Semesta merubah perasaan, memberitahu sang pemilik hati untuk tersadar. Logika menolak perasaan tersebut, dan menganggap itu adalah kesalahan. Berbeda dengan hati, ia menerima dengan senang hati. Tetapi ragu, karena logika masih belum bisa menerimanya.
•••Viola memasuki toilet dengan khawatir, menghampiri Gita yang sibuk membersihkan darah di hidungnya.
"Git, kita ke klinik ya?!"
Gita menggelengkan kepalanya, tangannya masih membasuh hidungnya yang terlihat merah.
Suara isakan keluar dari bibir Viola, ia menatap Gita dengan khawatir. Gita menoleh, menatap Viola yang menangis.
"Kenapa nangis?"
"Gue takut, kita klinik Git."
"Gue gakpapa Vi."
Viola menggelengkan kepalanya tidak percaya, "lo pucet banget."
Gita menghela napas, menatap pantulan dirinya dari cermin, "gue emang selalu pucet."
Viola masih menangis, ia merutuki dirinya yang tidak bisa melakukan apa-apa saat Gita butuh bantuan.
"Kita pulang ya."
Gita menggelengkan kepalanya, "gak."
"Tapi lo sakit."
"Gue gakpapa, gue mau sendiri dulu."
"Git, gue temenin."
Gita menggelengkan kepalanya, "lo ke kelas."
"Tapi Git--"
"Gak ada tapi-tapian, lo ke kelas Vi. Gue mau menyendiri dulu." Gita melangkah keluar dari dalam toilet. Meninggalkan Viola yang masih menangis.
Gita melangkah menuju taman belakang, taman kedua setelah taman fakultas. Bedanya taman belakang lebih sepi daripada taman fakultas.
Gita mendudukan dirinya di kursi panjang, menikmati angin yang menyapa lembut wajahnya. Tangan Gita memegang dadanya yang sedikit terasa sakit, napasnya mulai tidak beraturan.
Gita merutuki dirinya sendiri, obat yang harus ia minum berada di dalam tas. Dan ia malas untuk mengambil obat tersebut di kelas, ia juga tidak membawa ponsel untuk meminta bantuan Viola.
Gita memejamkan matanya, kedua tangannya terkepal dengan erat. Menahan rasa sakit dan sesak napas yang sedang dialaminya.
Uhuk... Uhuk....
Gita memegang dadanya yang terasa sakit.
Uhuk... Uhuk....
Salah satu tangannya menutup mulutnya, dan satunya lagi memegang dadanya yang terasa sakit.
Uhuk... Uhuk....
"Git?"
Gita tersentak kaget, ia menoleh ke samping. Menatap Andy yang menatapnya bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis
Teen Fiction[COMPLETED] Pertengkaran hebat antara hati dan logika tidaklah mudah, memunculkan egois yang terus bergerak meronta dalam diri. Melangkah dengan kaki penuh luka di atas jalan berduri, memeluk kepastian dengan kesakitan yang terdalam. Menarik raga ya...