pasugihan ini hanya akan membawa bencana!"

"Kamu ndak pȧhȧm, Har!"

"Ndak pȧhȧm apa?! Sampeyan lihat sendiri hasilnya!"

"Maka dari itu...─"

"Maka dari itu, apa?!" cecar Haryo. "Sampeyan sendiri yang bilang, semua ini akan selesai kalau Sari mentas sebagai junjungan, tapi kenyataannya?"

"Maka dari itu, biarkan aku meminta petunjuk dari Sang Mbaurekso terlebih dahulu!"

"Persetan. Lama-lama aku pun muak dengan semua takhayul ini. Kalau bukan menghormati Almarhum Bapak dan Eyang Kakung, sudah lama aku membakar semua pusaka-pusaka terkutuk itu!" dengus Haryo.

Kusno menggeram geram. Menaikkan intensitas ketėgȧngan di antara dua kakak beradik itu. Tapi sang kakak memilih duduk, menyalakan rokok Klobot untuk meredakan amarah.

"Aku sudah banyak memasang bermacam-macam Pasugihan di seantero negeri, tapi tidak di keluarga ini. Eyang Kakung, Kanjeng Budhe, dan orang-orang terdahulu tidak pernah meminta-minta kekayaan. Tidak, selain yang telah dititipi oleh Kanjeng Sultan kepada kita dahulu."

"Mbelghedes (membual)," dengus Haryo. "Lalu untuk apa semua ini kalau bukan untuk kekayaan?!"

"Perlindungan," desis Kusno pada akhirnya

"Perlindungan dari apa?" alis Haryo seketika tėrȧngkat.

"Kegelapan," sahut Kusno dalam. "Kegelapan, Har...," ia berkata lagi. "Kegelapan yang lebih jahat."

Gemuruh besar terdengar mengamini.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Ada marabahaya yang sedang mengintai keluarga itu. Apapun itu, Kinanti seperti kehabisan kata-kata untuk bisa menjabarkan intuisi yang mengusiknya semenjak kemarin malam. Seharusnya semua selesai dengan mentasnya Sari sebagai junjungan. Seharusnya ia bisa terlepas dari kutukan yang membuat Kinanti menelanjangi diri hampir di tiap malam. Tapi, tetap saja, seberapapun kuat ia mencoba Kinanti tetap saja tidak bisa mengusir rasa resah yang menggelayut seperti awan mendung dan tanda kabung.

Keluarga itu menggunakan Pesugihan, bisik warga desa yang iri. Lihatlah, sekarang mereka akan membayar akibatnya, Kinanti hanya mendengar sayup-sayup kasak-kusuk itu ketika ia melintas di pasar.

Kalau Almarhumah Kanjeng Budhe masih ada, beliau pasti tidak akan bersependapat. Laku tirakat yang dijalaninya selama bertahun-tahun jauh lebih dalam dari sekedar mendapatkan kekayaan secara instan. Sosok Junjungan adalah Puser, perwakilan dari Hyang Ghaib ─atau dengan sebutan apapun kau memanggilnya─ di dunia material. Dan Kanjeng Budhe mengorbannkan segala masa mudanya demi menjadi persimpangan titik bertemunya yang nyata dan yang ghaib. Kemanunggalan yang hakiki.

Kiri bukan berarti jahat, kilah Kanjeng Budhe. Sebagaimana Yang Satu menciptakan gelap-tėrȧng beriringan, kau tak akan pernah bisa mengenal konsep 'tėrȧng' tanpa mengenali suatu konsep yang disebut 'gelap' terlebih dahulu. Karena sungguh, hitam dan putih, kegelapan dan cahaya, adalah satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Dan Seperti mata pisau, semua berpulang pada manusia yang memanfaatkannya.

Bagi Almarhumah, Bhairava Tantra hanyalah jalan menuju Yang Satu, peleburan diri antara Atman dan Brahman, Roh dan Semesta, sehingga tidak ada lagi jarak antara antara makhluk dan Pencipta. Karena Dia terlalu agung untuk dikungkung dalam wujud Patung ataupun perlu dinamai.

Semayam ™Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang