Sial! Ibnu begitu murka, sebenarnya bukan karena terlambat datang ke rapat penting kali ini. Sesudah mengantarkan Zahra, Ibnu telat 15 menit datang ke kantor. Macet, itu lah penyebabnya. Beruntunglah, acara belum sempat dimulai.
Namun bukan karena itu, ada hal lain yang membuatnya menyesal telah buru-buru kemari. Tamu penting yang perusahaan industri ini sangat agung-agungkan, ternyata ialah...
"Selamat datang, semoga Anda benar-benar bersedia memberi suntikan dana untuk perusahaan ini. Tentunya kami sangat berterimaksih, jika Anda tak mengingkari janji dan kontrak yang sudah perusahaan kedua belah pihak setujui. Bukan begitu, Pak Satrio." Lalu bapak bagian kepala utama perusahaan ini tertawa, yang disebut Satrio, tersenyum tipis menanggapinya. Kesan dinginnya benar-benar melekat pada pribadinya.
"Ya, bisa kita langsung saja," katanya singkat, langsung pada intinya.
Lagi-lagi, tertawa canggung, atasan pemilik industri ini mempersilahkan sang-penyuntik dana duduk. Setelah itu, barulah, para karyawan berani melakukan hal sama. Tak terkecuali Ibnu, bedanya dia tertuduk kaku, dengan kedua tangan yang saling terkepal kuat diatas meja. Tidak menutupi kebenarannya, bahkan secara terang-terangan, Ibnu menatap Pak Satrio atau mungkin, Trio! Bagai musuh.
Trio menyeringai, matanya menatap tajam Ibnu. Astaga, dia tidak menyangka bisa bertemu lagi dengannya. Cepat atau lambat, Trio bahkan bisa lagi melihat Sya, sang pujaan hatinya.
Tunggu saja, hari itu tak akan lama lagi.
°•°•°•°•°•°
"Za, pokoknya habis kuliah langsung pulang aja, okay. Ngga usah main dulu, Abang mungkin bakal pulang malam. Aza ngga papa kan sendirian dirumah? Kalau mau, Abang suruh Krisna buat temani kamu, gimana? Mau ya." Perkataan terburu-buru bak dikejar sesuatu, yang Ibnu katakan membuat Dina mau tak mau harus cepat tanggap memahaminya.
Tidak biasanya, Ibnu tuh tipe-tipe orang santai. Pasti ada sesuatu hingga dia menjadi begini.
"Wow, wow! Tenang Bang, jangan terburu-buru, memang ada apa sih? Aku kan udah terbiasa habis kuliah langsung pulang. Jangan berlebihan, aku bakal baik-baik aja kalau sendirian, Bang. Abang santai saja, mau pulang jam berapa pun, aku bakal tungguin Abang," jelas Dina, saat ini dia sedang diperjalanan menuju pulang, maksudnya pulang ke rumah almarhum orang tua Ibnu. Kasian kan dia, makanya saat Ibnu menawarkannya untuk tinggal bersama, Dina mau saja. Inu ternyata, dia tidak bisa terus bersama Kakanya, dia memilih menetap kuliah di negara orang.
Dina dengar, diseberang telefon sana, Ibnu menghembuskan napasnya kasar.
"Inget Za, jangan kemana-mana okay. Oh ya, sempatkan untuk mampir membeli makanan, dirumah hanya ada mi instan. Aza harus makan nasi, setelah itu jangan lupa obat penambah darahnya diminum. Oke. Ya sudah, Abang mau kerja lagi. Hati-hati dirumah little girl."
Dan tut, tanpa menunggu jawaban balik dari Dina. Ibnu memutuskan sambungan keduanya, aneh. Dina menatap ponselnya sesaat sebelum kembali memasukannya ke dalam saku jeans-nya.
Sesuai dengan perintah Ibnu, Dina sekarang ini telah berada di suatu tempat yang menjualkan makanan cepat saji. Okay, Ibnu bilang harus makan nasi kan? Jadi Dina memesan paket Ayam goreng beserta nasinya, jangan lupakan minuman jus mangga yang Dina sukai, dia juga memesan itu.
"Jadi tiga puluh lima ribu, Ka."
Dina menyodorkan satu lembar uang lima puluh ribuan. Sambil menunggu kembalian, mata Dina liar menatap sekitar restoran ini. Tidak ramai pengunjung, sepertinya Dina mau memakan disini saja. Lumayan kan tidak terlalu kesepian jika makan sendirian.
"Terima kasih, kak. Silahkan menikmati makanannya." Dina menerima plastik yang disodorkan tak lupa mengangguk dan turut tersenyum.
Lalu, langkahnya kini mendekati meja diurutan pertama sana, menghadap jendela langsung malahan. Pemandangan jalan raya yang amat ramai, bisa menjadi penghibur Dina.
Sebelum makan, Dina masih sempat mengirimkan pesan pada Mas-nya dan juga Bapa'e. Tentu saja, setiap ingin melakukan apapun, Dina setia melaporkannya. Sudah menjadi aturan yang harus Dina turuti memang. Keluarganya memang benar melepaskannya, tetapi tidak benar-benar sampai hilang komunikasi. Bahkan awal-awalan Dina pindah ke kota Ibnu dilahirkan, Mama-nya sempat meraung menangis, tidak rela jika berjauhan dengan Dina.
Tetapi syukurlah, mengingat ini demi kebaikan Dina. Semuanya setuju, membiarkan. Itung-itung sekarang Dina latihan hidup mandiri, yang sebenarnya tak benar-benar mandiri. Ibnu setia menjaga dan mengawasinya, ingat.
°•°•°•°•°•°
Selesai makan, Dina tidak lekas pulang ke rumah. Padahal hari sudah mau menjelang malam. Hujan, ya, cuaca memang tidak terduga. Kalau saja, dia tidak membawa uang pas-pasan. Dina sudah memesn ojek online sedari tadi, setidaknya jika dia dirumah memiliki simpanan, Dina menyerang menggunakan kendaraan itu. Dia benar-benar kehabisan uang.
Dina tidak enak jika terus meminta uang pada Ibnu, terlebih lagi kedua orang tuanya. Beliau pelupa dan Krisna pun pasti ikut-ikutan melupakan memberikan jatah sangu untuk Dina. Yah, Dina memang harus mencari pekerjaan paruh waktu besok. Setidaknya untuk meringankan beban semuanya.
"Hei!" Teriakan itu, sontak membuat Dina menoleh, ternyata, Toni. Teman satu fakulitas Dina dikampus.
Dia mendekati Dina, Dina tersenyum, "Habis makan," tanya Toni, basa-basi.
Dina mengedik, "Menurutmu? Masa iya keluar dari tempat makan akunya malah habis buang air besar. Ups!" Dina berakting seolah salah bicara, padahal nyatanya dia udah terbiasa ceplas-ceplos.
Toni sudah biasa, Dina memang tidak pernah berpura-pura. Sikapnya berbeda, tidak terbuka dan tidak juga terlalu menutupi jati dirinya. Toni menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Kali aja. Abis makan langsung boker, ups!" dia mengikuti gaya Dina dengan langsung menutup mulutnya.
Keduanya tertawa, merasa lucu saja. "Mau pulang ya? Yuk aku anterin," tawar Toni langsung, Dina celingukan.
"Jalan?" tanya Dina ragu, soalnya Toni datang tiba-tiba entah dari arah mana saja Dina tidak tahu. Dia fokus menatap jalan raya didepannya sambil pikirannya melayang kemana-mana. Mereka memang sekarang ada di luar restoran cepat saji.
"Aku bawa motor, tuh. Kamu sih ngga pernah fokus ke aku, haha." Toni tertawa canggung, terselip sindiran diperkatannya. Namun, laki-laki itu sudah paham. Waktu 6 bulan sudah membuat Toni mengenal sekali bahwa Dina adalah cewek yang kadar kepekaannya kurang.
Dina mengangguk, "Oh, ayok. Kebetulan aku lagi missquen, Abangku juga ngga bisa jemput karena sibuk."
"Ngga papa nih nyerang hujan? Ntar kamu sakit lagi, aku yang dimarahin Abangmu," cemas Toni.
Menggeleng, Dina melambaikan kedua tangannya tidak peduli. "Santai aja, aku kuat kok. Ya kali gara-gara kena hujan jadi sakit. Skuy lha." Dina akhirnya berjalan, mendahului Toni. Yang punya motor menggeleng sambil tertawa gemas. Andai saja, dia tidak terjebak zona pertemanan, Dina sudah Toni klaim jadi kekasihnya.
Note: Gaes, 15+2 vote buat next yuk, bentar lagi End lho. Ngga penasaran apa ujungnya gimana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trio Get, She
RomanceTeen-Romance Memang hanya manusia seperti Trio saja, yang bisa membuatnya menjadi gadis kalem nan manis. Gadis yang biasanya memegang teguh pendiriannya 'ngga ada sejarahnya manusia takut sama manusia' luntur sudah keberaniannya kalau sudah di hadap...