Hilang sudah harapannya. Satu per satu semuanya direnggut darinya. Berusaha untuk memohon hingga suaranya tertelan dan menghilang di kegelapan, namun tetap saja, tidak ada yang mendengarkan jeritan putus asanya. Tubuhnya bahkan sudah begitu lelah untuk menerima siksaan yang diberikan. Hatinya bahkan tidak berbentuk lagi kini. Dunianya hancur, tidak ada yang bisa ia gapai. Tidak ada besi penunjang untuknya. Bagaikan berjalan di atas air yang tentunya begitu beresiko.
Luka-luka yang ia dapat mungkin sudah tidak terasa sakit di tubuhnya. Seolah sudah mati rasa dengan rasa sakit fisiknya, namun sayangnya hatinya yang terus menerima rasa sakit itu terlalu lelah dan begitu lemah hingga dirinya selalu berteriak histeris di sana.
Dalam keadaan terkunci, seperti seorang tahanan namun yang membedakan dirinya tidak dipasung dan tidak menunggu pemenggalan kepala. Sangat berbeda, bahkan dirinya tidak bisa menunggu apapun hingga pikirannya mati perlahan.
Tatapan penuh harap yang dulu sempat terlihat, tatapan yang begitu menyejukkan yang pernah menghias, bahkan senyuman teduh yang dahulu sempat ia tunjukkan pun hilang sudah. Pergi entah ke mana dan mungkin dirinya juga tidak bisa mendapatkannya lagi.
Sorot mata yang memancarkan kelelahan. Bahkan kini terlihat begitu kosong dan terlihat menerawang entah ke mana. Wajah pucat dengan banyak goresan di pipi dan di sudut bibirnya bahkan masih terdapat jejak darah yang berangsur mengering. Tubuh kurus yang kian kurus hari demi hari. Tubuh kurus dengan luka lebam di setiap inchinya. Luhan hancur. Luhan terlihat begitu menyedihkan. Beberapa hari berlalu, ah bahkan lebih dari hitungan hari, dirinya benar-benar dikurung dalam sangkar yang gelap. Begitu gelap hingga dirinya takut untuk membuka mata dan takut untuk menerka di mana ujungnya terletak.
Bahkan saat pintu itu terbuka, seorang ayah yang nyatanya adalah seorang iblis pun dengan wajah dinginnya menunjukkan dirinya di sana. Membawa senampan makanan yang nyatanya tidak pernah Luhan sentuh.
"Kau melawanku lagi?! Semua makanan yang aku berikan tidak pernah kau habiskan. Tenang saja, tidak ada racun di dalam sana" saat Yifan mengatakan itu, Luhan menoleh ke arah Yifan dan langsung mencengkeram kemeja Yifan.
"Luhan mohon...Luhan mohon ayah...lepaskan Luhan..." mencoba menangis namun sudah begitu kering di sana. Tetap saja, permohonannya tidak akan pernah dikabulkan oleh Yifan.
"Kau berani mengatakan itu?! Tutup mulutmu atau aku akan benar-benar menaruh racun di dalam makananmu" begitu dingin dan membuat tangan Luhan yang semula mencengkeram kemeja Yifan pun merosot lemah.
"Jika begitu, mungkin lebih baik ayah berikan racun itu dan dengan senang hati Luhan akan meminumnya" menatap Yifan dengan senyuman tersiksanya. Bahkan dalam keadaan seperti ini Luhan masih saja memanggil Yifan dengan sebutan 'ayah'. Namun, hati Yifan memang tidak akan pernah tergerak untuk Luhan.
"Kau ingin apa hah?!"
PLAK
"Katakan sekali lagi! Katakan!"
PLAK
GREB
Menampar wajah Luhan yang sudah benar-benar membiru sebelumnya dan kini Yifan tambah lagi dengan tamparan kuat hingga bibir Luhan berhasil ia robek. Darah keluar dengan bebasnya di sana. Sakit sudah tidak Luhan rasakan, namun hatinya akan tetap menerima perih dan sakit di sana.
"A-ayah...tidak apa jika aku selalu ayah perlakukan seperti ini, bahkan aku akan selalu menerima apapun itu karena aku anakmu" seharusnya Yifan mengerti bagaimana sakitnya seorang anak diperlakukan seperti itu. Seharusnya Yifan tidak pernah melakukan itu, namun yang seharusnya hanya akan menjadi seharusnya di waktu lalu. Kini yang dapat Luhan harapkan hanya bisa menerima apapun, melakukan apa yang dilakukan saja akan selalu menyudutkannya dan bahkan dirinya sudah tidak pernah lagi keluar rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ordinary Person [HunHan] | ✔
FanficHidupku bisa dibilang sebagai kisah klise yang pasti semua orang pernah merasakannya, tapi jika boleh aku memohon, bolehkan panggung ini menjadikanku sebagai pemeran utamanya? Aku hanya ingin bahagia tanpa beban berat di punggungku. Egois memang Hun...