Epilog

4.4K 288 20
                                    

Tangannya tak berhenti bergerak, menuliskan kata demi kata absurd membingungkan didalam buku Diary miliknya. Tetapi, jika ada seseorang yang benar-benar paham mengenai artinya. Dia bisa Dina sebut sebagai mastah.

"Fokusmu sekarang ke buku itu terus ya," rajuk dia, tidak menutupi kekesalannya.

Terkekeh saja, Dina masih bodoamat dan terus menorehkan tinta itu ke dalam buku. Lagi-lagi Dina asik dengan dunianya sendiri, kalau tau begini lebih baik, dia tidak usah mengajak Dina ke taman bunga hasil, berkebunnya selama beberapa bulan ini.

"Selesai." Dina mendesah puas, lalu dia segera meletakan buku itu ke rerumputan disampingnya.

Dina memusatkan perhatiannya pada laki-laki matang di pangkuannya ini. Manja sekali sih, dia memang suka sekali tiduran dengan berbantalkan paha Dina.

"Udah tuh, udah aku simpen bukunya. Masa cuman kaya gitu doang marah." Tangan Dina, membelai rambut hitam legam milik dia. Rasanya begitu halus dan lembut, seperti habis melakukan perawatan rambut terus-menerus. Sudah pasti begitu, untuk apa punya banyak uang kalau tidak untuk memanjakan dirinya sendiri.

Dia tersenyum lebar, hingga deretan gigi rapi dan putihnya ikut terlihat. Tubuhnya bangkit dari rebahan nyamannya tadi,

"Engga marah. Cuman kesel." Lalu dia tertawa, Dina cekikikan kala dia-Trio mengusel-nguselkan hidung mancungnya pada pipi Dina.

"Ih geli!" Dina tergelak, anehnya diperlakukan seperti itu tak membuat Dina mengelak.

Trio bahkan ikut tertawa, matanya sampai mengeluarkan air mata. Dia bahagia, sekarang. Dari dulu pun, bersama Dina terus menerus, dia selalu bahagia.

"Terima kasih," kata Trio kemudian, dahinya menempel dekat bak habis diperekat ke dahi Dina. Dina mengerjap-ngerjapkan matanya, sambil terus menyisakan senyum gelinya.

"Iya, Sayang," sahut Dina kemudian. Tangannya membelai pelan rahang kokoh milik Trio.

Trio menjauhkan wajahnya dari Dina, tangannya ia larikan menggengam tangan Dina yang tersemat benda berkilau indah disana. Trio mengusapnya lembut, cincin emas putih itu, dulu benar-benar telah membuat jantungnya berdentum kuat sampai rasanya benar-benar sakit dan menyesakan.

"Jangan sekali-kali kamu lepas cincin ini, Sya," perintahnya mutlak, Dina tergelak mengingat kejadian satu tahun lalu. Wajah Trio waktu dia melepas cincin itu begitu pias dan kentara sangat terluka. Trio kira Dina akan memutuskannya, ternyata tidak. Dina hanya ingin, Trio kembali memasangkannya. Lucu sekaligus aneh kan.

°•°•°•°•°•°

"Dia siapa," tanya Trio penuh penekanan, nada suaranya benar-benar menggeram. Dina jadi merasa panas dingin kalau kaya gini.

"Cuman temen kampus kok," jawab Dina jujur, diruang tamu sana, Toni kembali mengunjunginya. Hanya sekedar main dan bersilaturahmi saja sih.

Trio berdecih, melengoskan wajahnya yang sudah merah padam menahan amarah itu. "Aku liat tadi dia natap kamu kaya suka. Kaya lagi kasmaran," tuduhnya tidak terima.

Astaga! Dina ingin tertawa saja kalau kaya gini, Trio kalau sedang cemburu seperti bocah kecil yang tidak terima mainannya direbut.

Dina meletakan minuman yang ia buat untuk dibawa ke ruang tamu sana. Tubuhnya berbalik, mendekati Trio yang bersandar dimeja makan yang memang terhubung dengan dapur ini.

"Ngga usah berlebihan deh, kalau dia suka aku, aku engga ini. Aku kan sukanya kamu." Dina menoel hidung mancung Trio, beruntunglah badannya sedikit membungkuk jadi Dina bisa menggapainya.

Trio Get, SheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang