Pasrah, itulah yang Luhan lakukan saat ini. Melawan seolah sudah begitu jauh dari kamus hidupnya. Hanya pasrah dan bertindak sesuai keinginan orang lain. Dirinya tidaklah memiliki dirinya lagi. Hanya mampu untuk melakukan tiap perintah yang mungkin menurutnya membuat ayahnya akan bahagia. Cukup dengan itu saja sudah membuat Luhan tersenyum, senyum hampa yang sudah ia tunjukkan beberapa minggu ini.
Pergi ke sekolah pun bukanlah tempat aman untuknya. Bahkan tiap kakinya melangkah, tiap orang berbisik tentang dirinya. Telinganya tidaklah tuli untuk bisa mendengar tiap cemohan yang entah siapa yang memulainya. Telinganya bahkan sudah begitu familiar dengan tiap kata yang terlontar.
Walau sekolah juga bukan tempat yang baik untuk dirinya, namun itulah permintaan ayahnya dan tentunya Luhan menganggap permintaan ayahnya ialah permintaan bundanya juga. Luhan tidak boleh membantah atau tubuhnya akan kembali memar. Bahkan jika dirinya tidak melawan pun terkadang ayahnya akan memukul wajahnya hingga pipinya pun sedikit memar dan saat dirinya ke sekolah bisikan pun kembali ia dengar.
Seperti hari ini pun, saat dirinya sedikit berbincang pada salah satu siswa yang syukurnya berbeda dengan yang lain. Luhan memang tidak mengenalnya, namun karena suatu hal, dirinya bertemu di perpustakaan dan berakhir mengobrol bersama. Tidak banyak, hanya pembicaraan biasa beberapa menit dan kemudian dirinya kembali ke kelas, begitu juga dengan siswa itu. Tidak ada yang spesial, namun setidaknya Luhan bisa sedikit berbicara pada orang lain karena sejauh ini, Luhan tidak pernah bertukar kata dengan orang lain.
Usai kegiatan di sekolah, Yifan akan selalu menjemputnya. Tidak pernah terlewat sedikitpun, Yifan akan selalu tepat menjemput Luhan dan membawanya ke rumah yang begitu membebani Luhan. Berat untuk kembali, namun harus ia lakukan.
"Bagaimana sekolahmu?" Pertama kali Luhan mendengar ayahnya bertanya tentang kegiatannya dan itu cukup membuat Luhan tersenyum dan mulai bercerita tanpa mengurangi apapun.
"Cukup baik yah, sepertinya Luhan bisa mendapatkan teman lagi" riang dan ayahnya hanya terdiam setelah dirinya bercerita seperti itu. Keterdiaman ayahnya membuat dirinya takut kini. Memikirkan kesalahan apa yang dirinya perbuat dan detik berikutnya matanya pun membulat kala mengetahui hal yang tidak boleh ia lakukan, berteman dengan siapapun.
"Ma-maafkan Luhan...Luhan tidak bermaksud melakukannya..." menundukkan kepalanya dan memilin ujung seragamnya, namun Yifan masih tetap diam seperti sebelumnya dan itu semakin membuat Luhan takut dibuatnya.
"Teman huh? Sepertinya kau ingin temanmu itu bernasib sama seperti bocah tengik yang mungkin sekarang masih terkapar di rumah sakit. Ah, jangan lupakan wajahmu juga yang membiru" tidak, Luhan tidak ingin itu terjadi. Luhan tidak ingin keberadaannya membuat orang lain terluka dan mungkin akan meregang nyawa. Luhan tahu ayahnya tidak pernah main-main dengan perkataannya dan semuanya sudah terbukti pada Sehun dan juga padanya.
"Luhan akan berhenti berbicara dengannya" menunduk dan tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibirnya yang kini sudah bergetar. Menahan tangisnya sebisa mungkin hingga bibirnya pun ia gigit hingga sedikit terluka di sana. Dirinya hanya tidak ingin isakannya terdengar di telinga ayahnya dan berakhir lebam kembali bertambah di tubuhnya.
Tidak tahu harus berbuat seperti apa. Melapor? Jika bisa mungkin sudah Luhan lakukan sejak dulu sesaat setelah dirinya diseret paksa menjauh dari kehidupan Sehun yang saat ini sedang terbaring lemah di rumah sakit. Namun sayangnya kesempatan hanya tinggal kesempatan tanpa bisa melakukannya. Semua akses benar-benar dibatasi oleh Yifan, bahkan keberanian Luhan pun sudah dikikis habis olehnya dengan berbagai ancaman yang tidak main-main.
Rusak sudah pertahanan Luhan. Rusak sudah harapan Luhan. Semuanya hanya tinggal menunggu waktu sampai Yifan benar-benar ingin melepasnya. Namun itu akan sangat mustahil terjadi, mengingat Yifan yang begitu mengekang Luhan dengan alasan dirinya menyayangi anaknya karena istrinya. Alasan yang sangat memuakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ordinary Person [HunHan] | ✔
Fiksi PenggemarHidupku bisa dibilang sebagai kisah klise yang pasti semua orang pernah merasakannya, tapi jika boleh aku memohon, bolehkan panggung ini menjadikanku sebagai pemeran utamanya? Aku hanya ingin bahagia tanpa beban berat di punggungku. Egois memang Hun...