14

125K 12.2K 681
                                        

Jika suasana hatinya sedang kurang baik. Naina akan mencari tempat pelarian untuk menenangkan pikirannya. Biasanya dia akan pergi ke ruangan tari di dalam rumahnya dan menghabiskan waktu seharian di sana. Tapi kali ini tidak mungkin, untuk sekarang Naina tidak ingin menemui kedua orang tuanya. Meski dia sangat merindukan mereka.

Naina pergi ke taman di kompleks perumahannya. Cewek itu duduk di bangku panjang di bawah pohon besar yang mampu melindunginya dari panas matahari. Seharusnya dia masuk ke dalam rumah saja, menghentikan pertengkaran kedua orang tuanya. Tapi dia tidak punya keberanian sebanyak itu. Naina akan selalu pura-pura tidak tahu dengan pertengkaran kedua orang tuanya, tersenyum seperti biasa dan tidak bertanya. Dengan seperti itu Naina berharap, dia tidak akan pernah mendengar kata berpisah dari kedua orang tuanya.

Naina enggan menangis. Karena dulu, saat masa-masa putih birunya yang kelabu, dia sudah terlalu sering menangis. Ibunya juga pernah bilang, kalau tidak ingin melihatnya menangis lagi. Karena tangisannya membuat hati ibunya sakit. Maka dari itu, Naina tidak ingin menangis lagi. Apa pun yang sedang dia rasakan, baik itu perasaan bahagia maupun sedih, Naina sebisa mungkin menutupinya dengan ekspresi yang sama. Itu untuk orang lain.

Jika untuk kedua orang tuanya Naina akan terus menunjukkan ekspresi bahagia, dia akan senantiasa tersenyum. Tidak pernah terlihat sedih, meski dia ingin sekali memeluk ibunya dan menangis di dalam dekapannya. Sambil mengatakan, 'untuknya tolong jangan bertengkar lagi dengan Papa.' tapi sampai sekarang Naina tidak bisa melakukannya.

Meski sekarang dia ingin sekali menangis. Naina tidak melakukannya. Cewek itu hanya diam, dengan pandangan lurus ke depan. Menahan gejolak di hatinya.

"Kenapa?"

Naina mendongak, melihat sosok cowok yang kini sudah berdiri di depannya.

"Lo kok di sini?" tanyanya.

Razi memang belum jauh saat cewek itu keluar dari gerbang. Dia yang khawatir karena melihat perubahan sikap Naina terakhir kali. Lantas memutar balik mobilnya dan mengikuti arah Naina pergi.

"Gue liat lo keluar dari gerbang lagi. Jadi gue balik," jawab cowok itu.

Naina mengalihkan pandangannya dari Razi. "Lo pulang aja," suruhnya. Dengan suasana hatinya sekarang dia tidak ingin diganggu siapa pun.

Razi diam. Meski begitu dia tidak pergi, cowok itu terus mengamati Naina. Dia ingat saat Naina tidak sengaja bergumam dengan mata yang bersinar bahwa cewek itu sudah tidak sabar ingin memeluk ibunya. Sekarang dia tidak melihat sinar bahagia dari mata itu lagi. Mata itu berubah dingin, sama seperti biasanya. "Bukannya pas di jalan tadi, lo bilang mau cepat-cepat sampe rumah ya? Lo udah nggak sabar mau liat oleh-oleh dari Nyokap lo kan?" ucap Razi.

Naina tidak menjawab, hanya menggeleng. Memandang lurus ke depan, mengabaikan Razi meski dia tidak menyuruh cowok itu untuk pergi lagi.

Cowok itu ikut duduk di samping Naina. Memandang wajah Naina dalam diam.

"Ada masalah di rumah ya?" Razi kembali bertanya.

Masih sama. Naina menggeleng.

"Kalau lo percaya. Lo bisa cerita masalah lo sama gue, gue bisa jadi pendengar yang baik." Razi masih berusaha agar Naina mau membuka suara. Tapi cewek di sampingnya itu terus diam. Naina tidak mempercayainya ternyata.

Karena Naina terus diam. Razi tidak akan bertanya lagi. Membiarkan suasana menjadi hening, karena mungkin itu yang Naina mau. Tapi Razi tidak ingin pergi. Dengan begitu dia ingin Naina tahu, kalau cewek itu tidak sendiri.

"Razi?" panggil Naina setelah beberapa lama suasana menjadi hening.

Razi melihat cewek di sampingnya itu. "Hm?" dia merespons.

Dia Naina (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang