Ayat 2. Gending Nokturnal

13.6K 790 86
                                    

dukung cerita ini dengan vote dan komen, juga follow akun @Jaya_Suporno dan JayaSuporno

______________________________________

Asap yang mengepul dari arah dapur menandakan kehidupan di rumah itu sudah mulai berdenyut. Harum kerosen menguar dari sepasang tungku minyak tanah yang menyala. Ketel mendidih dan dandang nasi bertengger di atasnya. Ibunya menyeduh beberapa gelas teh dan kopi hangat untuk penghuni rumah yang akan bangun tak seberapa lama lagi.

Suara guyuran air terdengar dari arah kamar mandi semi terbuka yang terletak di halaman belakang diikuti dengan sosok remaja mȯntȯk yang keluar dalam balutan jarik bȧsȧhan. Setelah bersuci dan berpȧkȧïȧn rapi, Kinanti melangkah menuju Langgar keluarga yang terletak di halaman depan, bersiap menunaikan solat subuh di dalam. Langit mulai diwarnai gradasi keunguan, dan suara tarhim sudah terdengar dari pelantang Surau desa pertanda waktu sholat akan tiba tak lama lagi.

Gadis manis itu tersenyum mendapati kakaknya yang sudah berzikir khusyuk. Melihat kedatangan sang adik Kirana tersenyum menyambut dalam mukena.

"Sholat, Dik?"

"Iya."

"Mau berjama'ah?"

Kinanti mengangguk manis.

Bagi Kinanti, kakaknya adalah setengah Dewi. Bertolak belakang dengan dirinya yang cenderung hitam manis, Kirana memiliki ciri-ciri fisik sebagaimana yang seharusnya dimiliki oleh seorang Raden Roro, hidung bangir, kulit kuning langsat, dan rambut hitam lebat yang memanjang sepundak.

Kirana yang aktif dan ekstrovert seolah menjadi idola bagi Kinanti yang pendiam dan pemalu. Bagaikan titah komandan kepada prajuritnya, Kinanti selalu menuruti apapun yang diperintahkan oleh sang kakak, termasuk mencuri labu dari kebun Budhe-nya yang terkenal galak itu, (yang berujung keduanya digampar dengan penggebuk kasur oleh sang ayah).

Keduanya dibesarkan dalam budaya Jawa yang puritan. Dȧrȧh biru yang mengalir dėrȧs dalam pembuluh dȧrȧh membuat kakak beradik itu tidak memiliki pilihan lain selain tunduk pada ajaran yang represif. Kirana tidak pernah meminta dilahirkan dari keluarga ningrat, dan didikan otoriter itu justru membuatnya memberontak.

"Dik?" Kirana berkata memulai. Peristiwa semalam rasanya terlalu ganjil untuk tidak ditanyakan.

"Dalem?"

"Semalam kamu ndak denger suara aneh po'o?"

Kinanti menggeleng. "Suara apa, Mbak?"

"Semalam Mbak mendengar suara menembang dari dalam kamarmu.

"Ah, Mbak ini, mungkin itu suara radio Ibuk," Kinanti tersenyum menghindar.

"Benaran. Dengan jelas sekali Mbak mendengar."

"Tapi semalam saya tertidur. Nyenyak sekali malah," sahut Kinanti sambil memalingkan muka.

Kirana menatap wajah adiknya dalam-dalam, mencoba mengejar mata Kinanti yang seperti ingin melarikan diri dari tatapannya.

"Dik. Semalam kamu ndak apa-apa, tho? Jujur sama Mbak."

Kinanti menghela napas dalam.

"Saya... ndak apa-apa, Mbak... selama ini... saya... ndak diapa-apaken...."

"Maksud kamu apa?"

"Nanti... Mbak juga akan tahu sendiri... saya sholat Sunah dulu. Mari."

Adzan Subuh yang berkumandang mencegah Kirana mengorek lebih jauh lagi. Laras Slendro penyeru mengalun ganjil dalam cengkok Jawa. Kirana semakin tenggelam dalam elegi, dan terpaksa menyimpan semua pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.

= = = = = = = = = = = = = = = = =

Keluarga itu menyimpan rahasia, tapi Kirana belum tahu apa. Eyang Buyutnya konon moksa, wafat tanpa meninggalkan jasad yang kasat. Terlebih itu, Kirana percaya ada 'kutukan tidak resmi' yang mengenai anggota keluarga perempuan dalam trah mereka. Ibunya berkilah, 'itu karena belum nemu jodohnya saja', tapi entah kenapa, selalu saja ada anak perempuan yang menjadi perawan tua.

Dalam benda-benda pusaka biasanya bernaung yang namanya jin nasab. Nenek moyang Kirana barangkali pernah mengikat perjanjian, entah untuk tujuan apa. Yang pasti, bersekutu dengan selain Allah hanya akan membawa ke-mudhorot-an, karena kita tidak pernah tahu imbalan apa yang pernah dijanjikan oleh nenek moyang kita kepada makhluk dari sisi dunia yang satunya.

Tapi Kirana percaya, ─sebagaimana dia mengimani Substansi Maha Agung yang berkuasa atas yang nyata dan yang ghaib─, bahwa tak ada yang perlu ditakutkan kecuali Tuhan.

Maka ketika mendengar tembang yang sama di malam berikutnya, Kirana tidak lagi bisa menahan diri. Berbekal ayat Kursi yang dibaca kuat-kuat dalam hati, Kirana mengendap dan mencari asal suara, ─Aneh betul, karena kali ini suara kidung itu berasal dari halaman belakang.

"Lingsir wengi / sliramu tumeking sirno / ojo tangi nggonmu guling / awas ojo ketoro..."

(Menjelang malam, bayanganmu mulai sirna / jangan terbangun dari tidurmu / awas, jangan memperlihatkan diri...)

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = ==

Kirana tinggal dalam rumah bergaya Joglo dengan halaman luas. Kamar mandi terletak di dekat dapur yang dihubungkan dengan selasar panjang dari bangunan utama. Ada sebüȧh sumur dengan perigi di dekatnya, dan Kirana harus melalui lȯrȯng gelap itu untuk sampai ke kamar mandi.

Sepanjang yang diingat Kirana, dirinya tidak pernah menyukai tempat itu. Sejak kecil Kirana selalu merasa ada sosok-sosok jangkung yang mengintai dari balik kegelapan yang menyelubungi rumpun-rumpun pisang di halaman belakang rumahnya, meski seiring bertambahnya usia, Kirana mulai mempelajari bahwa jin dan syaitan takut kepada ayat Kursi.

Angin malam menghembus ganjil ketika ia melangkah melewati sumur di belakang rumahnya. Bulan mati, tapi Kirana bisa melihat dengan jelas siluet pohon-pohon pisang yang bergoyang-goyang seperti layaknya segerombolan pocongan...

Suara tembang semakin jelas terdengar... Sesosok wanita dengan rambut terurai berdiri gemulai di antara pohon-pohon pisang, bergerak seperti melayang di antara bayang-bayang...

"Jin setan kang tak utusi... dadyo sebarang... ning wojo lelayu sebet...." (jin setan kuperintahkan / jadilah apa saja / tapi jangan membawa petaka)

Kirana hampir memekik ketakutan jika tidak menangkap raut wajah yang sangat dikenalinya. Kinanti?! Sedang apa dia di sini?!

Karena demi Tuhan yang sungguh diimaninya, Kirana melihat dengan mata kepalanya sendiri, adiknya tengah menari sambil menembang di antara pohon-pohon pisang. Dan yang paling mengerikan, Kinanti tak mengenakan sėhėlȧï bėnȧngpun di atas tübühnya. Kirana bisa melihat sepasang büȧh dȧdȧ Kinanti yang mȯntȯk beserta tajuknya yang mencuat, juga bok0ng sėkȧl adiknya yang berlenggak-lenggok mengikuti tarian ėrȯtïs bak seorang penari tayub, seolah Kinanti sedang menghibur sekelompok penonton yang tak kasat....

_______________________________________________________

Semayam ™Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang