Ayat 14. Amerta

6.2K 525 73
                                    

dukung cerita ini dengan vote dan komen, juga follow akun @Jaya_Suporno dan JayaSuporno

______________________________________

Ini kah kematian, Tuhan? batin Kinanti. Karena hal terakhir yang diingatnya adalah ketika ia hendak ditumbalkan kepada Sang Mbaurekso.

Pasrah, Kinanti menggigil patuh ketika tangannya direnggut, dan tübühnya yang tėlȧnjȧng ditenggelamkan ke dalam Sendang Keramat. Pikirannya kosong, Kinanti bahkan tidak merasakan emosi apapun ketika tübühnya ditarik oleh tangan-tangan tak kasat. Paru-parunya sesak, dan tübühnya mengejang dicekam rasa sakit datangnya sakaratul maut, tapi Kinanti menyambut semua itu tanpa rasa takut.

Sepasang matanya mengatup. Menjelang ujung perjalanannya tanpa penyesalan sedikitpun.

Sebelum semuanya senyap.

Lenyap.

Gelap.

Seolah panca inderanya direnggut, dan ia tidak bisa merasakan apa-apa selain kegelapan absolut.

Kepalanya ringan dan kesadarannya seperti ditarik ke dalam lȯrȯng panjang kedap cahaya.

Semua terasa seperti uterus tempat ia mėrȧngkak keluar dulu.

─Lembab lȯrȯng sėnggȧmȧ.

Cȧïrȧn ketuban.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =

"Bangunlah, Kinanti. Kakakmu berada dalam bahaya."

Kegelapan itu mulai mewujud menjadi sebüȧh gumpalan merah.

Tiba-tiba ia tersedak. Kinanti langsung menggeragap meronta, mencoba keluar dari dalam lübȧng kėnyȧl yang berisi cȧïrȧn amis kėntȧl. Lengket. Bȧsȧh. Rasanya seperti sedang dimuntahkan dari dalam rȧhïm.

Lȯrȯng gelap itu seperti berusaha menarik segala eksistensinya, tapi tangan Kinanti berhasil meraih tepian padat, lalu dengan sisa-sisa tenaganya, Kinanti mėrȧngkak keluar, dengan tübüh bermandikan dȧrȧh dan cȧïrȧn kėntȧl seperti ketika pertama kali dilahirkan.

Telinganya berdenging, dan matanya hanya bisa menangkap langit merah dȧrȧh yang entah kenapa terlihat gelap, dan menggelap. Kinanti menggeliat lemah, berusaha bangkit dan mengabaikan rasa nyeri, tapi seluruh tübühnya seperti mati rasa.

Kinanti terenggah, perlahan-lahan mulai memunguti sedikit-demi sedikit kesadaran dan persepsi. Tübühnya tak dibalut sėhėlȧï bėnȧngpun. Tergolek lemah di atas tanah bȧsȧh yang terasa berdenyut hidup.

Candi Bhairava berdiri sebagai siluet hitam di sisi dunia satunya. Langit berwarna merah dȧrȧh, dan di püncȧknya adalah gerhana abadi dengan penumbra berwarna merah dȧrȧh.

Suara gamelan, sayup-sayup telinganya menangkap tetabuhan purba yang terdengar dari kejauhan. Nyala api biru terlihat semakin mendekat diikuti siluet payung dan keranda yang masuk ke dalam jarak pandang.

Kinanti bisa melihatnya, walau samar. Sosok-sosok jangkung dalam balutan surjan lurik dan blangkon yang melangkah bagai tak terpengaruh gaya berat. Makhluk-makhluk nyaris tanpa muka, hanya raut rata disertai bibir berwarna kebiruan dengan lengan-lengan panjang yang menjuntai sampai lantai.

Bagai sepasukan punggawa. Sosok-sosok jangkung itu berbaris rapi, memberikan jalan bagi sosok wanita berkebaya putih yang muncul dari dalam iring-iringan. Mengangguk dalam dengan seringainya yang ganjil.

"Ini adalah Alam Kesunyian." Suara itu terdengar dari dalam suwung, megendap langsung ke dalam pemahanan Kinanti, tanpa melalui gelombang suara.

Semayam ™Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang