16

676 142 19
                                    

Shin Hye menyembunyikan ayah biologis Shin Woo bukan tanpa alasan. Saat mengetahui dirinya hamil, ia bahagia sebab bayi itu benih pria yang dicintainya. Namun ia tidak bisa mengatakannya kepada Yong Hwa, apa yang telah mereka lakukan di hotel di malam reuni itu, dirinya kemudian berbadan dua. Selain karena Yong Hwa yang harus kembali ke AS, saat itu ia pun tahu Yong Hwa tengah dekat dengan sepupunya. Disamping alasan kesenjangan yang ada diantara mereka. Yong Hwa mengisyaratkan orangtuanya tidak akan mudah menerima Shin Hye sebagai orang penting baginya.
Shin Hye sangat tahu diri. Maka ia bahagia dapat mengandung bayi Yong Hwa walau tanpa ikatan diantara mereka.

Dan dari pada menuntut tanggung jawab Yong Hwa sebagai ayah bayi yang dikandungnya, Shin Hye memilih menyembunyikan fakta itu rapat-rapat. Ia memutuskan untuk menanggungnya sendiri. Ia akan merawat bayinya sebagai kenangan terindah yang dihadiahkan Yong Hwa buatnya, tanpa sepengetahuannya. Dan kenangannya di malam reuni di kamar hotel itu pun menjadi moment manis yang akan dikenangnya sepanjang hayat sebagai "One Fine Day". Yang tidak akan pernah dilupakannya hingga akhir dunia.

Tapi sekarang semuanya terbongkar. Shin Hye tahu Yong Hwa marah padanya, sebab telah membuat anaknya menderita. Dengan memberikan kehidupannya yang pahit. Air mata Shin Hye terus menetes tidak dapat dibendung. Ia tahu Yong Hwa kecewa dan marah. Itu sebabnya dia beranjak pergi. Shin Hye menyesal mengapa semua itu harus terjadi?

Sebelum memasuki lokasi proyek, Yong Hwa menepikan mobilnya di sebuah tempat, di dataran tinggi sebuah Resort dengan pemandangan area sky yang menghampar hingga ratusan mil jauhnya. Sungguh ia membutuhkan waktu untuk sendiri. Sama halnya dengan Shin Hye yang syok karena hal yang sengaja dirahasiakannya selama 5 tahun terbongkar, hatinya pun syok mengetahui fakta itu. Fakta tentang Shin Woo yang ternyata adalah darah dagingnya. Pantaslah ia menyayangi balita itu dari dasar kalbunya yang terdalam.

Terbayang saat pertama kali mereka bertemu. Dia tidak berani menyapa, tapi setiap kali mata beningnya selalu mengintip. Dia tampak ingin mengenalnya, namun Yong Hwa selalu mengabaikannya. Yong Hwa juga tidak lupa dengan ekspresinya saat ia membawa ke dalam mobilnya untuk pertama kali. Ekspresi tidak percaya, takjub dan sangat kagum dengan mobilnya itu. Shin Woo juga sangat perhatian padanya. Bila ibunya memasak, selalu harus menyisihkan untuknya. Padahal hanya makanan alakadarnya yang sering ia makan yang hanya mampu ibunya beli. Dan ekspresi takjub selalu digambarkan wajahnya setiap Yong Hwa membawakan makanan yang sengaja ia beli untuknya.

Dan yang paling menyakitkan tentu saja permintaannya kepada Yong Hwa untuk mempertemukannya dengan ayahnya. Mengingat itu semua, Yong Hwa kesal tak terkira terhadap Shin Hye. Andai Shin Hye mau berterus terang kepadanya sejak awal, tentu semua penderitaan itu tidak akan dialami buah hatinya. Yong Hwa tidak akan mengabaikannya, lebih dari itu semua yang diinginkannya pasti akan ia beri. Sebab dirinya memiliki segalanya. Kesal tinggal kesal, sekarang semuanya sudah terjadi. Setelah merasa cukup mengisi udara ke dalam rongga dadanya yang ia rasakan sesak, Yong Hwa beranjak dari tempat itu. Langit sudah senja, ia membawa roda empatnya ke kantornya.

Asistennya segera menyambut kedatangannya. Dan Yong Hwa pun langsung menyampaikan apa yang terus dipikirkannya.
"Aku ingin Hyung mencari rumah untukku. Lakukan cepat!" perintahnya.
"Sebuah rumah?"
"Nde, cari yang cukup besar dan yang dekat dengan Taman Kanak-kanak."
"Taman kanak-kanak?" asistennya itu mengernyitkan kening.
"Tidak harus mewah, asal layak untuk kutinggali. Dan harus dekat dengan Taman Kanak-kanak."
"Kenapa Taman Kanak-kanak?"
Yong Hwa menghela napas dalam. "Supaya aku bisa mengantarnya setiap hari ke sekolah."
"Mengantarnya? Nugu...?" pria yang dipanggil "Hyung" itu makin mengernyit.
"Aku tidak ingin kehilangan lagi moment sekecil apa pun dengannya, Hyung. Aku ingin melihatnya tumbuh. Dan aku ingin menjadi ayah yang dia inginkan. Aku akan memberikan semua hal yang dia mau yang selama ini tidak dia dapatkan." mata Yong Hwa berkaca. "Aku ingin membayar semua hutangku padanya yang sebelum ini tidak aku beri, Hyung." ucapnya lirih.
"Nugu...? Apa anak yang sekarang di RS?"
"Eoh. O ya, carikan juga piano, Hyung. Di rumah itu nanti harus ada piano seperti yang ada di rumahku. Halamannya harus luas, supaya dia bisa bermain sepeda." pintanya, tapi lalu Yong Hwa menangis, sebab saat ini Shin Woo masih belum siuman di ruang PICU. Bagaimana kalau anak itu tidak bangun lagi sebelum tahu siapa ayahnya.

Yong Hwa menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terisak seperti perempuan.
"Siapa dia sebenarnya?" tanya asistennya setelah beberapa jenak membiarkan Yong Hwa menangis.
"Anak yang harusnya mendapat kasih sayangku sejak lahir. Tapi aku baru mengenalnya di sini."
"Maksudmu dia anakmu?"
Tanpa dinyana Yong Hwa mengangguk.
"Kau memiliki anak dari wanita Chuncheon?"
"Saat SMA dulu dia tinggal di Seoul."
"Dia cinta remajamu?"
"Dia cinta pertamaku, tapi aku tidak bisa memilikinya. Sebab status sosial kami berbeda. 7 tahun sejak lulus SMA kami bertemu lagi. Aku sangat bahagia bisa melihatnya lagi. Dan aku sedikit frustasi menyadari kami tetap tidak bisa bersama. Hal itu membuatku terus meneguk minuman hingga akhirnya aku mabuk berat. Kau tahu kan Hyung, aku tidak akan lepas kendali semabuk apa pun. Kau tahu persis aku tidak akan tidur dengan wanita mana pun walau dalam kondisi mabuk berat?" tatap Yong Hwa.
"Eoh, sebab selalu aku yang menjemputmu setiap kau mabuk dan tidak bisa pulang. Kecuali saat kau reuni, sebab aku tidak ikut pulang ke Korea kala itu."
"Itu sebabnya aku tidak pernah mencurigai akan terjadi sesuatu saat aku bangun dan menemukan diriku di kamar sebuah hotel tanpa pakaian seusai reuni itu. Aku berpikir mungkin saja aku telah melakukannya terhadap dia, sebab aku mencintainya. Tapi tidak pernah terpikir atas apa yang kulakukan itu dia akan hamil. Makanya aku melupakannya. Dan tidak pernah mengingatnya sedikit pun setelah itu. Namun hasil tes DNA tadi sangat mengejutkanku. Dan sekarang aku sangat marah padanya, sebab dia telah menyembunyikan fakta penting itu dariku." tutup Yong Hwa antara kesal dan sedih.

Ganti asistennya itu yang menghela napas dalam.
"Aku tidak tahu apa aku harus memberimu ucapan selamat padamu, Yong Hwa-ya?" tatapnya surprice.
"Tapi kondisinya sekarang masih belum siuman, Hyung. Bagaimana bila aku tidak sempat bertemu lagi dengannya, Hyung?" Yong Hwa menangis lagi.
"Kita ini punya Tuhan, Yong Hwa-ya. Memintalah hal terbaik pada-Nya. Jika pulihnya kesehatan anakmu adalah hal terbaik, mintalah supaya anakmu segera siuman. Tapi jika itu hanya akan membuatnya menderita, mintalah apa pun kebaikan menurut Dia. Kita tidak boleh egois." nasehat sang asisten religius.
Yong Hwa tidak menghentikan tangisnya. Ia menjadi sangat merindukan Shin Woo setelah mengetahui balita itu adalah buah hatinya.

Ia rindu dengan celotehnya, rindu dengan tingkahnya yang lucu. Rindu juga dengan ekspresi takjub untuk apa pun yang dimiliki Yong Hwa. Serta keinginannya untuk selalu menirunya. Secara naluriah dia menjadikan sosok Yong Hwa sebagai figure ayah yang tidak dimilikinya. Sebab memang Yong Hwa-lah ayah yang dicari-carinya itu.

Samchun saranghae!

Samchun gomasmidha!

Dua kalimat itu begitu sering didengarnya hingga sekarang pun seakan berdengung-dengung di telinga membuat air mata Yong Hwa semakin sulit mengering.

Shin Hye melihat jemari Shin Woo bergerak-gerak, ia mendekatkan wajahnya menatap jemari buah hatinya yang dipasangi pulse oximeter, yaitu alat pengukur kadar oksigen yang ada dalam darah. Jari tengah dan telunjuknya bergerak pelan. Shin Hye lalu menatap wajahnya, tanpa diduga mata itu pun terbuka kecil. Begitu gembiranya Shin Hye nyaris teriak, tapi akhirnya ia menekan tombol di atas bed untuk memberi tahu perawat.
"Shin Woo-ya. Kau bangun, Nak?" tanya Shin Hye dengan dada yang buncah.
"Eom-ma..." panggilnya nyaris tidak terdengar.

TBC

One Fine DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang