BAGIAN 10

197 50 1
                                    

"Kenapa lo milih sekolah itu, The?"

Mereka dalam perjalanan menuju rumah setelah turun dari angkot di pintu masuk kompleks. Rumah mereka di blok G yang tidak terlalu jauh dari pintu masuk, sehingga jalan kaki menjadi pilihan sembari menikmati angin sore yang entah kenapa bukannya dingin tapi terasa menyejukkan. Duduk seharian di dalam toko kue itu dengan AC yang menyala sambil mendengarkan kisah The Bookish Club serta para anggotanya yang penuh dengan tanda tanya malah meningkatkan kinerja kelenjar keringat mereka. Ketakutan. Kekhawatiran. Semakin menjadi-jadi.

Menatap langit sore dengan semburat oranye yang indah setidaknya sedikit memberi ketenangan. Walaupun pikiran mereka tidak sepenuhnya memuji langit yang menaungi mereka. Mereka berjalan dalam diam, hingga akhirnya Dora menelusup melontarkan tanya tadi. Baik Dora ataupun Thea sebenarnya belum ada hasrat untuk membuka mulut apalagi harus membicarakan kisah misterius klub itu.

"Kenapa nggak masuk ke sekolah asrama Kakak lo yang elite itu?" Dora kembali bertanya. Tampang Thea cukup menyedihkan, terpaksa Dora harus memecah keheningan bila tak ingin Thea terjatuh atau bahkan tertabrak motor atau mobil yang sesekali lewat dari arah berlawanan. Thea seperti mayat berjalan setelah mengetahui ada ruangan di perpustakaan itu. Matanya menatap kosong, jalannya begitu lambat bahkan sempat tersandung, wajahnya pucat pasi, lemas, seperti tak makan berhari-hari padahal lambung mereka harusnya sudah penuh oleh kue enak Mama Asri.

Ruangan tersembunyi itu rupanya ada. Ruangan yang dipilih si ketua The Bookish Club untuk mengakhiri hidupnya. Thea pernah bersikeras membantah tentang ruangan tersembunyi yang pernah dibayangkan Dora. Namun, karena terlalu ditutupi kebencian, kekesalan terhadap cewek itu, dia menutup rapat telinganya dari suara Dora hari itu.

"The, nanti lo jatuh, geger otak, amnesia, terus nggak pinter lagi. Nggak bisa bantu gue nyari Bian," keluh Dora yang sudah menghentikan langkahnya sambil menarik Thea yang selangkah di depannya.

Thea menatap melalui mata sayunya—tampak seperti orang kurang tidur berhari-hari. "Gue nggak mau jauh-jauh dari rumah. Gue nggak mau rumah itu kosong karena itu peninggalan berharga dari orang tua gue," jawabnya lesuh.

Dora kembali melangkah sambil menggandeng lengan Thea. Tak ada protes. Tak ada penolakan. Thea menerimanya begitu saja. Dia telah berlebihan akhir-akhir ini, sehingga mengaburkan dugaan Dora tentang ruangan itu.

"Sekolah itu satu-satunya sekolah yang dekat sama rumah. Gue nggak mau terlalu lama ninggalin rumah," imbuhnya.

"Oh...makanya lo selalu pulang cepat."

Thea hanya menanggapi dengan senyuman di ujung bibir yang cukup bertahan lama. Dora mengerjap kaget. Kejadian langka.

"Kalau lo kenapa?" tanya Thea.

Lagi-lagi Dora mengerjap kaget. Kalimat tanya pertama yang diajukan Thea di luar pembahasan misteri hilangnya lima murid itu.

"Hmmm...sama...karena dekat dengan rumah," jawabnya yang terdengar tak yakin di telinga Thea. Thea melirik sedikit lalu menyeringai seakan tahu bahwa jawaban itu sepenuhnya bohong.

"Ya deh...gue ngikutin lo." Dora mengaku dengan percaya diri bahkan sambil membusungkan dada. "Dulu rumah gue bukan di komplek perumahan yang lumayan sepi kayak gini. Rumah teman-teman sekolah gue nggak jauh dari rumah gue, jadi kita sering main, ngerjain tugas bareng, pulang sama berangkat sekolah bareng. Tapi sekarang beda, gue terpaksa pindah, ikut bokap yang dipindahin tugasnya, dan terpaksa nerima tinggal di sini, yang jarang banget keliatan orang-orangnya. Waktu itu sepengamatan gue nggak ada tetangga di blok sini yang seumuran. Makanya gue seneng banget pas tahu tentang lo yang seumuran sama gue, tinggal di depan rumah gue. Nah, sejak itu gue minta sekolah di sana aja, sekolah yang sama dengan lo. Tapi sikap lo yang...." Dora menggelengkan kepalanya, memutuskan perkatannya sendiri. "Nggak! Itu dulu, nggak perlu bahas yang dulu-dulu. Sekarang lo baik ko sama gue, buktinya lo masih mau dampingin gue akhir-akhir ini." Dora menggaruk belakang kepalanya, kali ini memang benar-benar gatal ko. Rambutnya terasa lengket karena keringat. Lidahnya ingin sekali menyetus mempertanyakan sikap Thea yang 'dulu' itu. Namun, mengingat terakhir kali dia menanyakan hal tersebut, tidak berakhir dengan baik.

THE BOOKISH CLUB [COMPLETE ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang