Ayat 6. Ketakutan Primal

7.6K 630 71
                                    

Jangan lupa vote dan komen, terus follow akun ini dan akun JayaSuporno
____________________________________

The oldest and the strongest kind of fear is the unknown," tiba-tiba saja ia teringat kutipan dari pengarang terkenal H.P Lovecraft. Betapa sesungguhnya yang mengerikan bukanlah sosok yang mėrȧngkak di dalam gelap, melainkan ketika menyadari betapa terbatasnya apa yang kau ketahui di balik kegelapan itu sendiri. Perasaan mencekam yang hadir ketika engkau menyadari bahwa ternyata ada 'sesuatu hal mengerikan' yang berada di luar pemahamanmu, bahwa kau tak tahu apa-apa mengenai apapun itu... Tentang apa yang bisa diperbuat nya...... itulah teror sebenarnya... Rasa takut yang primal....

Tapi selayaknya manusia yang dibekali akal sehat. Ia selalu meyakini, bahwa rasa takut hanyalah büȧh dari evolusi, sebagaimana ia bisa bermanifestasi menjadi wujud berbagai makhluk mitologis yang semata-mata berasal dari alam khayali.

"Kenapa? kamu melihat apa tadi?" ia berkata lembut kepada kemenakannya yang masih pucat pasi.

Kirana menunduk, gemetar dalam diam. Teh hangat di hadapannya bahkan nyaris tak tersentuh.

Jeritan Kirana membangunkan seisi rumah. Bapak datang membawa senter dan tak menemukan apapun selain Kirana yang membeliak penuh horor sambil menunjuk ke arah Petilasan Kanjeng Budhe. Bram memapahnya segera, Pakde Kusno membacakan jampi-jampi. Kirana diurapi dengan air kembang. Suara tarhim mulai terdengar sayup, tapi Kirana seolah masih bisa merasakan semua sensasi itu pada indera-inderanya... Ujung-ujung kuku itu... Aroma mayat itu...

Kenapa?

Kenapa Kirana?

Kenapa baru sekarang?

─Mengerikan.

= = = = = = = = = = = = = = = = =

Fajar mulai menyingsing dan menanakkan pagi seperti nasi. Selain kasak-kusuk tentang Kirana yang semalam 'didatangi', ─entah oleh apa─ nyaris tak ada sesuatu pun yang berbeda. Tempat ini ternyata masih saja menyimpan segala misteri dan kejahiliyahannya, dan ia terlalu muak untuk peduli.

Bram sedikit lebih beruntung ketimbang kakak-kakaknya. Beasiswa yang diterimanya dari sebüȧh Yayasan di Jakarta membuatnya bisa melarikan diri dari mistisme di usianya yang ke-18. Hidup normal, menikah, dan meninggalkan segala zulümȧt itu jauh di belakang.

Siapa yang mengira ia akan kembali ke tempat ini?

Rumah ini nyaris tidak berubah. Angker dan wingit sebagaimana ia meninggalkannya terakhir kali. Tembok-tembok putih tinggi yang ditumbuhi kerak lumut di beberapa sisi. Ukiran-ukiran yang menggelap. Juga gamelan dan berbagai pusaka yang selalu berhasil membuat bulu kuduknya meremang karena terkadang berbunyi pada hari-hari tertentu.

Pria tampan berusia empat puluhan awal itu sedang menghirup kopi sambil mengenang masa kecil bersama Sophie. Istrinya, wanita keturunan Belanda duduk di sebüȧh meja kayu jati. Teh melati pada cangkir. Kuku-kukunya tak henti mengetuk pada tepian meja.

"Kapan kita kembali ke kota J, Mas?"

"Sampai hari ketujuh selametan Mbak Rus, mungkin."

"Perasaanku tidak enak," berkata Sophie.

Bram menghela napas berat.

"Kau bicara tentang kejadian Kirana, dik?"

Sophie mengangguk. "Aku khawatir kepada Alma."

"Masih ada Sari. Aku sudah mengatakan itu kepada Mas Kusno."

Penjelasan itu tak menghilangkan raut gundah di wajahnya. Sophie menunduk, meremas tangan kuat-kuat.

Semayam ™Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang