Jika kebanyakan orang memanfaatkan sabtu malam untuk bepergian dengan teman, kekasih, dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Berbeda untuk Naina. Dia tidak punya pilihan untuk menghabiskan waktu bersama teman, tidak untuk dengan kekasih dan juga keluarga. Karena Naina tidak memiliki itu semua. Malam minggu tidak ada artinya untuk Naina, tetap saja sama seperti malam-malam lainnya. Dia hanya merasa kesepian. Rasa kesepian itu dimanfaatkannya untuk berbagi. Ya, Naina punya kebiasaan membagikan makanan kepada pemulung ataupun pengemis yang dia temui di jalanan dekat kompleks perumahannya.
Hal itu awalnya bukan kebiasaan. Hanya karena rasa suntuk berada di rumah, menunggu kepulangan orang tuanya yang tidak tahu kapan. Naina yang putus asa menunggu, akhirnya memilih tidak menunggu lagi. Cewek itu menyibukkan dirinya dengan membantu sesama. Dengan begitu Naina tidak pernah merasa kesepian di akhir pekan. Melihat orang lain tersenyum karenanya, membuatnya ikut merasakan kebahagiaan.
Naina baru selesai membagikan nasi kotak di depan kompleks perumahannya bersama Bi Nah. Langkah cewek itu berhenti setelah satu langkah melewati gerbang, karena melihat motor besar yang tidak asing terparkir di depan halaman rumahnya.
"Sepertinya ada tamu Non?" Suara Bi Nah menyadarkan Naina.
Cewek itu mengangguk. "Temen sekolah saya Bi," jawabnya. Lalu lanjut melangkah.
Semakin mendekat ke teras rumah. Naina bisa mendengar suara tawa bahagia dari seorang lelaki. Dan suara lelaki lain yang mendumel kesal karena kekalahan. Naina kini dapat melihat keberadaan Razi dengan jelas, cowok yang menggunakan kemeja hitam itu sedang bermain catur dengan Pak Mamat. Sepertinya cowok itu baru saja berhasil mengalahkan Pak Mamat, karena sekarang di wajah itu tergambar sebuah kebahagiaan.
"Non, udah selesai bagiin makanannya?" Pak Mamat yang sadar dengan kedatangannya, lantas berdiri.
Sedangkan Razi hanya memandang, perhatiannya jatuh pada dua bungkusan putih yang menggantung di jari Naina.
Naina mengangguk. Dia menyodorkan satu bungkusan putih kepada Pak Mamat. "Ini untuk Pak Mamat, tadi saya sama Bi Nah berhenti sebentar beli nasi goreng."
Lelaki yang tidak terlalu tua itu mengambil dengan senang. "Makasih ya Non, Pak Mamat jadi lebih semangat ini jaga malamnya," ucap lelaki tua itu dengan girang lalu pamit pergi ke pos satpam.
Pak Mamat sudah pergi, Bi Nah pun sudah pamit masuk ke dalam terlebih dahulu. Kini hanya tinggal Naina dan Razi di teras. Razi, cowok itu berdiri dari duduknya, menjadikan posisi mereka berhadapan dan saling menatap satu sama lain.
Tidak ada lagi raut bahagia di wajah itu. Razi menatapnya begitu tenang, namun sangat serius.
"Lo ngapain ke rumah gue?" tanya Naina. Tidak ada tanda kesal di wajahnya saat melihat Razi. Naina bertanya karena bingung, cowok itu datang ke rumahnya tanpa memberi tahu. Tidak tahu kenapa, tapi dia merasa ada yang aneh dengan Razi sekarang.
"Mau ngajakin lo jalan. Soalnya selama pacaran kita nggak pernah pergi jalan, mumpung lagi malam minggu," ujar Razi.
"Gue nggak bisa." Terlalu cepat Naina menolak.
Razi mengangguk. Tidak menunjukkan rasa kecewa yang besar.
"Kalau gitu kasih waktu lo berapa jam buat ngobrol sama gue malam ini."
"Hmm?"
"Gue mau ngobrol sama lo," ucap Razi lagi.
Naina tidak mengerti dengan pasti. Tapi sikap cowok itu memang berbeda. Sejak terakhir mereka bicara di kelas waktu itu, Razi memang tidak pernah mengajaknya bicara lagi. Padahal bisa dibilang sejak hari itu, dia tidak marah lagi kepada Razi. Tapi cowok itu tetap mencoba menjaga jarak darinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Naina (Completed)
Roman pour AdolescentsIni kisah Naina Putri Praja. Sosok gadis dingin, berwajah cantik, si pemilik tatapan tajam, namun jarang tersenyum. Member Popopi yang merupakan primadona sekolah. Bersama Razi si ketua osis yang menyebalkan. Dia Naina. Khairanihasan