BAGIAN 17

159 46 1
                                    

Setelah diteliti, ditatap, diamati lekat-lekat, gambar jajaran rumah lah yang terpampang dalam cover, yang di bagian bawahnya tersemat judul novel dan nama Brama. Novel itu diletakan di tengah, di antara sobekan bungkus kertas, plastik, dan buku-buku yang dikirim Cakra untuk adiknya. Mereka tak berkutik untuk beberapa saat, perhatiannya tenggelam ke dalam buku usang itu, seakan menatap peninggalan sejarah yang maha penting. Dora menarik The Houses yang terletak dekat lutut Thea.

Gesekan antar kertas berbunyi nyaring, mengisi keheningan kamar karena Thea dan Citra membungkam mulut, memilih menatap lekat Dora yang sedang membulak-balikan halaman.

"Kak Cakra bisa ditemukan lewat buku itu?" Akhirnya Citra membuka suara setelah dari tadi bergeming tak mengerti.

"Semoga. Di sana harusnya ada petunjuk," balas Thea. Dia sudah beranjak, duduk di samping Dora ikut menatap setiap lembar buku itu. Kembali, dia menatap Citra. "Citra, tolong lo buka paket itu." Tunjuknya ke dua paket yang belum terbuka sempurna. "Lihat ada benda aneh atau apapun itu."

Setelah Citra menuruti dengan gerakan langsung membuka paket, Thea kembali terhanyut dalam isi novel itu.

"Nggak ada yang aneh di sini. Nggak ada kertas yang nyempil atau tulisan-tulisan apa gitu," ujar Dora.

Thea langsung merebut buku itu dari tangan Dora. "Pasti ada. Kalau nggak ada kenapa dia ribet segala masukin buku ini ke coloring book terus disampul pake plastik wrap." Tangannya masih sibuk menelusuri setiap lembar, memasang mata tajam demi mendapatkan detail terkecil. Kulit jemari yang merasakan bagaimana kasarnya lembaran itu terhenti di tengah jalan. Thea kembali ke halaman sebelumnya, yang rupanya terasa lebih tebal, lebih keras juga. Dia perhatikan halamannya yang tidak urut. Dua halaman hilang, disatukan, dieratkan oleh lem yang membuat lembar kertas itu terasa kasar.

"Gunting," pinta Thea. Kemudian, dalam beberapa detik sudah mendarat di tangannya. Celah kecil di ujung kertas mempermudahnya untuk menggesekan badan gunting dan membelah dua lembar itu seperti semula. Sebuah kertas melekat erat dalam salah satu halaman, menampilkan halaman sebuah website, berlatar belakang gambar tumpukan buku tak beraturan, berbagai jenis iklan terpampang di kanan, kiri, atas dan bawah. Awal kalimat dalam website itu berupa kalimat ajakan untuk mulai baca buku dan diakhiri kalimat bahwa baca buku bisa didapatkan hanya dengan harga lima ribu rupiah. Bagai tersengat listrik, bola matanya langsung bergerak cepat, membaca sebuah daftar di bawah paragraf itu. Gerakannya terhenti saat melihat The Houses dalam daftar panjang itu

Dora ikut mengernyit dan mencodongkan kepala. Dia masih belum bisa menangkap isi kertas itu. "Apaan ini, The? Kasih tahu dong," desaknya.

"Kak, ada gulungan kertas di paket ini."

Dora menerimanya, membuka lakban putih yang merekat pada plastik, di dalamnya gulungan kertas diikat karet. Judul dari isi kertas itu semakin menimbulkan lipatan dalam keningnya. "Laporan keuangan Novel The Houses." Terus bergulir ke bawah, sebesar rupiah ditandai oleh stabilo kuning lalu di bagian bawah lagi ditandai oleh warna yang sama. Tanda tanya besar terbentuk di bagian samping, mencakup dari judul sampai akhir laporan. Besarnya nominal uang di sana cukup menyentak mereka. Sebuah klub dari SMA pinggir kota yang jarang terekspos, tak pernah dilirik kecuali saat orang tua frustasi menyekolahkan anaknya di mana—mempunyai uang sebesar itu yang terlalu besar untuk menyetak empat puluh eksemplar buku. Di balik berlembar-lembar laporan itu tersemat profil The Bookish Club yang terdiri dari tujuan klub, visi, misi dan beberapa program kerja.

Dora hanya dapat memahami laporan keuangan ganjil itu. Mulai mengerti mereka sedang bermain dengan masalah besar. Masalah yang berkaitan dengan uang selalu tidak enak dijalani. Deru napas Thea berembus di pundaknya yang mendadak dingin. Cewek itu sama tercengangnya atau tepatnya lebih tercengang karena sudah menangkap masalah yang digeluti lima cowok itu selama ini.

"Mereka...mereka...ngejual ebook ilegal..." lirihnya bergetar dalam heningnya malam.

***

Remangnya jalanan malam setidaknya membangkitkan bulu kuduk mereka. Angin malam harusnya menusuk tubuh mereka yang masih terkukung dalam kemeja pendek dan rok selutut. Atau bunyi jangkrik, gemerisik dari semak di salah satu rumah, dan apapun itu harusnya menarik perhatian mereka, bertindak awas lalu melangkah lebih lebar demi mencapai jalan raya yang masih jauh dari pandangan. Namun, Thea dan Dora mengenyahkan atribut ngeri malam itu. Langkah santai malah gontai, tatapan lurus malah seringnya menunduk, mengamati aspal bila ada batu atau sesuatu yang dapat mereka tendang. Jalanan ini, jalan utama yang lebih aman di jam setengah delapan. Citra yang mengusulkannya karena gang yang seniornya lewati tadi bukan pilihan tepat di hari yang sudah gelap.

"Jadi, mereka selama ini, selama di sekolah ngelakuin tindakan ilegal? The Bookish Club? Yang kita dengar kehebatannya dari Bang Rengga?" Dora menolak pemikiran itu. Berkali-kali mereka menggelengkan kepala. "Itu ulah Panji. Gue yakin anggota lain nggak terlibat. Dia satu-satunya anggota yang wajahnya dirusak di foto itu."

"Ya bisa jadi...bisa jadi," balas Thea lesuh. Sangat lelah. Banyak kejutan hari ini. Doanya semoga besok dia tidak terlambat masuk sekolah.

"Lo ada dugaan lain?" Dora meliriknya sesaat. Meskipun Thea sedang kelelahan, Dora menangkap keraguan di ucapannya.

Thea agak melambatkan jalannya. Bila dilihat dari kejauhan mereka tampak seperti jalan di tempat. Dia menggaruk leher punggungnya yang benar-benar gatal akibat keringat yang belum disapu bersih oleh sabun dan air beberapa jam ini. Di kamar mandi Citra tadi hanya mencuci wajahnya untuk menghemat waktu. "Kenapa Brama mesti bunuh diri?"

"Jelas. Novel itu dicetak pake uang ilegal. Dia secinta itu sama karyanya dan nggak mau karya itu kotor. Yaa..." Dora ikut-ikutan bingung, tapi dia tetap meyakinkan pemikirannya. "Dia nggak mau hidupnya kotor juga."

"Kenapa nggak coba laporin aja? Bunuh diri bukan cara untuk ngungkap kasus ini. Itu juga bukan cara nyelesaiin masalah.

"Thea." Doa berdeham. Dia harusnya minum dulu sebelum pulang. Air mineral yang diberikan ke Thea pun sudah habis. "Jangan sampai lo mikir itu dia dibunuh. Serem banget di sekolah kita ada pembunuh." Dora bergidik. "Seperti yang gue bilang tadi, dia nggak mau hidupnya kotor karena karyanya kotor. Bisa jadi tekanan dari Panji besar banget dan anggota yang lain juga nggak sanggup ngelawan Panji. Foto Panji yang dirusak udah jadi bukti. Mereka cuman bisa melawan Panji dalam diam, ngerusak, mengenyahkan Panji dari klub ini. Karena nggak sanggup melakukan apapun, Brama sengaja nyembunyiin buku itu, laporan buku itu. Jelas, dia pengen seseorang menemukan itu, mengungkap itu. Kalau misalnya Brama terlibat juga, mendingan dia bakar aja semuanya."

"Tapi kenapa mesti...." Thea kehabisan kalimat. Sebenarnya hatinya mulai condong pada pemikiran Dora. Tapi rasanya dia terlalu cepat menyimpulkan.

Nyaringnya dering ponsel menyamarkan gemerisik dari balik semak rumah yang baru mereka lewati. Sesaat Dora berdecak kesal, lalu langsung menyemprot orang yang menelponnya di ujung sana.

"Tiar! Lo—"

Dora mengernyit. Dia hendak akan membalas, tapi langsung diurungkan karena Tiar terus bercerocos di ujung sana. Setelah mematikan ponselnya, dia menatap Thea takut-takut. Baginya tak masalah, tapi semoga untuk sekarang tak menjadi masalah juga bagi Thea.

"Tiar ngajak kita ketemuan, bareng Bang Rengga juga. Dia bakal ke rumah gue." Dora cepat menambahkan . "Penting. Tentang Panji."

***

THE BOOKISH CLUB [COMPLETE ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang