Semua pilihan terlihat sulit, tidak ada yang terbaik. Keduanya sama-sama menyakiti perasaan, semakin terbelenggu dengan kesakitan. Tidak bebas untuk meraih kebahagiaan, menjadi serba salah dalam memilih untuk saat ini.
•••
Nada kembali melangkahkan kakinya memasuki fakultas sastra, tujuan utamanya tak lain dan tak bukan untuk bertemu dengan Daffa.
Ia melirik ke arah ponselnya, mencari posisi ruang kelas Daffa pada sore hari ini. Nada mengangkat kepalanya, memastikan jika ia tidak salah kelas.
Nada duduk di kursi panjang, menunggu kelas Daffa selesai. Kedua tangannya terlipat di depan dada.
Tak lama pintu di depannya terbuka, beberapa mahasiswa langsung berhamburan keluar untuk pulang. Nada beranjak, menunggu seseorang yang ia cari keluar.
"Nada?"
Nada menoleh, ia mendengus saat hanya melihat Andy dan Gibran saja, "Daffa mana?"
Andy dan Gibran saling tatap, mereka serempak menggeleng tidak tau.
"Belum balik juga dari rumah sakit?!"
Gibran mengedikkan bahunya tak acuh, "langsung pulang kali."
Andy menganggukan kepalanya menyetujui ucapan Gibran.
"Kalau langsung pulang pasti dia kabarin gue."
"Lupa mungkin."
Andy menghela napas, "lo ngapain ke sini?"
"Cari Daffa lah, emang cari siapa lagi?!"
"Kan bisa lo telpon."
Nada berdecak, "kalau ponselnya gak aktif dan dia respon panggilan gue, gak bakal gue kesini buat mastiin Daffa udah balik apa belum."
"Hm." Andy menganggukan kepalanya pelan.
"Rumah sakit mana?"
"Apanya?"
"Dia nganterin temennya di rumah sakit mana?"
Andy menatap ke arah Gibran yang terdiam, "Gib."
Gibran menghela napas, kepalanya menggeleng pelan, "gak tau," ucapnya berbohong.
Nada berdecak sebal, "nyebelin banget sih."
"Nada?"
Nada menoleh, begitu pun dengan Andy dan Gibran. Mereka berdua menghela napas lega saat melihat Daffa yang melangkah mendekat.
Nada menghampiri Daffa yang menatapnya bingung, "abis dari mana?! Kedua temen kamu bilangnya kamu di rumah sakit."
Daffa menatap Andy dan Gibran bergantian dengan tatapan yang sulit diartikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis
Teen Fiction[COMPLETED] Pertengkaran hebat antara hati dan logika tidaklah mudah, memunculkan egois yang terus bergerak meronta dalam diri. Melangkah dengan kaki penuh luka di atas jalan berduri, memeluk kepastian dengan kesakitan yang terdalam. Menarik raga ya...