dua puluh.

1.3K 228 24
                                    

seungmin melihat wajah hyunjin yang terlihat murung sedari pagi, dan ia tak menyukainya. sekarang sudah malam, ini sudah lama sekali.

walaupun hyunjin tidak seberisik dan seceria itu saat bersamanya di kamar asrama, ia tak begitu menyukai apa yang ia lihat saat hyunjin murung begini. terlihat begitu suram dan menyedihkan—ia jadi ikut sedih.

"lo kenapa? habis balik jalan-jalan harusnya seneng, kan..."

pertanyaan seungmin tidak dijawab, membuatnya mendengus sebal. tapi ia tidak bisa menyalahkan hyunjin, sih. ia berusaha memahami suasana hati hyunjin yang mungkin saja sangat buruk.

seungmin beranjak dari kursi belajarnya dan duduk di tepi ranjang hyunjin. "masih karena hp lo yang hilang?"

"orangtua gue udah ngirimin hp baru kayanya, mungkin besok nyampe," jawab hyunjin, masih menatapi bagian bawah ranjang di atasnya itu.

"terus kenapa masih sedih?"

hyunjin melirik seungmin malas. ia sejujurnya malas menjawab pertanyaan yang kerap dilontarkan padanya. ia hanya ingin beristirahat setelah menghabiskan hari dengan teman-temannya. tetapi ia juga merasa tak enak mengusir seungmin yang berusaha menghiburnya kala ini.

"kak chris masih gak jelas," ia menjawab sambil berdoa mati-matian dalam hati agar seungmin membiarkannya sendiri.

mungkin doanya tersampaikan karena ia anak baik. seungmin tampaknya memahami sorotan matanya yang seolah berbicara 'jangan ganggu aku' itu. seungmin hanya mengangguk singkat dan menepuk kepala hyunjin sebelum ia beranjak menuju ranjangnya sendiri.

hyunjin akhirnya mengembuskan napas lega karena sudah diberi ruang sendiri.

sejujurnya ia masih penasaran mengapa bangchan memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, padahal ia sudah sungguh-sungguh memberitahu bangchan bahwa ia tak macam-macam. tak mungkin juga ia melakukan hal itu, melihat bahwa dia sudah terlalu mencintai kekasih—yang kini sudah menjadi mantannya itu.

pikirannya mulai melayang ke mana-mana. apakah bangchan merindukannya? apakah bangchan memikirkannya? apakah bangchan sudah makan malam? apakah bangchan sudah tidur?

ia tahu kalau pikiran seperti itu tak akan berhenti selama ia tetap terjaga. air mata yang sudah menumpuk di sudut matanya perlahan jatuh membasahi pipinya. masa bodoh soal seungmin yang mungkin melihatnya menangis, ia tidak peduli lagi.

malam penuh tangisan yang dulu sempat menghantuinya sudah kembali lagi.

pintu kamar yang diketuk berkali-kali membuat gadis cantik itu mengerang malas. hari di mana ia tidak perlu pergi ke kelas merupakan hari bermalas-malasan untuknya. tapi kalau begini ia jadi harus beranjak dari ranjang ternyamannya.

"siapa sih?" dia berteriak, mencoba agar seseorang yang mengetuk pintunya berkali-kali itu untuk berhenti.

"dimas."

keheranan, jelas. saerom ingat betul ia sama sekali tidak meminta mingyu untuk datang ke rumahnya hari ini. lagipula untuk apa? mereka berdua tidak terlalu dekat—terlebih lagi mingyu itu berteman dengan bangchan.

setelah merapikan penampilannya yang tadi berantakan, ia beranjak dari ranjang dan mendekati pintu kamar. ia masih enggan membuka pintu. "kenapa ke rumah gue?"

helaan napas terdengar. "ada yang perlu gue omongin, penting."

pintu kamar terbuka, memperlihatkan mingyu yang tersenyum kaku pada saerom. gadis itu kemudian menyingkir dari pintu, mempersilakan mingyu untuk masuk ke dalam kamarnya agar orang lain tak mendengar apa yang akan mereka bicarakan. mingyu kemudian duduk di kursi belajar saerom, sementara gadis cantik itu duduk di tepi ranjangnya yang tak jauh dari tempat di mana mingyu duduk. tangannya meraih boneka kelinci kesayangannya untuk dipeluk sebelum menatap mingyu lagi.

muara | chanjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang