BAGIAN 12

192 53 2
                                    

Kehadiran Citra ada untungnya. Otot-otot mereka saling bekerjasama menarik rak besar berisi puluhan buku non fiksi yang release bertahun-tahun silam. Buku-buku itu berasal dari sumbangan para alumni ataupun yang dibeli di pasar buku murah. Itu pun dengan memilih buku termurah tanpa tahu isinya sukses menarik minat para murid atau tidak. Rak itu sama berdebunya dengan rak-rak ramping itu, mereka berkali-kali bersin dan sesekali menutup mata. Terlalu banyak malah, seperti sengaja ditaburkan.

Saat rak itu berhasil membentuk sudut enam puluh derajat dengan dinding, terlihat semacam papan atau triplek persegi menempel di dinding. Paku di ujung papan itu tampak dipaksa dipasang kembali, tapi tak terlalu berhasil. Thea menarik rak lebih lebar, memberi luas agar tubuhnya bisa mencapai papan yang terletak dua meter di atasnya.

"Apa itu?" tanya Citra ikut masuk ke celah itu. Melihat Thea yang berusaha menggapai papan itu, dia langsung menuju ke bagian depan perpustakaan, mengambil sapu yang sempat dilihatnya tadi saat masuk.

"Pake ini," ujar Citra.

Thea menerima bantuan itu lalu membuka celah lebih lebar di antara papan dan dinding. Papan itu sudah cukup lapuk sehingga dalam lima kali hentakan menggunakan gagang sapu, berhasil terbuka walaupun ujung paku yang lain masih merekat kuat.

"Jendela," ucap Thea. Dia keluar mengamati rak buku mata pelajaran. Rak buku non fiksi terletak di belokan dinding, dan rak buku mata pelajaran berada di samping kiri dari hadapannya. Thea melihat sesuatu di sana, di celah rak buku mata pelajaran dengan dinding. Bersama dengan Citra kembali, ditariknya rak buku itu dan lagi-lagi menampilkan papan tinggi besar. Beruntung papan itu mudah dilepas yang menampilkan sebuah pintu.

Thea bergegas berbalik, akan memanfaatkan Citra sebaik-baiknya dan tentu akan membalas sesuai permintaan Citra.

"Gue nggak bisa jelasin sekarang. Tapi sekarang gue pengen minta tolong, jaga pintu depan perpustakaan, jangan sampai ada yang masuk. Bikin alasan apapun itu. Termasuk kalau ada Kak Naya."

Citra manggut-manggut, melongo, masih kebingungan dengan pintu rahasia yang langsung diketahui Thea hanya dari SMS Kakaknya.

"Kak Naya?"

Thea berusaha sabar. "Kak Naya itu koordinator perpustakaan. Pokoknya yang tampilannya formal dan rambutnya diikat. Ulur waktu, cegah dia masuk sampai bel istirahat bunyi."

Citra langsung mematuhi saja karena Thea tampak terburu-buru dan menekannya. Citra menjauh, menghilang, tertutup rak-rak. Kemudian Thea bersiap memasuki ruangan rahasia yang pernah dianggap mustahil kehadirannya.

***

Meja dan kursi yang ditumpuk tak beraturan memadati ruangan dengan lebar 3 x 3 meter itu. Hanya bagian atas tumpukan saja yang berantakan, tapi rupanya setelah ditilik bagian bawahnya, masih tertata rapi. Kecuali tumpukan di salah satu pojok yang tampak sudah dibongkar lalu dipasang di tengah-tengah ruangan yang cukup apek ini. Satu meja cukup panjang dan lima kursi mengelilingi meja itu. Di depannya berdiri papan tulis putih yang penuh dengan bekas hapusan spidol.

Waktu Thea tak banyak untuk mengenali ruangan ini dengan detail. Satu hal yang membuatnya cepat bergerak yatiu SMS Cakra, yang mengarah ke ruangan ini, yang pasti menyimpan petunjuk.

Duh! Thea masih sempat mendumel. Mengapa mereka harus mengirimkan SMS segala yang cukup sulit dimengerti? Mengapa tidak katakan saja langsung? Thea langsung mengangguk paham dengan malas saat teringat SMS itu dikirim senin sore, sehari sebelum mereka hilang. Artinya mereka hanya berjaga-jaga karena tahu dalam bahaya.

Dia bergerak cepat mengamati kolong tumpukan meja dan kursi, bahkan menatap lekat papan tulis putih berharap ada celah yang dapat menyembunyikan petunjuk. Namun, sejauh ini, usahanya tak ada yang berhasil. Satu-satunya harapan adalah laci itu, tidak berharap banyak karena menyembunyikan petunjuk di laci adalah hal paling riskan. Mudah ditebak.

THE BOOKISH CLUB [COMPLETE ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang