Logika dan hati selalu bertengkar, rasa egois muncul dengan ambisi besar. Merebut hati dari cintanya dengan paksa agar terus bersama.
•••Gita menatap lurus ke depan, tangannya memegang kaca jendela yang menampilkan pandangan kota Bogor pada sore hari. Ia menghela napas, menatap pintu kamar hotelnya sekilas.
Malam ini mereka akan pergi makan malam berdua, ia tersenyum tipis. Merasa jika dua hari ini adalah waktu yang bisa ia manfaatkan untuk merebut hati Daffa.
Dering ponsel membuat Gita tersentak kaget, ia menatap layar ponselnya yang menampilkan nama Viola. Jarinya menggeser tombol berwarna hijau.
"Halo Vi."
"Udah nyampe?"
Gita duduk di pinggir ranjang, "udah."
"Udah makan? Udah minum obat? Lo gak aneh-aneh kan di sana?!"
Gita menghembuskan napasnya pelan, "gak Vi."
"Terus gimana?"
"Apanya yang gimana?"
"Lo sama Daffa sekarang gimana?"
"Gak gimana-gimana." Gita menatap pintu kamar hotelnya dengan sendu. "Dia ngajakin gue makan malem berdua."
"Di mana?"
"Di salah satu kafe mungkin."
Viola menghembuskan napasnya pelan, "Git, inget ya. Lo gak sesehat dulu, jadi makanan harus dijaga. Jangan main asal makan aja."
"Iya."
"Jangan lupa minum obat."
"Hm."
"Satu lagi."
"Apa?"
"Jangan lupa bawain gue oleh-oleh."
Gita berdecak, "iya."
"Bye."
"Hm."
Gita mematikan sambungan teleponnya, ia menghela napas. Dengan malas kakinya melangkah menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar. Membersihkan diri setelah itu bersiap-siap untuk makan malam, berdua bersama Daffa.
Membayangkannya membuat Gita tersenyum sendiri, merasa tidak percaya ia bisa seperti ini dengan Daffa.
"Semoga lo bisa terima gue di hati lo Daff, gue akan tunggu itu."
•••
Daffa menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, mengetikkan beberapa balasan pesan untuk Nada. Ia menghela napas, lagi-lagi harus berbohong.Dirinya ingin menyudahi permintaan Gibran yang konyol ini, tetapi ia tidak bisa memutuskan Gita. Yang bisa memutuskan hubungan ini adalah Gita, itu yang Gibran katakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis
Teen Fiction[COMPLETED] Pertengkaran hebat antara hati dan logika tidaklah mudah, memunculkan egois yang terus bergerak meronta dalam diri. Melangkah dengan kaki penuh luka di atas jalan berduri, memeluk kepastian dengan kesakitan yang terdalam. Menarik raga ya...