Ayat 15. Pralina

6.9K 543 155
                                    

dukung cerita ini dengan vote dan komen, juga follow akun @Jaya_Suporno dan JayaSuporno

______________________________________

Itu bukan kakaknya. Kinanti langsung tahu dari sepasang sorot mata yang menatapnya dengan nȧfsü membünüh. Tübühnya tėlȧnjȧng dan dibalut dengan dȧrȧh korban-korbannya yang membeku, melangkah di antara jasad-jasad yang tergantung.

Intuisi Kinanti memberikan peringatan tanda bahaya. Kakinya melangkah mundur ketika ia menangkap kehadiran sosok-sosok lain yang mengintai dari balik kegelapan. Bayang-bayang kaku yang hanya mengenakan secarik kain putih menutupi wajah. Mengepung dari segala penjuru. Pakde Kusno dan Sisya (murid-murid) Kanjeng Budhe. Berdiri tanpa airmuka dan mata membeliak putih. Menoleh pelan ke arah Kinanti.

Jalan buntu.

"Kamu mencari ayahmu?" Kirana tersenyum

Mata Kinanti memicing. "Kau apakan Bapakku?!"

"Ikutlah," Kirana berbalik dingin.

Kinanti hanya bisa mendengar suara langkahnya yang berjalan di lȯrȯng-lȯrȯng gelap Istana Kanjeng Budhe. Aroma dȧrȧh. Sesekali kakinya menyandung beberapa jenazah hingga perlahan retinanya menangkap cahaya jingga di Pekuburan. Nyala pelita. Di tempat itu puluhan Sisya sedang terlarut dalam ritus Pancamakara berpesta di atas tumpukan mayat. Tėlȧnjȧng bulat, dan menari-nari di atas satu kaki. Gemuruh hujan justru membangkitkan gȧïrȧh para pengikut Bhairava itu, mengentaskan bïrȧhï-bïrȧhï mereka dalam sebüȧh pesta sėks ȯrgy yang digelar di atas batu-batu nisan.

Menyadari kehadiran Sang Ratu, beberapa menoleh ke arah Kirana dan menarik gadis molek itu bergabung. Hujan turun dėrȧs membȧsȧhi kulit mülüsnya dengan buliran-buliran air yang segera dijilati oleh pengikut-pengikutnya. Tersenyum binal, Kirana membiarkan dirinya dibopong ke atas singgasana yang terbuat dari potongan mayat, di atas pangkuan seorang pemuda kekar dan sepasang büȧh dȧdȧnya dilümȧt oleh dua orang remaja putri.

Seorang menyodorkan tempurung kepala yang berisi arak bercampur dȧrȧh dan ditegak Kirana dalam satu tegukan.

"Bergabunglah, nak. Kegelapan akan tiba seperti yang diramalkan."

"Lepaskan Mbak Kirana dan Bapak!"

"Kirana? Anak ini? dia sendiri yang menyerahkan jiwanya kepadaku demi menyelamatkanmu," Kirana tersenyum sendu karena kepala seorang wanita paruh baya kini terbenam di antara kedua pȧhȧnya.

"DIAM!" hardik Kinanti, mendȧdȧk udara di sekelilingnya memekat oleh hawa panas yang menguapkan titik-titik hujan ke udara. "Lepaskan mereka, atau—"

"Atau,─" Kirana tersenyum mengancam. "Apa?"

Belasan Sisya membuka jalan dan mengusung empat tübüh tėlȧnjȧng yang diikat bagaikan hewan buruan di dalam kurungan babi.

"Bapak!" Kinanti memekik panik, tapi segera dihalangi oleh beberapa Sisya yang bersenjatakan keris dan tombak.

Haryo terengah dalam belenggu tali sabut kelapa yang mengikat tübühnya, luka bȧcȯk di perutnya sudah ditutup oleh boreh, menyisakan dȧrȧh beku yang mengilap pada abdomennya. Sementara Bram babak belur dihajar oleh para Sisya.

"Apa yang kau inginkan?"

Kirana tersenyum keji. "Penyucian."

Sang Ratu Teluh memberikan isyarat dengan punggung tangannya. Seketika itu Alma dan Sophie dilemparkan ke dalam kerumunan anggota Sekte yang berpesta. Tübüh Alma yang mungil segera menjadi bulan-bulanan para pengikut aliran Kiri itu dilümȧt dan dimandikan dengan cȧïrȧn kėntȧl yang menjejali setiap rongga tübühnya. Alma mengejang sekarat. Kehilangan kesadaran. Cȧïrȧn merah meleleh membȧsȧhi pȧngkȧl pȧhȧnya. Bram menggėrȧng murka melihat anak dan istrinya dinodai, tapi tali sabut kelapa yang membelenggu setiap persendiannya membuatnya tak memiliki pilihan apapun selain menggeliat penuh amarah.

Semayam ™Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang