"Kamu kemarin pulang sama siapa? Jam berapa?" Tanya Ibnu berturut-turut, ekspresinya begitu khawatir menatap Dina. Ah Dina jadi merasa bersalah sekali.
"Eum, sendiri. Pulang sorean sih kan nyari makan dulu," kilahnya, Dina tidak berani jujur jika ia kemarin pulang diantarkan Toni. Pasalnya jika iya, laki-laki itu pasti ikut terseret masalahnya kali ini.
Ibnu mengembuskan napasnya kasar, menilik jam tangan yang ia kenakan. Sebentar lagi, dia berangkat kerja. Tapi melihat kondisi Dina yang begini, apa ia tetap tega.
Mengetahui situasi, Dina duduk dari rebahannya. Kondisinya sekarang ini menurun, dia sakit karena eum, kemarin hujan-hujanan. Aish! Dina padahal sudah sok kuat, sekarang malah beneran tumbang.
"Abang berangkat kerja aja, Dina ngga apa-apa kok dirumah," terang Dina mencoba membuat Ibnu segera pergi dari sini dan tak terus-terusan mengkhawatirkannya.
Ibnu mendekati Dina, dia menempelkan tangannya pada dahi Dina. Masih panas, padahal sudah dikompres. Hanya kurang obat-nya saja, kalau tidak kehabisan, Dina sudah Ibnu paksa untuk meminum obat.
"Abang nyari obat dulu aja deh, baru berangkat kerja," putusnya kemudian, Dina langsung menggeleng, tangannya menahan lengan Ibnu yang akan pergi.
"Jangan gitu, nanti Abang bisa terlambat lagi kaya kemarin. Dina ngga papa kok, biasanya kalau panas gini, Dina tidur panjang bakalan pulih dengan sendirinya. Beneran deh." Dina mengeluarkan tatapan mengiba andalannya.
Ibnu kalah telak, Zahra memang selalu bisa merayunya. "Tapi, jangan larang Abang buat ngabarin Tante sama Om kalau kamu lagi sakit."
Lagi-lagi menggeleng, Dina hampir saja menangis, Ibnu kelabakan, Adiknya ini memang aneh dan suka semaunya. "Ya udah, engga. Tapi janji kalau sampai jam 12 siang nanti kamu ngga sembuh-sembuh dan kamu ngga mengangkat telfon dari Abang, Abang bakal langsung pulang ke rumah," tegasnya, nada suaranya benar-benar mengancam. Kali ini Dina tersenyum lebar, walaupun terlihat dia begitu pucat dengan mata yang sanyu berat.
Dina mengacungkan jari kelingkingnya. "Janji, Abang."
°•°•°•°•°•°
Jadi begini lah, Dina terpaksa tidak berangkat kuliah. Untungnya kelas hari ini kosong, Dosen yang mengajarnya ada urusan penting. Begitu kata Toni, ah laki-laki itu. Dia amat menyesal karena mengantarkan Dina tanpa mengenakan pelindung seperti mantel hujan. Oh, ayo lah. Ini kan murni kesalahan Dina, kenapa jadi Toni yang repot.
Sangking tak enaknya pada Dina, Toni berkata ingin mengunjungi Dina ke rumah, tidak hanya dia. Nasyila dan Ruli pun bakal kesini nanti. Sahabat masa SMA-nya memang benar-benar menepati janji, kemana pun Dina memutuskan untuk kuliah, mau sejauh apa pun dari rumahnya, mereka ngebuntut aja ngikut. Dina jadi merasa terhura alias terharu kalau kaya gini.
"Aduh, huftth." Tiba-tiba saja Dina menggigil, parah dia terkena panastis alias panas-dingin.
"A-apa aku beli obat diapotik aja ya," ujar Dina bermonolog sendiri, soalnya kalau dibiarkan, bakal tambah parah nanti.
Ya mau tidak mau, pelan-pelan Dina bangkit dari tidurannya. Astaga, rasa pening langsung menyerang kepalanya. Andai saja ibnu tidak lalai, membiarkan kotak obatnya tidak kosong, Dina tidak menyalahkannya sih hanya saja, apa dia mampu berjalan dari sini ke apotik? Letak tempatnya memang tidak jauh dari rumah.
Dengan tertatih-tatih, Dina berusaha berjalan sehati-hati mungkin. Dunia saat ini terasa seperti terguncang, tetapi Dina adalah Dina, dia masih bisa tersenyum dan menjawab sapaan dari tetangganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trio Get, She
RomanceTeen-Romance Memang hanya manusia seperti Trio saja, yang bisa membuatnya menjadi gadis kalem nan manis. Gadis yang biasanya memegang teguh pendiriannya 'ngga ada sejarahnya manusia takut sama manusia' luntur sudah keberaniannya kalau sudah di hadap...