06

161K 14.8K 459
                                        

Ghani sempat takjub melihat rumah Naina yang bak istana modern. Pantas saja anak-anak di sekolah suka membicarakan rumah Naina. Saking penasarannya dengan rumah Naina sampai ada yang mengikuti cewek itu diam-diam saat pulang sekolah.

Ghani turun dari motor hitamnya. Lalu cowok itu menghubungi nomor Naina yang dia minta penuh risiko, pasalnya Naina terus menolak dan menatap tajam seolah akan menelannya hidup-hidup.

"Gue udah di halaman rumah lo."

Panggilannya langsung diputuskan tanpa jawaban. Lalu pintu besar itu terbuka. Naina keluar dengan tangan menggenggam ponsel. Ghani tersenyum, cowok itu mendekati dan mengikuti Naina masuk ke dalam rumah sembari memperhatikan penampilan cewek di depannya. Cewek itu mencepol rambutnya asal, menggunakan baju tidur panjang berwarna merah muda dan ada karakter winnie the pooh besar di baju juga di bagian bawah celananya.

Ghani sangat sadar Naina memang cantik. Tapi ketika melihat cewek itu tidak dengan seragam sekolah, jauh lebih cantik.

"Udah siap?" Spontan Ghani saat melihat lukisan lapangan basket lengkap sama gambar pemain dan pohon-pohonnya di atas karpet yang berserakan banyak cat. "Terus gue ngapain?" keluh Ghani.

"Kan udah gue bilang, biar gue aja yang kerjain."

Ghani berdecak. Sedangkan Naina sudah duduk di atas karpet memandang hasil lukisannya yang cantik.

"Nanti kalau Pak Endru tanya siapa yang lukis, gue jawab apa?"

"Gue lah. Tapi lo bantu juga."

Ghani duduk di samping Naina. "Bantu apa?"

"Bantu buat bingkai."

"Gampang. Bawa aja ke toko bingkai, banyak yang cantik-cantik. Tinggal pilih aja."

Naina tidak suka jawaban Ghani itu. Dia menggeleng. "Kelihatan nggak kreatifnya. Pak Endru suruh bikin sendiri, kalau mau nilai seratus."

"Terus lo mau nilai seratus?"

Naina mengangguk mantap.

"Gue udah siapin bahannya." Naina menunjuk ranting-ranting pohon di depan mereka. "Pakek itu."

Ghani sempat tidak percaya. Dia sampai menggeleng-geleng kepala. Cewek selalu suka memilih sesuatu yang merepotkan, padahal banyak cara instan.

"Lo kerjain dulu aja, gue mau suruh Bi Nah siapin cemilan." Naina berdiri, langsung pergi meninggalkan Ghani yang menggaruk tengkuknya meski tidak gatal. Dia sedang berusaha berpikir agar otaknya bisa kreatif mengubah ranting-ranting pohon di depannya itu menjadi sebuah bingkai. Tapi tetap saja Ghani berakhir membuka ponselnya, mencari di youtube agar dapat mengikuti cara membuatnya.

***

"Besok itu siapa yang bawa?" Ghani bertanya saat keluar dari rumah dan Naina mengantarnya ke depan. "Kalau nggak besok biar gue bawa mobil, sekalian ambil itu." Ghani memberi saran.

"Nggak usah. Gue bisa bawanya kok."

Ghani mengangguk. Mengambil helm dari motornya, dan melihat Naina kembali. "Orang tua lo, nggak ada di rumah? Sepi banget gue liat."

"Keluar kota."

Ghani mengangguk lagi. Mata Ghani masih betah memperhatikan Naina yang kini melihat ke arah jalan. Dua tahun satu sekolah, Aldi dan Amar suka membuat ulah dengan teman-teman Naina. Razi paling tidak meski tidak sering pasti pernah berbicara dengan cewek di depannya itu. Tapi dia? kali pertama membuka suara dan berbicara dengan Naina itu tadi siang saat di UKS.

Mungkin kalau bukan karena tugas berpasangan dengan Naina, dia pun tidak akan pernah tahu bagaimana kehidupan cewek itu di luar sekolah. Meski melihatnya hanya sekilas, tapi dia sudah bisa tahu cewek di depannya itu kesepian di balik rumah yang seperti istana.

Dia Naina (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang