Ayat 1. Kakang, Kawah, Getih, Adi, Ari-ari

19.9K 974 184
                                    


"Tapi tetap saja, Buk. Meskipun tidak disembah, kalau kita meyakini bahwa keris atau khodam yang berada di dalamnya bisa mendatangkan manfaat atau bencana, hukumnya sama dengan mempersekutukan Allah! Musyrik!" tegas Kirana berapi-api.

"Yo wis. Terserah kamu. Tahu apa Ibuk yang bodoh ini. Ibuk kan hanya mengikuti apa yang sudah jadi tradisi turun-temurun."

"Yang namanya tradisi itu bisa jadi sesat kalau ndak ada tuntunannya! dan yang namanya syaitan itu tidak mungkin tidak menuntut tumbal!"

Ibunya mendengus malas, karena bagi sang ibunda memelihara benda-benda pusaka peninggalan Eyang Kakung itu hanyalah merupakan wujud sembah pangabekti kepada arwah-arwah para leluhurnya; termasuk menghaturkan kembang kanthil malam Jum'at dan bubur merah putih setiap 35 hari sekali.

___________________

Khodam = makhluk yang bersemayam di benda pusaka dan dipercaya memberikan kesaktian bagi penggunanya

Kanthil = cempaka putih (Michelia alba)

Sembah Pangabekti = sembah dan bakti

___________________

Kirana tidak pernah menyukai praktek kejawen yang dilakukan oleh keluarganya. Hanya beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di sebüȧh perguruan tinggi negeri di kota J yang membuat Kirana berhasil melarikan diri dari praktik mistisme turun temurun keluarga besarnya. Dan kepulangan Kirana kali ini memiliki misi penting.

"Payah!" Kirana menghempaskan diri di kasur adiknya yang tengah mengerjakan pekerjaan rumah.

"Sudah tho, Mbak. Sudah tahu yang namanya Ibuk itu begitu," menyahut Kinanti yang asyik terbenam di balik tumpukan buku-buku pelajaran. "Lagipula, kenapa tho kamu itu, baru pulang sehari sudah bikin ribut sama Ibuk? Itu baru Ibuk lho, belum sama Bapak, sama Kanjeng Budhe, bisa-bisa kamu dituthuk nggo suthil kalau bicara seperti itu di hadapan mereka."

_____________________________

Dituthuk nggo suthil = dipentung dengan spatula penggorengan
_____________________________

Kirana terkekeh getir dan memandangi wajah polos adiknya yang kini sudah menginjak kelas III SMA. Rasanya baru kemarin, bocah lucu yang selalu diganggunya itu kini mentas menjadi gadis muda yang segar dan rȧnüm.

"Tapi nek menurutmu, piye, Dik?"

"Tentang keris?"

"Hu-uh."

Kinanti terdiam sejenak.

"Menurut saya, Ibuk hanya menjalankan tradisi yang sudah dilakukan oleh simbah, dan simbahnya lagi... Mbak harus tahu, kalau Ibuk itu cuma berusaha menjaga kearifan lokal."

Kearifan lokal mbahmu, batin Kirana kesal.

"Kalau kamu sendiri?"

"Saya... kalau saya sih manut kata Bapak saja."

"Payah," cibir Kirana. "Kamu takut sama Bapak?"

Kinanti terdiam sejenak. "Anak mana tho Mbak, yang tidak hormat sama Bapaknya," gadis manis itu menjawab pelan.

Kirana mendesah putus asa, rasanya seperti berbicara dengan dinding menghadapi satu keluarga yang bebalnya sudah sampai ke kromosom! Mahasiswi jurusan tingkat akhir itu memilih mengambil air wudhu dan membuka mushaf Al-Quran-nya, tak lama, suara mengalun merdu mengiringi tembang yang diputar lamat-lamat oleh sang ibunda melalui perangkat Radio AM di bale-bale.

Matahari beranjak turun ke peraduan. Sayup-sayup terdengar adzan Maghrib yang dilantunkan dalam langgam Jawa dari Surau desa. Kalaulah Kirana tidak mendengar lafal 'Lailahailallah', pastilah ia akan salah mengira suara penyeru itu sebagai kekidungan Hindu-Budha.

Desa itu berubah sunyi selepas jam 8 malam. Kecuali ada hajatan dan pagelaran wayang kulit, selepas Isya warga sudah memilih berdiam di rumah masing-masing. Tiga tahun merantau di kota besar membuat Kirana membenci kesunyian ini. Berkali-kali ia mengganti frekuensi pėrȧngkat radio di tangannya, tapi yang ditangkapnya hanyalah siaran warta berita.

Lampu menyala redup. Terdengar percakapan sayup. Jam-jam segini ayahnya biasa merokok sambil menghirup teh pahit sepulang bekerja sebagai mandor kepala di sebüȧh Pabrik Gula, kadang-kadang beliau memanggil kedua anaknya, berceramah sebentar, sebelum akhirnya terlelap dalam balai-balai tanpa menunaikan ibadah solat Isya. Dasar Kafir, umpat Kirana dalam hati, sebelum cepat-cepat beristighfar dan memohonkan hidayah bagi sang ayah.

Menginjak tengah malam, aroma rokok klobot yang berasal dari arah beranda depan tak tercium lagi. Suara percakapan sudah berganti menjadi keheningan total yang diisi oleh jangkrik, tapi Kirana belum juga bisa memejamkan mata. Kasur kapuknya terasa terlalu kėrȧs dan hawa dingin yang membekapnya terasa terlalu ganjil dari biasa.

Kirana masih berusaha menutup sepasang matanya ketika ia mendengar suara langkah kaki di depan pintu kamarnya. Mungkin Kinanti, batin Kirana. Namun belum sampai tiga ketukan, suara langkah itu kembali terdengar, dan kali ini diikuti pupuh Durmo yang mengalun pelan.

"Lingsir wengi... / sliramu tumeking sirno... / ojo tangi..."

(Menjelang malam / bayanganmu mulai sirna / Jangan terbangun dari tidurmu)

Ibuk? batin Kirana, karena yang diingatnya ibunya suka menyepi di salah satu kamar kosong di pada malam-malam tertentu. Kirana mengintip melalui pintu kamar yang terbuka secelah, dan indera penciumannya segera diserbu oleh bebauan ganjil. Aroma kembang kanthil yang berasal dari nampan sesaji di almari tempat penyimpanan benda pusaka selalu berhasil membuat bulu kuduknya merinding.

Retinanya beradaptasi pada kondisi kurang cahaya, dan Kirana mulai menangkap bayang-bayang ganjil yang berasal dari belasan keris dan tombak pusaka yang disimpan dalam almari. Tapi tak ada seorangpun di tempat itu, hanya suara tembang yang terdengar sayup di antara ruang tengah yang dipenuhi barang-barang tua....

"Jin setan kang tak utusi... / dadyo sebarang... / wojo lelayu sebet...."

Kirana menajamkan pendengaran, akal sehatnya segera berfungsi menggantikan rasa takut. Suara kidung itu tidak berasal dari alam lain seperti yang disangkakan. Nyanyian itu terdengar lebih dekat dan lebih nyata untuk berasal dari sisi dunia yang satunya.

Kinanti? Kirana mengarahkan cuping telinga. Betul, itu suara Kinanti. Sedang apa anak itu menembang malam-malam?

"Dik," Kirana mengetuk pintu. "Kamu belum tidur?"

Tak terdengar jawaban, malah irama tembang yang terdengar semakin rapat.

"Dik Kinan?" Kirana berkata lagi, kali ini sembari meraih gagang pintu.

Terkunci.

Hati-hati, Kirana merapatkan telinga pada daun pintu. Suara tembang berganti dengan percakapan dalam bahasa Jawa Kromo. Awalnya terdengar seperti monolog panjang, tentang kerinduan seorang gadis pada kekasihnya. Lama, Kirana berusaha menguping pembicaraan di kamar itu, mencoba mencerna kata demi kata yang berdengung dari balik pintu, hingga lamat-lamat gendang telinganya menangkap kehadiran sosok ketiga.

Kirana menahan napas.

Adiknya tidak sendirian di kamar itu.

____________________________________

Jaya S., Sabtu Pahing, 3 November 2018

Semayam ™Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang