Tidak selamanya semesta mengizinkan kita untuk terus bahagia, ada kalanya semesta mengizinkan kita hanya untuk merasakan kesedihan. Hanya berbahagia sebentar, setelah itu semesta memberikan kita kesedihan.
•••Motor yang dikendarai Daffa memasuki area parkiran fakultas, Gita turun dari atas motor seraya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
"Mau kemana?" tanya Gita saat Daffa turun dari motor. "Bukannya kamu ada kelas nanti siang ya?"
"Mau ngerjain tugas di kantin."
Gita menganggukan kepalanya.
"Kamu udah sarapan kan?" tanya Daffa seraya menatap Gita.
"Udah kok, tenang aja."
Mereka berdua melangkah di koridor fakultas, banyak tatapan sinis yang mengarah ke arah Gita. Tidak sedikit yang berbisik-bisik bahwa Gita menikung temannya sendiri.
"Gak usah didengerin," ucap Daffa dengan mata tetap lurus ke depan.
"Tapi yang mereka omongin bener kok, aku gak marah. Karena aku sadar kalau itu salah aku."
Daffa mengalihkan tatapannya ke arah Gita, menatap perempuan tersebut dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Masuk kelas sana." Daffa mendorong Gita untuk menaiki undakan anak tangga, untuk kelas pertama Daffa tau jika kelas Gita berada di lantai dua.
"Ya udah, aku ke kelas dulu."
Daffa menganggukan kepalanya seraya tersenyum tipis, ia menatap punggung Gita yang semakin menjauh.
Ia melanjutkan langkahnya menuju kantin fakultas, sesekali ia tersenyum saat ada yang menyapanya.
Daffa memesan bubur dan teh manis untuk ia sarapan, lalu duduk di salah satu meja dekat stand. Mengeluarkan laptop berwarna silver dan menyalakannya. Matanya terus menatap sekitar kantin yang nampak ramai.
Ia juga mengeluarkan beberapa buku untuk referensi tugasnya, mengambil earphone dari dalam tas dan menghubungkannya pada ponsel.
"Daff."
Daffa mengangkat kepalanya, ia menatap Gibran dengan kening berkerut, "ngapain lo?" Ia melirik jam tangannya yang melingkar, kelas akan di mulai setengah jam lagi. Tidak biasanya Gibran datang lebih awal.
"Abis ngerjain tugas juga gue, makanya dateng cepet."
Daffa menganggukan kepalanya mengerti.
"Gimana kemaren?"
"Gak gimana-gimana."
"Lo udah kenalin perasaan lo?"
Daffa terdiam, ia tidak menjawab ucapan Gibran. Hanya menatap temannya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Terus Nada gimana?"
Daffa tersentak, sehari ini ia tidak memikirkan Nada. Satu pesan dari Nada pun tidak ada, ia juga tidak tau harus membuka percakapan seperti apa pada Nada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis
Подростковая литература[COMPLETED] Pertengkaran hebat antara hati dan logika tidaklah mudah, memunculkan egois yang terus bergerak meronta dalam diri. Melangkah dengan kaki penuh luka di atas jalan berduri, memeluk kepastian dengan kesakitan yang terdalam. Menarik raga ya...