"Gue lebih suka buka goodreads di komputer." Thea membuka link yang dimaksud dan langsung terhubung ke akunnya yang belum di log out. "Lebih leluasa," imbuhnya.
Dora hanya mengangguk, menuruti Thea yang beberapa menit lalu langsung melangkah lebar menaiki tangga dan masuk ke kamarnya. Dalam hatinya bersorak ria, berhasil masuk ke kamar orang yang telah memusuhinya tanpa jelas nyaris dua tahun ini. Sebenarnya, rasanya tak pantas ada kebahagian dalam hatinya mengingat Abian hilang, tapi orang bijak sering berkata pasti ada hikmah di balik sebuah kejadian. Maka, inilah hikmahnya, dia bisa memperpendek jarak dengan Thea untuk memecahkan misteri hilangnya Abian dan empat murid lain. Dora tiba-tiba teringat sekolahnya yang payah, yang tidak menyadari sama sekali lima muridnya hilang serentak. Oh...mungkin kepala sekolah sedang sibuk mengurusi uang sumbangan yang entah digunakan untuk apa saja.
Sementara Thea sibuk menggerakan tetikus komputernya, Dora memilih menatap sekeliling kamar Thea yang serba abu dan hitam. Dari mulai lemari, seprai ranjang, gorden, dua rak yang dipadati buku-buku, meja belajar dan nakas yang menarik perhatian Dora. Di atasnya berdiri foto berbingkai bewarna abu yang menampilkan sebuah keluarga. Dora ingat saat menanyakan keberadaan kedua orang tua Thea yang belum pernah dilihatnya keluar dari rumah itu kepada Mama. Thea harus kehilangan orang tuanya dua tahun lalu dalam kecelakaan mobil. Sayangnya, saat umurnya belum menginjak SMA, dia sudah mengalami kejadian seperih itu.
Bunyi 'klik' dari tetikus menyadarkan Dora dan membuatnya kembali menatap layar komputer. Tampilan halaman goodreads memang lebih enak dilihat melalui layar komputer. Thea leluasa masuk ke akun Abian dan empat murid lain, lalu menilik bacaan terakhir mereka.
"Mereka lagi baca buku yang sama," tunjuk Dora di akun terakhir yang dilihat Thea, akun milik Ervin Azada. "The Woman In The Window. Lo tahu buku apa itu?"
"Novel. Novel thriller misteri gitu."
Dora menegang. "Ceritanya tentang apa?"
Masih menggerakan kursor tetikusnya, dengan santai Thea menjawab, "Tentang seorang wanita yang melihat pembunuhan tetangganya lewat jendela rumahnya."
Dora semakin tercengang. Tidak hanya karena isinya yang menurutnya ngeri-ya..karena dia tidak pernah punya pengalaman baca novel, padahal ada cerita yang lebih mengerikan-tapi mirip dengan posisi rumahnya yang berhadapan dengan Thea, dan kini mereka sedang menyelidiki kasus hilangnya lima murid. Bagaimana bila..?
"Gimana kalau tiba-tiba penculik itu datang ke rumah gue atau lo. Terus gue atau lo lihat pelaku nyerang salah satu dari kita." Dora berkata histeris, dan Thea hanya membalas dengan kerlingan mata.
"Gue harap lo yang diserang. Dan gue menyaksikan dari sini." Thea memalingkan tatapannya dari raut cemas Dora ke jendela kamarnya yang memang tepat sekali berseberangan dengan kamar Dora.
"Isshh lo ituu...Nah, lihat, kamar kita malah berseberangan."
"Dora!" Thea menekan nama Dora.
Dora mendadak sumringah mendengar namanya untuk pertama kali dicetuskan dari bibir jarang tersenyum itu. "Jangan mikir yang aneh-aneh deh. Kita belum tahu kalau mereka diculik. Mungkin aja mereka sengaja sembunyi."
Dora terpengah, bangkit dari kursi. "Lo masih mengira mereka nggak diculik?"
"Emang lo bilang mereka diculik?"
"Kan mereka hilang."
"Mereka hilang belum tentu diculik. Bisa jadi mereka berencana pergi ke suatu tempat, ngehabisin bacaan mereka, jenuh dengan sekolah membosankan itu. Barry bareng mereka, dan bisa aja ngasih pengaruh buruk."
Dora memijit kepalanya yang sudah berteriak nyeri. Dia kira selama setengah jam berkutat dengan Thea, mereka memiliki pandangan yang sama. "Tapi SMS aneh dari Bian, dan link goodreads itu?"
"Lo bilang SMS itu datang setelah kalian berantem. Dia kesal ke lo, memilih untuk menjauh sebentar, kumpul bareng teman-teman barunya itu dan Barry mencetuskan ide bolos dua hari ini atau beberapa hari." Thea menekankan di akhir kalimat sebagai finalitas dugaannya.
Dora menjatuhkan tubuhnya kembali ke kursi. Ucapan Thea kemungkinan benar. Apalagi pertengkaran mereka waktu itu karena Abian sebulan lalu dan hingga tiga hari lalu itu sulit sekali dihubungi, atau bahkan ditemui di sekolah.
"Dia aneh belakang ini." Dora tertunduk lesuh. Kedua lengannya bertumpu pada lutut lalu menjatuhkan wajahnya di sana. Diusapnya wajahnya, lalu mulai berbicara dengan suara yang semakin bergetar, "Dia kayak nyembunyiin sesuatu. Bahkan kelewat rajin pergi ke perpustakaan setiap hari di setiap jam istirahat padahal lambungnya nggak kuat kalau telat makan. Bahkan saat jam olahraga dia kayaknya pura-pura sakit biar bisa pergi ke perpustakaan. Itu bukan Bian. Sakit pun dia tetap mau pergi ke sekolah."
Ulu hati Thea nyeri. Dia kalah telak, yang diketahuinya tentang Abian hanyalah senyumannya dan sama-sama menggerami buku fiksi. Sebatas itu. Rentang kekhawatirannya sangat jauh dengan kekhawatiran sang pacar.
"Sorry, The..gue nggak maksud..." Dora tak tahu kata apa yang pantas diucapkan. Dia memang tidak bermaksud sombong menjadi pacar Abian yang dikagumi Thea.
Dora menekan air mata yang nyaris menembus pinggir matanya. Dia tidak akan menyerah. Hanya Thea yang bisa membantunya. "Tolong, bantu gue, Thea."
***
Raut memohon Dora tidak dibuat-buat. Murni sangat membutuhkan. Jauh berbeda dengan teman-teman kelasnya yang sering memasang raut memohon menyebalkan, padahal tujuannya ingin melihat jawaban PR Thea bukan minta diajari. Entah apa yang mendorong Thea mau melakukan ini, jelas bukan hanya karena Dora dengan tampangnya yang menyedihkan. Oh ya, saat Thea menemukan kecocokan empat nama itu dengan teman di akun goodreads Abian. Hal itu mendorongnya untuk mengulik lebih jauh, apalagi sebulan ini yang dilihatnya melalui goodreads mereka selalu membaca buku yang sama.
Namun, masih ada penyebab lain dia menerima bantuan Dora. Sesuatu yang membuat suasana rumahnya agak berbeda. Kamarnya yang didominasi warna buram abu putih terasa berdenyut saat perdebatannya dengan Dora kembali dimulai.
"Siapa yang bilang Abian terakhir kali pergi ke perpustakaan?"
"Tiar," jawab Dora sambil meluruskan kakinya di karpet kamar Thea, lalu tak lama Thea menyusul di depannya.
"Dia lihat Bian terakhir kali pas istirahat. Terus nggak balik lagi sampai akhir pelajaran. Bentar..," Dora memajukan tubuhnya. "Bangku lo kan di belakang bangku Bian. Masa nggak nyadar."
"Kan gue kebagian jaga perpustakaan dua hari lalu. Gue selama itu dari pagi sampe jam pulang di perpustakaan."
"Oh ya, gue lupa. Eh iya, lo nggak bosen di sana? Dan nggak bakal ketinggalan materi gitu...ah...lo kan pinter, tinggal pinjem catatan aja bisa langsung ngerti."
"Daripada nggak ada kegiatan ekskul, terpaksa gue selalu dispen satu atau dua minggu sekali. Lagian bosen di kelas. Gue juga ada malasnya ngederin materi."
Dora bertepuk tangan takjub, mendengar pengakuan dari juara umum SMA Kencana.
"Gue harusnya rekam itu."
Thea hanya mengerlingkan mata. Lebay, pikirnya. Dia menuangkan sirup ke gelasnya dan meneguknya hingga tandas. Hari ini tenggorokannya kering karena debatnya dengan Dora satu hari ini.
"Kita harus tanya lebih banyak ke Tiar." Thea teringat Cormoran Strike menanyai setiap orang yang terakhir kali berhubungan dengan Lula Landry. "Dan ke orang-orang terakhir yang lihat empat orang itu."
Dora mengangguk sambil menuangkan sirup, lalu mengangkat gelasnya tinggi-tinggi dan meminta Thea untuk bersulang. "Kita temukan mereka," ucapnya kaku karena Thea hanya menatapnya tanpa minat.
"Kita telusuri lagi aktivitas Abian di goodreads," ucap Thea sambil berdiri lalu duduk di kursi komputer.
Dora masih termenung di bawah. Sorotnya bergantian menatap gelasnya dan punggung Thea. "Kenapa sih lo benci sama gue, The?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BOOKISH CLUB [COMPLETE ✔]
Mystery / ThrillerLima murid hilang. Terakhir kali terlihat masuk ke perpustakaan. Terakhir kali aktivitas mereka rupanya mendirikan kembali The Bookish Club. Terakhir kali, dua tahun lalu ketua The Bookish Club bunuh diri.