BAGIAN 5

232 56 5
                                    

Kali ini berbeda. Ada yang berbeda dengan Thea. Dia menyadarinya, hingga Pak Leo pun menyadarinya. Sepanjang karirnya mengajar kelas yang di dalamnya tercantum nama Odithea Wastari, baru kali ini melihat murid pintar itu duduk gelisah. Matanya sesekali melirik ke belakang. Pandangannya kosong meskipun matanya terjurus ke papan tulis putih yang telah dipenuhi angka. Thea pintar dan bukan berarti menjadi murid kesayangannya atau murid kebanggaannya. Karena Pak Leo tidak pernah membedakan rasa kasih sayang kepada muridnya. Rata. Sama. Hanya kali ini melihat Thea yang duduk di barisan kedua dengan fokus ambyar, sedikit mengusiknya. Maka seperti kebiasaannya. Dia menyuruh Thea mengerjakan soal. Biasanya target Pak Leo adalah murid-murid yang tidak memperhatikan pemaparannya. Kemudian, kali ini seisi kelas XI IPA 3 dibuat tercengang.

Ada yang berbeda juga. Butuh waktu lebih dari sepuluh menit untuk Thea memecahkan soal itu. Padahal biasanya cewek itu cekatan, cepat tanggap mengunyah soal-soal matematika yang diberikan. Pak Leo hanya tersenyum tipis saat mendapat tatapan malu dan tundukan kepala dari muridnya. Thea tidak pernah merasa serunyam ini. Tubuhnya begitu panas, keringat bercucuran di balik seragamnya, otaknya berdenyut nyeri saat menghadapi papan tulis, tepatnya menghadapi deretan angka yang harus dipecahkan. Kemudian, yang membuat benaknya lama memecahkan soal yaitu tatapan tak percaya dan suara-suara rendah di belakangnya, yang saling berbisik heran mengapa si murid pintar begitu lama berdiri di depan sana.

Oh, Thea merasakannya. Begini lah rasanya saat teman-temannya berbalik malu dengan keringat bercucuran tidak berhasil bertarung dengan matematika.

Percakapan dengan Tiar tidak bisa dicegahnya untuk tidak bergaung di telinganya. Bahkan saat Thea ke depan, dia masih sempat-sempatnya menyusun pertanyaan yang harus ditanyakan kembali. Akhirnya setelah berhasil menekan benaknya, Thea bisa memecahkan sekelumit angka itu, yang setelah dipikir-pikir lagi sekarang soal itu harusnya bisa dikerjakan lebih cepat.

Bel berdering tiga kali. Tanda waktunya pulang dan pelajaran matematika yang sangat tidak cocok ditempatkan di jam terakhir akhirnya selesai untuk hari ini. Akhirnya. Thea menghela napas lega. Benaknya terasa lebih ringan. Untuk sesaat fokusnya bisa tertuju ke satu arah. Hilangnya Abian.

Sempat sekelebat kekesalan muncul karena permintaan Dora merusak ketertarikannya untuk belajar, tapi saat melihat bangku kosong Abian, tumbuh tekad untuk mencari jejak Abian. Thea baru menyadari, ada kehangatan di dadanya saat mencoba peduli kepada orang lain.

Seperti menjadi kebiasaan—padahal ini baru terjadi tadi saat dia terus menoleh ke balakang—lehernya bergerak lagi refleks, membawanya ke arah Tiar yang sedang mengemasi barang-barangnya. Tatapan mereka beradu. Tiar menatap datar Thea dua sampai tiga detik lalu berlalu pergi dengan tas gendongnya. Kaki Thea gatal mengejarnya, mulutnya ingin menyuarakan sesuatu dan semuanya tertahan dengan gemingan tubuh yang tertanam di bangkunya.

Masih ada cara lain. Hari ini Dora pasti menyusulnya, menyeretnya bertemu saksi berikutnya. Thea sedang mengemasi barangnya dari loker meja, bersiap mengenakan tasnya, kemudian orang yang diharapkan kehadirannya mendadak muncul di depannya. Di dekat bangku Abian.

"Masih ada yang mau ditanyaian?" Tiar bertanya dengan kepala yang sesekali menoleh ke belakang, ke arah ambang pintu kelas. Thea mengikuti gerakan cowok itu dan mendapati seorang cewek berambut bob keriting dengan bando pita coklat, menatap punggung Tiar lalu beralih menatap Thea dengan pandangan penuh kecurigaan.

"Oke, santai aja." Tiar berbicara lebih kepada dirinya sendiri. "Gue mau minta maaf soal tadi." Namun, nadanya tidak seperti orang berniat meminta maaf, justru seperti orang yang sedang dikejar-kejar. Dia masih sempat menengok ke belakang lalu tanpa aba-aba, tanpa disadari, kedua tangan Tiar menggenggam kedua bahu Thea, menekannya kuat.

"Gue minta maaf." Tiar menekan setiap kata itu sejalan dengan semakin mengeratkan cengkramannya. Matanya mengedip-ngedip agar Thea yang merasa diteror oleh tatapan tajam cewek di ambang pintu itu, membalas pandangan Tiar.

THE BOOKISH CLUB [COMPLETE ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang